Neng Zahra
Cerpen: Muhtadi.ZL
Kau tertunduk lesu setelah aku melontarkan pertanyaan, “Mengapa Neng Zahra tidak mau melanjutkan kepemimpinan pesantren.” Wajahmu tiba-tiba tirus, seolah pertanda, kau enggan menjawab. Aku yang peka, langsung meminta maaf agar perasaanmu tidak semakin kisut dan berlarut-larut serupa nyiur yang diparut.
Barangkali, keenggananmu menjawab musabab kiai yang terpanggil untuk menemui-Nya. Kelopak matamu yang bengkak, menjadi saski kesedihanmu masih membekas, ia belum pergi sebagaimana kiai yang tak terlihat lagi. Mungkin, pukulan telak itu yang membuatmu bisu meramu masa lalu kebersamaan bersama abahmu—sosok kiai yang aku segani dan hormati. Terlamapu berat kau memikul beban keluaga, belum lagi tetangga yang terkadang meminta azimat atau doa-doa untuk keberkahan hidup.
Mentari pagi hari ini tidak mampu mengusir mendung di hatimu. Mendung yang sebelumnya belum pernah kau temui, karena yang tahu selama ini, setelah mendung pasti hujan, dan setelah hujan reda, akan terekam jelas pelangi menghiasi cakrawala. Seakan menari di angkasa, bersama kebahagiaan hewan-hewan sebab hujan reda.
“Bukan memang begitu tradisinya, Neng?” Kembali aku bertanya setelah benar-benar tidak ada jawaban.
Kau masih terdiam. Tak ada gerakan sedikitpun dari tubuhmu. Yang kulihat, kau memaku pandang pada mentari pagi sambil sesekali retina matamu melirik burung-burung yang bersiul dan leloncatan di ranting mangga di halaman. Itu yang bisa kutemui gerakan tubuhmu, selain aliran darah lagi detak jantungmu.
Kau tahu betul, mungkin, bagaimana beratnya memikul beban moral masyarakat. Pekerjaan ruhani yang tidak semua orang bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu seperti abahmu. Ia pergi banyak meninggalkan cerita di lidah masyarakat, tentang kesabaran, tentang ketawadhuan, tentang keistiqamahan, tentang keberdermaan, tentang kedermawanan, dan mungkin tentang hal-hal kecil yang tidak kau temui. Semua sifat itu nyaris melekat pada sosok seoarang kiai.
Kau pun menyesali, karena tidak sedikitpun sifat abahmu yang melekat pada dirimu. Aku menebak, mungkin saja itu yang membuatmu enggan untuk meneruskan kepemimpinan pesantren. Pesantren yang berdiri bersebab inisiatif tetangga, mengingat kebutuhan agama tidak terkontrol dengan baik. Kau menaruh hati pada dirimu sendiri, pribadi yang memilih menjauh dari keluarga setelah lulus Aliyah.
Kampus negeri menjadi incaranmu untuk mendalami pengetahuan, bahkan kau tidak tahu harus memilih jurusan apa. Tanpa babibu kau langsung mengambil jurusan filsafat yang itupun kau dengan dari guru sosiologimu ketika di pesantren ini dulu.
“Ilmu filsafat itu adalah ilmu yang disiplin,” begitu kau mengenang petitih gurumu.
Serumpun waktu yang terus berlalu, kau semakin tahu apa itu ilmu filsafat. Aku ingat kalau kau pernah hampir menyerah ketika setengah jalan melaluinya. Kalau tidak salah, kau pernah bercerita kala itu kau semester empat menuju lima. Kau memang sengaja pulang karena di pesantren ada acara haflatul imtihan.
“Kalau bukan Neng Zahra, siapa yang akan meneruskan kepemimpinan pesantren ini?” lagi-lagi akau bertanya setelah tidak aka nada jawaban.
Aku berpikir, tentu tidak akan adikmu, Neng Laili, yang masih seusia Aliyah dan Lora Ahmad, yang masih kelas dua Tsanawiyah. Mereka kurang cocok untuk menggantikan posisi abahmu, dan kau sebagai kakak tertua, lebih pantas menduduki posisi abahmu, mengingat sirimu yang sudah semester tujuh, tinggal sekalangkah untuk menyandang status sarjana dan di mata msyarakat, status sarjana sudah mampu memikul tanggungjawab sosial.
Perkara sosial, tentu bukan hal mudah untuk dilakoni, apalagi untuk marga kiai. Apalagi ketika kondangan muslimatan dan kau ditunjuk tuan rumah untuk memimpin rentetan acara. Apesnya—jika itu bernar terjadi—tak banyak doa-doa yang kau hapal. Sehingga kau lebih memilih untuk tidak melanjutkan kepemimpinan abahmu. Kau lebih pasrah kepada umimu dan pamanmu, adik kandung abahmu. Kau benar-benar tidak berani untuk mendekati posisi itu.
Belum lagi ketika kau mencocokkan kondisi sosial di metropolitan dan di desanmu, sangat berbeda jauh. Di tempat yang tidak mengenal malam, orang-orangnya sudah mampu berpikir luas, luwes dan lentur. Meraka mampu mendatangkan uang tanpa bekerja, cuku memainkan gawai, uang datang tanpa diundang. Urusan agama, mungkin jangan ditanya, minim sekali. Tingkat kepatuhan pun demikian, tidak banyak yang mengimani.
