Cerpen Fileski
[dimuat koran Jawa Pos, Radar Jember 24 Januari 2024]
Pertama aku mengenalnya, ketika aku ditempatkan di kantor ini. Sebuah kantor DPRD yang berjarak 15 menit dari rumah. Beruntung aku ditempatkan untuk bekerja di sini, suasana yang nyaman karena cocok untuk kebiasaanku yang pendiam. Tak banyak orang yang suka bicara di tempat ini. Sebab aku sulit bekerja ketika ada suara-suara orang riuh tawa orang bercanda. Ia pun juga wanita pendiam, tak banyak bicara, seperlunya bibirnya mengucap kata, untuk urusan yang penting-penting saja.
Awal aku mulai akrab dengannya, ketika dia chat aku di WA. Padahal tidak pernah pernahnya kami saling menyapa. Dia chat aku dengan mengirimkan link cerpen yang aku tulis di salah satu koran nasional. “Keren, aku suka cerpenmu, bikin ngakak dan endingnya tidak tertebak.” Ucap ia via chat WA.
Namanya Ine, ia pegawai honorer di kantor ini. ia tau nomor WA ku karena semua karyawan di kantor tergabung dalam satu grup WA yang sama, untuk memudahkan koordinasi pekerjaan. Aku membalas pesan darinya “Terima kasih mbak. Kok kamu bisa tau karya tulisanku, dapat dari siapa?”
“Aku memang suka baca cerpen dan puisi yang terbit di koran-koran, semenjak jaman kuliah. Dan sekarang ada media Ruang Sastra yang mengarsipkan karya-karya yang sudah terbit di koran, sangat membantu untuk selalu mengikuti kabar karya terbaru yang dimuat. Eh, kebetulan aku lihat ada namamu.” Jelasnya padaku.
“Aku suka cerita-cerita yang tidak biasa seperti yang kamu tulis, kalau ada karya lain yang serunya sejenis itu, kirim aku ya, aku suka karena alurnya tak biasa!” ucapnya meminta.
Semenjak saat itu kami akrab. Meski tak ada yang tau, tempat duduk kami cukup berjauhan. Tidak akan ada yang menyangka kalau kami berdua akrab. Semenjak intens saling chat WA, kami jadi sering saling curhat. Pernah ia membahas tentang anaknya yang saat ini sedang duduk di bangku SMA. Kenakalan remaja hari ini bikin ia pusing. Ia pernah bilang, kalau ia sering menangis sendiri. “Memangnya kamu tidak pernah cerita sama suami?” Tanyaku padanya.
“Suamiku sibuk dengan urusannya, kerjanya sangat sibuk. Tidak ada waktu untuk mendengarkan curhatanku, apalagi membahas masalah receh tentang anak, dia mana sempat. Mengenai anak, dia pasrahkan ke aku sepenuhnya.” Ia menjelaskan.
Sebenarnya aku sungkan melayani setiap curhatannya. Seorang wanita yang sudah bersuami, sering curhat sampai tengah malam, sama lelaki lain. Apa suaminya itu tidak marah. “Suamimu dimana, kok jam segini masih bisa chating?” tanyaku sedikit khawatir.
“Dia sudah tidur.” Singkat ia menjawab.
Sementara anak lelakinya itu sering bikin ulah di sekolah. Bukan karena dia berantem atau tawuran antar sekolah. Setiap hari ada saja ulahnya yang bikin ibunya menangis. Mulai dari merusakkan alat musik milik temannya. Datang ke sekolah jam 9 bersama anak-anak yang pulang dari GOR, agar tidak terlihat terlambat. Sering minta uang yang katanya untuk bayar buku, padahal bukan. Tak jarang Ine harus ke sekolah untuk memenuhi panggilan BK. Tambah lagi ia curiga sekarang anaknya itu punya pacar.
Begitulah hari-hari aku lalui untuk chatting bersamanya setiap malam. Aku sadar, hal ini tidak boleh diterus-teruskan. Ia sudah punya suami, sedangkan aku, lelaki jomblo yang sudah masuk kepala 3. Aku mesti segera punya calon istri. Rasanya tidak baik terlalu dekat dengan istrinya orang lain. Kadang aku bertanya, jangan-jangan dia jodohku, yang selama ini nyangkut di rumah tangga lelaki lain. Kalau memang itu benar, ya pantas saja kalau aku tak juga menemukan wanita yang pas di hati. Ah, itu pikiran ngaco. Masak lelaki perjaka ganteng usia 30 menikah dengan wanita janda usia 40. Tapi biarpun dia berusia 40 tahun, masih kelihatan seperti wanita usia 27 tahun, entah apa resepnya dia bisa awet muda. Ah rasanya aku berandai-andai terlalu jauh. Lagipula itu doa yang tidak baik, jika aku mengharapkan Ine bercerai dengan suaminya.
