BENDERA TERBALIK
Karya Yin Ude
Di penghujung subuh. Kampung masih remang-remang. Nampak Hasan turuni tangga depan rumahnya dengan tergesa. Ia mendekap lipatan bendera. Tergesa pula menuju tiang bambu yang berdiri di halaman. Tergesa lagi membuka ikatan tali pengerek. Terus tergesa mengikat bendera tersebut dan menaikkannya.
Ia memang harus tergesa-gesa, sebab setengah jam lagi bemo yang menuju stasiun bus akan lewat. Dan ia tidak boleh terlambat menunggu di tepi jalan jika tak ingin tertinggal bus yang akan ditumpanginya ke kota kabupaten.
Ia naik kembali ke atas rumahnya yang panggung itu. Hampir setengah jam, muncul kembali di pintu dan menutupnya, menggemboknya. Secepat kilat kini lelaki lima puluh tahunan itu sudah tegak di bawah pohon mangga pinggir jalan, dengan tatapan melekati tikungan yang tak jauh darinya, tempat bemo yang dinanti biasa muncul.
Ia telah berada di atas kendaraan roda empat itu. Derunya memecah pagi kampung yang baru menggeliat. Sesekali Hasan mengeluarkan kepala lewat jendela dan berteriak pada orang-orang yang berpapasan dengannya.
“Kemana pagi-pagi?!” seru Abduh yang sedang jogging.
“Ke kotaa…! Beli caaat…! Keperluan tujuh belasaaan…!” jawab Hasan sekeras-kerasnya.
Supir bemo tersenyum kecut karena telinganya berdenging ditumbuk teriakan penumpangnya yang duduk kursi depan di sampingnya itu. Untung belum ada orang lain. Hanya mereka berdua.
Wajah Hasan sumringah. Sesekali ia senyum sendiri membayangkan akan segera menuju kota kabupaten, tempat nanti bisa memilih cat terbaik dan berbagai keperluan untuk menyambut perayaan hari tujuh belasan.
Setiap tahun ia selalu semangat menyambut hari yang juga membahagiakan seluruh rakyat Indonesia itu. Memasuki pertengahan Agustus ia sudah merancang suasana-suasana baru dan unik di pekarangan dan rumahnya, yang mewakili semangatnya. Mulai dari cat merah putih pagar yang harus diperbarui, umbul-umbul yang diganti dengan umbul-umbul motif baru, memasang lampu kelap kelip hingga merangkai janur berhias pita merah putih di pintu halaman. Hal itu ia lakukan jauh sebelum dikerjakan oleh tetangganya, warga-warga lain di kampungnya. Bukan, bukan karena ingin tampil beda atau mengharap pujian. Hasan merasa itulah bentuk cintanya pada tanah airnya. Jadilah pekarangan dan rumahnya yang berada di tepi jalan akan menjadi pusat perhatian orang-orang yang melintas, yang mau tidak mau harus terkagum-kagum pada Hasan.
Seperti hari ini, di dalam tas pinggangnya telah tersedia uang jutaan rupiah yang sebagian besar akan habis untuk membeli barang-barang yang ia butuhkan. Kantongnya memang selalu tebal, sebab ia seorang petani yang rajin dengan sawah cukup luas. Hanya satu yang disayangkan darinya; belum beristeri. Ia tinggal sendiri di rumahnya. Tapi justeru status lajangnya itu yang membuatnya bebas “mencurahkan harta bendanya” untuk keperluan hari tujuh belasan yang bertahun-tahun telah menjadi salah satu sumber kebahagiaannya.
*
Bus hampir tiba di kota kabupaten. Hasan menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba menuruti keinginan kantuknya yang datang menyerang sejak di pertengahan perjalanan. Tadi malam ia tidur larut karena dipaksa temannya, Junaidi dan Hamdan main catur.
Sesekali ia menguap. Untung memakai masker, hingga bau mulutnya tidak merayapi udara dalam bus yang terbilang sepi penumpang. Memang dalam masa pandemi covid orang-orang sedikit enggan naik kendaraan umum. Belum lagi aturan jarak yang membuat muatan bus berkurang sampai lima puluh persen.
Kenek menggamit pundak Hasan dari belakang, yang membuatnya sedikit terkejut. Lekas dirogohnya kantong baju, mengeluarkan tiket dan disodorkan pada Sang kenek, yang saling kenal dengannya, karena bersebelahan kampung.