Berbanding terbalik dengan di desamu. Orang-orang di desamu, perihal agama, cukup berat untuk diacungi jempol, melihat tidak adanya alumni pesantren menjadi alasan utama. Urusan pekerjaan, mungkin jangan ditanya, orang-orang di desamu lebih senang berkerja, bersusah-susah, bermandi peluh untuk mencari lembaran-lembaran rupiah. Kerena mereka lebh senang bekerja dengan otot dari pada otak. Dan hal yang pasti pada orang-orang desamu, mereka hanya mematuhi petuah-petuah abahmu.
Kecacatan sosial itulah yang membuat dirimu memilih jauh dari posisi abahmu. Bisa jadi, umimu sudah berapa kali menyirami ruhani pada dirimu. Apalagi pamanmu yang kerap kali aku lihat sedanag duduk berdua dengamu di ruang tamu setalah makan malam. Aku tidak tahu apa yang umimu, pamanmu dan kau bicarakan, yang kutahu setelah percakapan itu, matamu sayu dan jelanmu tertatih lesu.
“Tentu tidak mungkin pamanmu, Neng, sebab yang mendirikan pesantren ini adalah abahmu,” kembali aku berujar setelah kau melirikku.
Aku berharap lirikan itu menjadi awal kau akan berbicara, memastikan semua yang kupikirkan salah, karena kau mau menempati posisi abahmu. Karena rasa salah dan sesal membubung pekat di kepalaku. Mungkin saja dengan jawaban yang kau lontarkan, rasa salah dan sesalku perlahan memudar serupa cat tembok termakan usia.
Untuk saat ini, kau tak lagi menatapa sang mentari, tatapanmu lekat menatapku yang sedari tadi banyak berbicara, merasa tidak mengerti dengan perasaanmu yang semakin menyulut kesal perasaanmu kepadaku. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan ini bisa dibenarkan. Dari tatapan matamu, aku sudah mengerti bahwa sirimu sedang terusik, merasa tidak nyaman denga napa yang sedari tadi aku bicarakan.
Mngkin saja, aku menyinggung kedalan hatimu yang selama ini kau rawat baik-baik. Puadai perasaanmu yang lapang, suci tidak bernoda, kini telah kunodai dengan perhatianku yang tidak kupaham sedari tadi telah mengusik. Seakan aku adalah puaka yang terus saja menghantui dirimu samapi antah berantah. Posisi diriku yang bukan apa-apa, sekadara teman karib sedari kecil, karena kebetulan rumahku berada di belakang rumahmu, tidak ayal bila aku kerap mendatangi tanpa perlu sungkan.
Lantai pualam ini menjadi saksi atas keprihatinanku terhapa posisi yang harus segara kau tempati. Bukan aku memaksa kau harus seperti abahmu, akan tetapi setidaknya kau mengisi kekosongan kursi abahmu itu sudah lebih baik dari pada harus tergantikan pamanmu. Akan kupastikan, bilaman kau benar menduduki posisi kekosongan abahmu, aku siap menjadi khadam yang setia sampai akhir hayat. Kau terlalu berate untuk keluarga ini. Sebagai sahabatmu, aku ingin kau yang menggatikan posisi abahmu.
Setelah pikiranku bergulat sendiri, masih! Yang kutemui kau diam membisu, taka da sepatah kata meluncur dari bibirmu. Kau terlalu mengakrabi sepi, terlampau, sampai kau sendiri termakan kesunyian.
Aku bingung harus melontarkan kata apa agar kau mau berbicara, mau menanggapi segala pertanyaan yang aku utarakan. Untuk saat ini, kau bukan Neng Zahra yang aku kenal. Neng Zahra yang tak pernah selalu tampak ceria, tidak pernah enggan untuk menebarkan senyum bulan sabitnya. Cicin kebahagiaan tidak pernah pudar melengkung di paras indahnya.
Kurasa, taka da kata-kata yang bisa membuatmu berkata. Pikiranmu terlampau dihiasi mendung kepergian sosok yang sangat berharga untukmu. Aku takut, dengan sikapmu yang begini, orang menyangka kau bisu, atau lebih kejam, kau sudah tidak waras. Itu yang sangat tidak ingin aku dengar dari bibir tentangga. Kau putra kiai, kau Neng Zahra yang pernah dielu-elukan oleh tatangga. Apakah kau mau, Neng, yang melakat pada masyarakat tentang dirimu sirna karena sikapmu yang seperti ini?
Pelan-pelan aku memberanikan diri menatap kerudung samapi kakimu. Paras indah benar-benar merangkulmu, ia sama seperti kau masih Tsanawiyah. Kau benar-benar mewarisi kecantikan umimi, Neng. Lesung pipi yang mewarnai senyummu selalu menjadi daya tarik untuk lemat lekat menatap lengkung sabit itu.
Sungguh, aku tidak tahu harus bertanya apa dan mengapa lagi, bilamana semua pertanyaanku menjadi kuah hambar yang enggan untuk dicicipi lagi. Mungkin, tebakku, kau sudah tidak mau hidup dengan kata-kata, mungkin juga, karena tidak mampu kata-kata itu terlanjut mencabik-cabik hatimu yang kilap.
Barangkali, kau hanya membutuhkan maksud tanpa harus diantar oleh kata-kata serupa cahaya yang tidak diantar apa-apa. Dan sialnya, aku tidak tahu maksud yang tidak membutuhkan kata-kata.
“Aku mencintaimu Neng Zahra.” Kau menoleh, mengoreksi gelagatku sambil membuka bibir dan aku menunduk.
Perpustakaan Lubangsa, 30 Januari 2022 M.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024