***
Seminggu ini aku tak lagi melihat dia pasang status WA, padahal biasanya dia rutin upload status motivasi kehidupan. Biasanya pun ia sering komen statusku, walau sekedar kirim emoticon jempol. Pun dia sudah tak lagi mengintip statusku. Entah apa yang terjadi dengannya. Sekantor dengannya, melihat dia ada, tapi aku tak dianggap ada. “Apakah aku harus chat dia duluan?” Tanyaku dalam hati.
Bukankah menjauhi dia adalah suatu kebaikan, aku harus tau diri bahwa dia sudah bersuami. Tuhan mengabulkan keinginanku, agar tak terlalu dekat dengannya. Kenapa sekarang justru aku yang risau. Lama tak lagi saling curhat dengannya, hariku terasa berbeda. Mungkin ini yang terbaik, mungkin ini pertanda aku sudah semakin dekat dengan jodohku. Aku harus melupakan Ine. Wanita cantik, yang ketika dia bicara, membuat hati terasa sejuk, bisa lupa beban kerja yang suntuk. Sungguh dia adalah penyemangat ku di ruang kantor yang hening ini.
Bisa jadi, Ine tak ingin mengganggu aku lagi. Ia menjauhiku supaya aku segera mencari wanita lain yang bisa menemaniku. Meskipun aku tau, aku merasakan Ine sebenarnya juga suka sama aku. Akulah lelaki yang setia mendengar segala cerita dan keluh kesahnya. Namun dunia memisahkan aku dan dia, dengan aturan, norma, etika, menjadi tembok tinggi antara rasaku dan rasanya untuk menyatu.
Satu bulan berlalu. Malam setelah waktu isya, aku duduk-duduk di bangku taman. Berbincang dengan kawan-kawan pegiat budaya. Membahas apa saja, mulai dari soal kesenian sampai soal politik. Bicara apa saja, sekenanya. Canda tawa lepas ke udara, di sini aku menemukan teman-teman yang nyaman, untuk membicarakan segala kegundahan dan kegembiraan. Tak lama kemudian, ada seseorang yang tak asing bagiku. “Ine? Kenapa dia berjalan ke sini.” Ucapku dalam hati.
Ia bersalaman dengan orang-orang di sekitarku, pun juga aku. Beberapa detik aku baru tersadar kalau dia mengajak bersalaman. Aku masih tertegun, tidak percaya kalau Ine ada di sini. Dengan senyum dan keramahan, ia menyapa orang-orang yang berkumpul di taman. Aku lihat ia mengeluarkan sebuah alat yang mirip timbangan badan, dari dalam tasnya.
“Ya begini mas kerjaku kalau malam, sepulang dari kantor. Yah buat cari tambahan penghasilan, yang penting halal. Monggo yang ngersakne cek kesehatan.” Ine menawarkan.
Aku baru tahu kalau Ine punya kerja sampingan. Belum percaya dengan apa yang kulihat di depan mata. “Kok tega suaminya membiarkan dia bekerja, kurang cukup apa gaji suaminya, apalagi dia juga bekerja di kantor dari pagi sampai sore.” Pikirku dalam batin.
Satu persatu orang menginjakkan kakinya di atas alat timbangan yang ia bawa. Sambil mencatat angka-angka yang muncul di alat itu, Ine memberitahukan tentang hasil yang ia baca. Kudengar ia membicarakan tentang asam urat, kolesterol, berat badan, dan lemak orang yang baru saja memakai alat itu.
Baru paham aku, setelah Ine menyodorkan secarik kertas dari hasil indikator alat itu, juga sebotol teh herbal. Secarik kertas yang Kop-nya bertuliskan Keluarga Sehat. Ternyata Ine punya kerja sampingan sebagai seorang penjual obat herbal. Tiba giliranku ditanya “Pripun mas, ingin coba cek kesehatan napa mboten?” Tanya dia ke arahku.
Aku pun melepas sandal, dan menaikkan kakiku ke alat timbangan itu. “Pripun mbak, apakah ada sesuatu dengan kesehatanku?” Tanyaku penasaran.
Ia mengambil secarik kertas, menulis angka-angka hasil indikator yang keluar dari alat itu. Kemudian ia menyerahkan secarik kertas itu kepadaku, dan berkata “Ini catatan makanan yang saya anjurkan untuk dikonsumsi, dan makanan yang harus dihindari. Sama saya berikan beberapa resep herbal, gratis. Nanti kalau dirasa membuat badan jadi enakan, boleh pesan ke saya mas. Masih menyimpan nomor WA saya kan?” Sebuah pertanyaan candaan yang tak mungkin aku jawab.
“Oh gitu ya, memang beberapa minggu belakangan ini aku rasakan otot-ototku nyeri, badan sering pegal-pegal. Oke saya terima herbalnya, ada lagi yang perlu aku tau mbak?”
“Ada mas, aku sudah resmi tak bersuami.” Kalimat itu lirih, ia dekatkan bibirnya berbisik di telingaku, tapi kurasakan begitu menggelegar seperti petir yang menyambar baliho caleg di musim kampanye. (*)
Fileski, 23 Januari 2024.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313