“Ndak sambut kedatangan bupati rupanya Bapak ini,” ucap kenek itu seraya mengatur ulang tumpukan tiket di tangannya.
“O, iya, betul, hari ini kecamatan kita didatangi Bapak Bupati dan Dandim. Mereka akan mengunjungi keluarga Rasyid, teroris di kampungku yang ditangkap minggu lalu,” sambut Hasan dengan wajah menyiratkan sesal karena lupa. “Tapi tak apalah, saya ada keperluan penting di kota kabupaten,” sambungnya mantap.
Dikeluarkannya ponsel jadul dari dalam tas pinggangnya. Tatapannya menumbuk angka penanda waktu. Jam sepuluh. “Oh, jam sepuluh. Rombongan bupati pasti sudah ada di kampung,” katanya pelan, pada dirinya sendiri.
Hendak dimasukkannya kembali ponsel itu. Dering tiba-tiba menghalanginya. Panggilan, Hamdan.
“Hasan! Hasaan…!” teriak Hamdan di seberang.
Kening Hasan berkerut karena telinganya didera suara keras itu.
“Ya, ada apa?!” jawabnya.
“Sudah di mana kau sekarang, Hasan?!”
“Masih di atas bus, mau masuk kota! Ada apa?!”
“Waduh, gawat! Gawat, Hasan!”
“Gawat apanya?!” balas Hasan penasaran, “apa maksudmu?!”
Dirapatkannya ponsel ke telinga.
“Kau tidak sadar telah memasang bendera di depan rumahmu dengan posisi terbalik?! Haaa…?! Kau dengar suaraku?! Hasan?! Kau dengar?!”
“Ya, aku dengar!” suara Hasan tiba-tiba dilatari getar.
Dadanya sedikit gemuruh. Ada perasaan tidak enak merayap.
“Bendera terbalik bagaimana maksudmu, Hamdan?!” tanyanya lebih keras untuk menyaingi bising mesin bus.
“Iya, kamu naikkan bendera terbalik, Hasan! Ini orang-orang, termasuk rombongan Pak Bupati dan Pak Dandim ramai berkerumun di depan rumahmu. Tadi mereka berjalan kaki masuk kampung dan tiba depan rumahmu mereka melihat bendera merah putih yang merahnya di bawah! Pak Dandim tanya ini, dimana kamu sekarang? Beliau mau tahu kenapa bendera itu dinaikkan dengan posisi terbalik!”
Sekujur badan Hasan gemetar. Kecemasan teramat sangat dengan segera menguasai dadanya. “Aku memasang bendera dengan posisi terbalik…, dan sekarang Pak Dandim, Pak Bupati sedang mencari aku…! Duh… teledornya aku…!” keluh hatinya tak menentu.
“Sungguh, aku tidak bermaksud sengaja memasang bendera negaraku itu dengan keadaan terbalik. Aku, sama sekali tidak hendak melecehkannya. Benar-benar itu sekedar karena kecerobohan, yang disebabkan aku terlalu tergesa-gesa tadi subuh!
Tapi, apakah Pak Dandim, Pak Bupati akan percaya? Apakah tidak justeru mereka dan sekalian orang yang ada di rumahku sekarang sedang berpikir bahwa aku juga bagian dari teroris yang seminggu lalu ditangkap aparat…? Aku dianggap tidak terima dengan penangkapan itu, lalu menyatakan perlawanan dengan memasang bendera secara terbalik! Pasti, pasti begitu! Apalagi semua orang kampung tahu aku bahwa aku dan Rasyid bersahabat!” jerit batinnya lagi, terus, tak henti.
Hasan dengan sangat cepat terbawa oleh prasangka buruk mengingat pasca tertangkapnya Rasyid, isyu terorisme mencengkeram kampungnya, kecamatan hingga kabupaten. Saling curiga antar warga sebagai bagian dari teroris sedang hangat-hangatnya. Tak ada secuil omongan, tingkah laku dan perbuatan yang ganjil, yang mengarah pada pelanggaran, anti pemerintah, anti hukum yang tidak akan ditanggapi dengan serius. Polisi berseragam maupun intel lalu lalang siang malam.
“Ya, Allah… apalah aku, yang berani melakukan pelanggaran…?” gemuruh hatinya, “aku cuma rakyat jelata yang tak tahu apa-apa selain hidup apa adanya, bekerja, makan, tidur…, tak paham soal-soal melawan pemerintah, apalagi jadi teroris, atau mengikuti paham-paham teroris…!”
