Dalam Namanya Ada Dalam Puisiku, Chris Triwarseno melahirkan cinta dan kerinduan dalam format yang tidak hanya puitis, tetapi juga ilmiah dan introspektif. Dengan penggabungan elemen biologis dan emosional, puisi ini menghadirkan kompleksitas yang menuntut pembacanya untuk menyelami tema cinta dengan lensa yang tidak biasa – menempatkan cinta di antara denyut nadi, syaraf, dan memori.
Bait Pertama: Kenangan yang Mendiami Diensefalon dan Talamus
“kisah-kisah menyelinap
menuju diensefalon
kesadaran membebas memori
dalam coding abstrak talamus
serupa wajah wanita tersenyum
kubaringkan dalam ingatan”
Bait pertama memperkenalkan pembaca pada narasi yang tak biasa dengan menyisipkan istilah-istilah biologis seperti “diensefalon” dan “talamus.” Secara fisiologis, diensefalon dan talamus adalah pusat kendali untuk emosi dan ingatan di dalam otak, dan dalam konteks puisi ini, Bung Chris menggunakan istilah tersebut sebagai metafora yang memperdalam pengalaman cinta sebagai sesuatu yang bersifat neurologis, bukan hanya abstrak. Teknik ini, yang bisa disebut sebagai sinektik biomimetik, adalah usaha menggunakan elemen kehidupan ilmiah untuk menciptakan hubungan baru dengan tema cinta.
Diksi seperti “kisah-kisah menyelinap” dan “coding abstrak” menunjukkan bahwa kisah cinta di sini bukan sekadar pengalaman pribadi, tetapi sebuah proses fisiologis yang membentuk subjeknya di level mendalam. Ia memasukkan wajah kekasih ke dalam jaringan memori, menggambarkan ingatan sebagai sesuatu yang hidup, berdenyut, seakan kisah cinta ini telah menjadi bagian dari mekanisme tubuh yang bergerak dan terus aktif.
Bait Kedua: Nama sebagai Jerat dan Keterhubungan melalui Denyut Nadi
“puisiku mengikatmu dalam jerat
setiap awal larik merangkai namamu
yang huruf-hurufnya bergegas
menambatkan perasaanku
pada detak-detak hatimu
tak henti menahan nadiku”
Di bait ini, Bung Chris menghadirkan “nama” sebagai metafora bagi identitas yang tak terpisahkan dari rasa cinta. Teknik onomatopoetik alusif diterapkan dengan sangat halus melalui “mengikatmu dalam jerat,” yang mengesankan bahwa setiap huruf dalam nama kekasih telah menjerat dirinya dalam narasi yang tak bisa dia lepas. Nama menjadi lambang cinta yang abadi, karena melalui “detak-detak hati” ini, kehadiran kekasih telah menjadi bagian dari denyut nadinya sendiri. Kata “bergegas” menambah efek urgensi dan intensitas, seolah-olah cinta ini bukan hanya perasaan, tetapi sebuah perintah tubuh yang harus terus dipatuhi dan dirasakan.
Lebih dari sekadar hubungan emosional, bait ini menunjukkan bahwa cinta adalah energi fisiologis yang dirasakan secara nyata di dalam tubuh. Elemen seperti “detak-detak” dan “nadiku” menghadirkan pengalaman somatik cinta, yang menggambarkan kekasih sebagai arus biologis yang menggerakkan tubuhnya. Hal ini sejalan dengan teori embodied cognition dalam sastra, yang melihat emosi sebagai hasil dari interaksi fisik antara tubuh dan perasaan.
Bait Ketiga: Cawan Rindu dan Gairah yang Terlampau Rasa
“berdenyut mengiring diksiku
memilihkan cawan rindu
membiarkanmu mencecap
hasrat cintaku dalam gairah
serupa anggur memabukkan
aku dan kamu dalam sulang”
Bait ini berperan sebagai klimaks emosional dari keseluruhan puisi, menghadirkan konsep cinta sebagai sesuatu yang diminum dan dinikmati dengan segala intensitasnya. Konsep sinekdoke gustatoris digunakan di sini melalui kata “mencecap,” yang memberikan rasa bahwa cinta ini bisa dirasakan langsung seperti mencicip anggur. “Cawan rindu” dihadirkan sebagai lambang dari hasrat cinta yang sudah terlalu penuh hingga perlu dituangkan dan dinikmati oleh kedua subjek.
“Anggur memabukkan” adalah metafora yang memunculkan gambaran cinta sebagai sesuatu yang memiliki efek transenden, melampaui rasionalitas. Simbolisme enologis (simbolisme yang merujuk pada anggur atau minuman) di sini mengesankan bahwa perasaan cinta adalah sebuah ekstase – momen kebersamaan yang tak hanya menyatukan fisik tetapi juga spiritual. Istilah “sulang” atau mabuk bersama menguatkan konsep bahwa kedua insan ini menyatu dalam ekstasi yang hampir mistis, melampaui batas-batas identitas individual dan menjadi satu entitas cinta.
Refleksi Cinta yang Fisik, Emosional, dan Transendental
Puisi Namanya Ada Dalam Puisiku adalah sebuah karya yang mengangkat cinta di luar batas-batas sosial atau identitas seksual. Puisi ini seakan berusaha mempertemukan dunia biologi, neurosains, dan puitika dalam satu wadah. Lewat setiap baitnya, Bung Chris mengajak pembaca untuk menyelami bagaimana perasaan cinta bukan hanya sesuatu yang bersifat emosional, tetapi juga memiliki keterkaitan yang mendalam dengan tubuh dan saraf. Melalui pendekatan yang penuh terminologi ilmiah dan filosofis, puisi ini menjadi eksplorasi tentang cinta sebagai pengalaman somatik, emosional, dan spiritual.
Sebagai penutup, puisi ini seakan berbisik pada kita bahwa cinta sejati memiliki kedalaman yang tak terukur; ia menjadi denyut di dalam otak, nama dalam kata, dan anggur yang dinikmati hingga mabuk. Semua ini menyatu dalam pengalaman yang melampaui identitas dan gender, mengubah puisi ini menjadi lebih dari sekadar karya, tetapi juga sebuah renungan hidup. Chris Triwarseno berhasil mengemasnya sebagai pengingat bahwa cinta sejati adalah pengalaman yang berada di antara tubuh dan jiwa, rasa dan logika, menjadikannya sesuatu yang tak lekang oleh waktu.
IRZI – November, 2024
2 Komentar
ulasan yang bagus
BalasHapusterus berkarya bang
BalasHapusKirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313