Badan kurus lelaki itu terkulai lemas di sandaran kursi. Kantuknya hilang diganti ketegangan yang terus meningkat seiring menumpuknya pikiran dan dugaan-dugaan buruk di kepala dan hatinya.
“Apa yang sedang direncanakan oleh aparat sekarang untukku…?” keluhnya tak terucapkan, “apakah aku sedang ditunggu, atau… atau sudah ada petugas yang membuntutiku? Atau sebentar, di suatu tempat, di dalam kota para polisi dan tentara sedang bersiap-siap memberhentikan bus yang kutumpangi ini, untuk membekukku…?”
Ponsel terus berdering di dalam genggaman tangan Hasan yang dingin berkeringat. Tak ia sadari sampai kenek datang dan menepuk pundaknya lagi sambil berseru, “Bapak tertidur? Itu ponselnya dari tadi bunyi!”
Lekas di-reject-nya panggilan Hamdan. Bahkan dimatikannya daya ponsel itu. Ia takut, takut sekali mendengar suara peneleponnya di seberang. Takut, jangan-jangan yang bicara adalah Dandim atau Bupati.
Gemuruh dadanya kian keras demi datangnya pikiran buruk lain: Dandim, Bupati dan semua orang sedang berpikir dirinya dalam usaha melarikan diri, menghilang, dengan tidak mau menjawab panggilan ponsel! Sebuah kebetulan, ia meninggalkan kampung setelah memasang bendera dengan posisi terbalik!
Deretan gedung dan rumah-rumah dalam kota yang megah mentereng nampak kabur dalam pandangan Hasan. Ia sudah tak ingat lagi tujuannya membeli cat dan keperluan-keperluan hari tujuh belasan.
**
Tak harus dua kali perintah naik ke bus yang diteriakkan kenek padanya, Hasan sudah melompat naik dan duduk di kursi. Ia kian tidak sabar untuk segera sampai di kampungnya.
Dua jam yang lewat adalah waktu yang sangat menyiksa yang pernah ia rasakan seumur hidupnya: menunggu bus “istirahat” di stasiun kota kabupaten sebelum kembali pulang.
Tak jadi Hasan membeli keperluan hari tujuh belasan. Tak tersisa lagi sedikit pun semangatnya. Yang ada adalah kecemasan menumpuk, yang menderanya, sangat menderanya selama duduk di kursi tunggu terminal.
Memang tak ada polisi atau tentara yang datang mencarinya. Bahkan Hamdan atau siapa pun tak ada lagi yang menghubunginya ketika ponsel ia nyalakannya lagi, dengan jari-jari gemetaran.
Tapi ia yakin hal itu disengaja, sebagai siasat Pak Bupati, Pak Dandim dan aparat untuk membuatnya tidak takut pulang, agar dirinya tidak melarikan diri. Ya, itu sudah diperhitungkan oleh Hasan.
Dua jam di terminal, hal itulah yang berkecamuk di benaknya. Bertarung dengan upayanya sedikit menenangkan diri, meyakinkan diri bahwa Tuhan lebih tahu bahwa apa yang telah ia perbuat benar-benar sebuah kecerobohan, tanpa latar belakang dan tujuan apapun. Hanya kecerobohan, yang tidak disengaja.
Ia percaya Tuhan pasti akan memberi jalan keluar terbaik bagi dirinya yang tidak bersalah, di hadapan orang-orang yang sedang menunggunya dengan ketidaksenangan, dengan amarah, bahkan dengan persiapan hukuman bagi dirinya.
Dan perlahan ia bisa tenang, bisa memantapkan pendirian bahwa apapun yang akan terjadi nanti di kampung, ia harus menjelaskan segalanya dengan terang benderang, dengan sejujur-jujurnya. Untuk itu ia harus lekas kembali pulang.
Bus melaju dengan kencang, seakan supirnya tahu keinginan dan tidak sabarnya Hasan untuk segera sampai. Tak terasa kota telah tertinggal cukup jauh di belakang. Sebentar lagi akan memasuki sebuah kecamatan.
Hasan mencoba memejamkan mata, menghela nafas, mengosongkan sedikit rongga dada dan kepalanya dari beban.
“Kita turun, untuk pengecekan Satgas Covid!”
Tersentak lelaki itu oleh seruan keras tiba-tiba dari kenek.
Begitu membuka mata, tatapan Hasan langsung menumbuk kerumunan aparat polisi, tentara, Pol PP dan orang-orang berpakaian Satgas Covid yang menghadang kendaraan tepat di depan kantor polsek.
“Pengecekan penumpang oleh Satgas Covid…? Benarkah..?!” Hati Hasan dilanda kecemasan lagi. “Apa bukan samaran saja, agar polisi dan tentara itu lebih mudah membekukku…?!” serunya tak bersuara.
Gemetar lagi badannya. Ketenangan, kemantapan jiwa yang tadi diperolehnya di stasiun bus kota kabupaten buyar tiba-tiba, berganti rasa was-was yang hebat, ketakutan yang amat sangat.
Semua penumpang, termasuk supir dan kenek sudah turun dan antri masuk ke dalam sebuah tenda besar yang dipasang di tepi jalan. Mereka mengikuti arahan para petugas yang nampak sibuk.
Jelas didengarnya suara salah seorang polisi lewat megaphone; “Bapak Ibu mohon berbaris, antri. Satu persatu masuk ke dalam tenda guna dites suhu badan dan diberi masker bagi yang tidak memakai masker. Mohon kita bekerjasama menanggulangi penyebaran virus corona!”
Jelas, sangat jelas! Tapi Hasan tetap tak beranjak dari duduknya. Ia seperti terikat kuat oleh perasaannya yang tidak menentu.
“Mungkin saja di sana ada intel yang sudah dihubungi oleh aparat yang ada di kecamatanku, atau oleh Pak Dandim, yang bersiap-siap menangkapku!” seru batinnya.
Seorang penumpang, perempuan setengah baya yang nampak baru keluar dari dalam tenda naik ke atas bus. Ia membuka tasnya yang tergeletak di kursi depan, di samping tempat duduk supir.
Dirogohnya tasnya itu, seperti mencari sesuatu. Sesaat raut mukannya berubah, kebingungan, dan kecut. Tatapannya tertuju kepada Hasan yang juga menatapnya dengan ketidakmengertian.
Perempuan itu mengalihkan lagi perhatiannya pada tasnya. Lagi-lagi ia nampak bingung, lebih bingung. Lagi-lagi ia melihat ke arah Hasan, yang mulai merasa tidak enak.
Perempuan itu tidak berkata-kata sepatah pun. Ia bergegas turun dan menemui kerumunan anggota polisi. Ada yang ia bicarakan dengan serius, dengan wajah bingung dan memelas.
Dua orang polisi berjalan tergesa menuju bus, diiringi oleh Sang perempuan. Mereka naik.
“Ibu yakin menyimpan dompet dalam tas ini?” tanya salah seorang polisi yang berkumis pada perempuan itu sambil memeriksa tasnya.
“Yakin, Pak. Yakin sekali!” jawab yang ditanya dengan suara mantap.
Polisi satunya, yang bertubuh gemuk memandang Hasan yang dari tadi hanya bisa terdiam karena dikuasai oleh firasat tentang sesuatu yang tidak baik yang akan menimpanya.
“Bapak kenapa tidak turun?” ucap Si gemuk menyelidik.
Mulut Hasan terbuka, menganga, tak sanggup bicara. Mukanya pucat dan tatapannya nampak membelalak karena gugup.
“Bapak dengar pertanyaan saya?” cecar Si gemuk, “saya tanya kenapa Bapak tidak turun seperti penumpang lain untuk mengikuti pengecekan di tenda?”
Polisi berkumis dan perempuan itu juga sudah ikut menatap lekat ke arah Hasan. Tak pelak lagi, mereka sudah curiga bahwa dompet yang dicari Si perempuan diambil oleh Hasan.
“Ayo, jawab, Pak. Kenapa Bapak tidak turun?!” Kali ini Si perempuan yang bertanya, dengan nada tinggi. Ia nampak gusar. “Bapak sengaja tidak turun karena berniat tidak baik, kan? Bapak mencuri dompet dari dalam tas saya, kan?!”
Perempuan itu tidak bisa lagi menahan diri untuk menyatakan isi hatinya yang dari tadi ia pendam. Terang-terangan ia menuduh Hasan sebagai pencuri dompetnya!
Polisi Gemuk memegang lengan kiri Hasan yang gemetar, yang tak juga bisa bicara, yang bibirnya saja bergerak-gerak seperti ingin berucap.
“Ayo, Pak, ikut kami ke kantor!” perintah Polisi Gemuk seraya menarik lengan lelaki itu.
Hasan berusaha bertahan tetap duduk. Polisi berkumis mencengkeram lengan kanannya dan membantu temannnya menyeret orang kampung yang berontak hendak menolak dibawa turun itu.
“Kalau Bapak melawan berarti benar Bapak yang mengambil dompet Ibu ini!” sentak Si gemuk.
Hasan menggeleng-geleng. Tiba-tiba ia menangis. Lalu menjerit keras, keras sekali hingga orang-orang di sekitar bus terkejut dan merapat serta serta naik untuk tahu apa yang terjadi. “Aku tidak mengambil dompet! Tidaak…! Sungguh, demi Allah… aku tidak mencuriii!!!”
Tapi kedua polisi itu tidak terpengaruh dengan jeritan Hasan. Tetap saja diseretnya terduga..
Orang-orang melayari suasana tersebut dengan penasaran.
***
Satu jam sudah Hasan diinterogasi di dalam kantor polsek. Bus yang ia tumpangi telah berangkat meninggalkannya. Duduk lemah di depan petugas, wajahnya nampak kuyu. Tatapannya kosong seperti kehilangan pikiran dan perasaan. Berulang kali polisi menyuruhnya minum air kemasan yang disediakan di depannya. Tapi tak ia lakukan. Hanya pandangannya yang melekat tawar di gelas plastik itu.
Yang ia inginkan cuma satu: segera dibiarkan keluar dari ruang pemeriksaan, dilepaskan dari tuduhan atas sesuatu yang tidak ia lakukan, dibebaskan dari pusaran pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang sepertinya tak berujung:
“Bapak mengaku saja, Bapak yang mengambil dompet Ibu ini?”
“Tidak, Pak, demi Allah saya tidak mengambilnya….”
“Tapi tidak ada orang lain di atas bus selain Bapak, dan Ibu ini yakin sekali bahwa dompetnya disimpan di dalam tas. Terus kenapa Bapak tidak ikut turun? Nah, Bapak tidak bisa menjawab. Apa maksud Bapak tidak ikut mengikuti pengecekan, kenapa bertahan di atas bus?”
“Saya tidak mau turun saja, hanya itu, Pak.”
“Ya, apa alasannya? Apa tujuan Bapak tidak mau turun?”
“Yang pasti saya tidak mencuri, Pak. Saya sudah digeledah, tidak ada dompet Ibu itu. Uang yang ada benar-benar uang saya!”
“Dompet yang Bapak curi dari tas saya bisa saja Bapak sembunyikan atau Bapak buang di suatu tempat!”
“Oh, tidak, Bu, percayalah saya bukan maling…!”
“Bapak bandel, ya. Ayo, mengaku saja, Bapak yang mengambil dompet Ibu ini?!”
“Tidak, betul, Pak, tidak!”
“Tapi tidak ada orang lain di tempat kejadian selain Bapak!!!”
Kepala Hasan pening. Tak tahu harus berbuat apa agar ia dipercaya, agar ia tidak terjerat lebih lama!
Tidak, ia tidak berani untuk berterus terang bahwa ia cemas turun dari bus karena takut bertemu petugas. Ia pasti akan dicecar lagi, “kenapa takut bertemu petugas?”
Lalu rentetan pertanyaan demi pertanyaan berikutnya bisa saja menyudutkannya dan membuatnya mengaku bahwa ia telah menaikkan bendera merah putih dengan posisi terbalik! Selanjutnya… oh, itu yang tidak bisa dia hadapi, permintaan penjelasan tentang kenapa, apa maksud, apa tujuan ia menaikkan bendera secara terbalik! Sedangkan bendera itu merupakan lambang negara, yang tidak boleh direndahkan!
Terbayang pula kemungkinan petugas membentaknya, “Bapak dari kampung asal teroris. Ada hubungan apa Bapak dengan teroris itu?!”
Hasan menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Terdengar helaan nafasnya, berat. Lalu mendadak ia menegakkan badan, dengan mata tajam menatap petugas yang terlihat sedikit terkejut dengan perubahan sikap lelaki itu yang tiba-tiba.
“Bapak harus melepaskan saya, sekarang juga!” serunya dengan berani, “saya sudah jelaskan dengan sejujur-jujurnya bahwa saya tidak mencuri dompet perempuan ini, bahwa dengan bersumpah atas nama Allah, bahkan dengan tidak adanya bukti pada diri saya! Bahkan dengan keadaan bahwa saya punya banyak uang, yang jelas-jelas ini uang saya, yang lusuh-lusuh, berbeda dengan uang perempuan ini yang katanya masih baru! Tolong, Pak, saya tidak mau lagi berada di sini!”
Keberanian itu mengalir begitu saja. Hasan seperti telah jadi orang lain. Tekanan mental yang begitu berat dan bertubi-tubi telah membuatnya berubah!
Ia bangkit dan hendak melangkah keluar. Tapi petugas itu dan Si Gemuk serta Si Kumis yang sudah hadir juga jadi terlihat geram. Mereka sontak menghadang.
Hasan merangsek maju menerobos. Polisi berkumis jatuh terlanggar. Ia mengaduh kesakitan dan sejurus kemudian bangkit untuk kembali menahan lelaki kampung yang sepertinya tak bisa dikendalikan itu.
Tiga petugas tak menyerah. Hasan juga tak mau kalah. Ia marah dan menubruk deras polisi gemuk. Tapi luput, tubuhnya terhuyung keras ke depan dan keningnya membentur tembok.
Hasan tak sadarkan diri.
****
Di kampung, di depan rumahnya Hasan, seorang lelaki mondar-mandir dengan raut muka gelisah. Terik matahari jam satu siang tak ia sadari.
“Hamdan! Ada apa berdiri di situ?!” teriak seorang lelaki lain di luar pagar halaman.
“Eh, Junaidi! Aku lagi pusing ini!”
“Kenapa?” balas lelaki di luar pagar itu seraya masuk dan mendekat.
“Aku tidak tahu kemana akan kutitipkan uang ini, sementara aku harus cepat-cepat pergi ke hutan, mengambil madu lebah.”
“Uang apa itu Hamdan?”
“Tadi kan, Pak Bupati dan Pak Dandim mampir di sini karena melihat bendera yang dipasang Hasan terbalik. Aku dan Pak RT meyakinkan beliau bahwa pasti Hasan tergesa-gesa hingga tidak lagi memerhatikan posisi merah dan putih saat ia naikkan. Kami beritahu juga bahwa Hasan orang yang sangat bersemangat merayakan hari tujuh belasan. Kepergiannya yang tergesa-gesa juga untuk membeli keperluan hari tujuh belasan. Nah, Pak Dandim kemudian tergugah untuk memberikan penghargaan kepada Hasan berupa uang lima ratus ribu rupiah dari kantong beliau sendiri. Menurut beliau paling tidak untuk sedikit mengganti pengorbanan Hasan yang dianggapnya luar biasa.
Nah, dari tadi kuhubungi ponselnya Hasan tidak aktif. Sudah tersambung tapi tidak diangkat. Aku mau memberi tahu dia tentang hal ini, sekalian mau tanya kepada siapa akan aku titip uang ini, sebab aku tidak bisa menunggu dia sampai pulang…,” jelas Hamdan panjang lebar.
Junaidi mengangguk-ngangguk. “Titip padaku saja,” katanya mantap.
“Tidak!” sentak Hamdan, “nanti kau pakai uang orang untuk taruhan main catur.”
Habis berkata, Hamdan ngeloyor pergi.
Di belakangnya Junaidi tersenyum kecut. Ditinggalkan begitu saja di bawah tiang bendera yang berkibar, dengan posisi merah di atas putih di bawah, karena tadi pagi Pak Dandim dan Pak Bupati menurunkannya untuk dinaikkan kembali pada posisi yang seharusnya.
-Selesai-
Sumbawa Timur, 26 Agustus 2021
Yin Ude aktif menulis dan memublikasikan cerpen, artikel dan puisi sejak tahun 1997, yang termuat di media lokal dan luar Sumbawa, seperti Sumbawa Ekspress, Sumbawa Post, Gaung NTB, Lombok Post, Suara Muhammadiyah dan Umakaladnews. Karya-karya tunggal Buku Sepilihan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih” dan Novel “Benteng”. Puisi termuat pula dalam Antologi Puisi “Genta Fajar”, Antologi Puisi “Seribu Tahun Lagi”, Antologi Puisi Plengkung: Yogyakarta dalam Puisi, Antologi Puisi Rumahan: Hujan Baru Saja Reda, Antologi Jejak Puisi Digital, Antologi Pertemuan di Simpang Zaman dan Antologi Puisi Jejak Waktu. Masih ada beberapa buku dalam proses terbit.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024