RAHASIA
Karya: Wahyu Toveng
Setiap orang pasti memiliki rahasia, entah apa pun itu. Mereka memilih menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut demi normalnya kehidupan yang tengah mereka jalani. Karena bisa saja rahasia itu menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri bila sampai diketahui banyak orang. Kehidupan mereka akan terguncang dan menjadi berbeda, tidak lagi serupa dengan kehidupan sebelumnya yang normal. Rahasia itu sendiri mungkin saja adalah jatidiri mereka yang sejati, atau wujud kehidupan lain yang hadir tak disangka-sangka sebagai takdir.
Seseorang menelponku menjelang tengah malam, ia meluapkan amarahnya kepadaku dan menuduhku sebagai bajingan tulen. Aku hanya terdiam mendengarkan ocehan kasarnya di seberang sana. Kupingku serasa bagai kawah magma gunung berapi, seperti menanti saat paling naas untuk erupsi. Mimpi apa aku kemarin, ini orang kedua yang memaki-makiku malam ini, sebelumnya kekasihku Gina tanpa alasan yang jelas menumpahkan emosinya selama hampir satu jam, ia menyebutku sebagai pembohong dan tukang selingkuh hanya karena secara tak sengaja aku bertemu dengan mantanku.
"Kamu kan tahu, aku sedemikian sayangnya dengan dirimu, sampai aku berani membelamu di depan suamiku dan mengatakan bahwa hanya kamu yang bisa sabar mengerti aku, memahami semua yang kumau, kok tega-teganya kamu berkhianat dan janjian ketemuan dengan mantanmu itu, aku kurang apa sih ke kamu?"
Gina memakiku sambil menangis di telepon. Ia sepertinya sangat kecewa denganku, aku akui hubunganku dengannya memang terlarang, ia telah bersuami dan mempunyai dua orang anak, tetapi aku sama sekali belum menyentuhnya meski ia menawarkan diri. Sebab itu aku bingung saat ia tiba-tiba begitu murka malam ini, entah mengapa menjadi seperti ini sulitnya memiliki rindu yang murni, dicerca dan dihukum tanpa pembelaan terhadap ketulusan gemuruh di dadaku. Aku pun mengiyakan saja semua tuduhannya supaya ia bahagia dengan semua prasangka.
"Kurang ajar lu ya, cari mati lu sama gua haah? Udah tahu itu lapak gua, ngapain lu coba-coba jualan madu di situ? Sok ganteng lu ya? Lu kan udah punya lapak, kenapa lu masih aja doyan lapak orang lain, lu nggak puas sama lapaklu sendiri?!"
Suara makian itu mencecarku dalam satu tarikan napas, aku seakan terhisap ke lembah kerongkongannya dan dilumat tanpa ampun. Aku berusaha bertahan untuk tidak terperosok hingga ke liang gelap dan terbenam di lambungnya, tetapi lembah kerongkongannya itu begitu licin oleh lendir dahak dan nikotin. Kurang ajar!
"Maaf mas, saya beneran nggak tahu kalau itu lapak punya mas, saya jualan madu di situ karena nyaman dan nggak ada niatan lain."
Aku menjawab sewajarnya saja karena tidak ingin ribut panjang dengannya, jawaban dan alasan apa pun tidak akan diterima olehnya. Orang dengan keadaan yang marah seperti ini, sulit untuk menerima penjelasan meski yang masuk akal sekali pun. Dan suara orang di seberang sana semakin meninggi, ia tidak menyangka bahwa lapaknya bisa aku tempati tanpa sepengetahuannya, padahal ia selalu merawat lapaknya itu dengan kasih sayang dan pelukan hangat. Lalu tiba-tiba aku masuk ke dalam kehidupan mereka dan membuat lapaknya menyerah kepada ketulusanku merangkai kata-kata madu. Aku selalu begitu, merawat sesuatu yang disia-siakan demi menghidupkan kembali binar yang tersaput mendung kelabu. Aku tak tahu kasih sayang dan pelukan hangat seperti apa yang orang itu berikan saat merawat lapaknya, yang jelas lapak itu begitu ceria menyambutku, seperti mendapatkan apa yang selama ini sangat dibutuhkannya namun tidak didapatkannya dari orang itu. Setidaknya seperti itu aku memperlakukan lapakku sehari-hari, mengajak semua energi yang ada di tempat itu untuk bersenyawa dengan kehadiranku. Yang positif aku pertahankan, yang negatif aku minimalisir.
"Kosong mas, kalau mas mau ngisi, laporan saja sama ormas yang mengurusi semua lapak penjual di sini, itu sekretariatnya di ujung pasar ini." Ujar mbok Sumi penjual telur yang lapaknya tepat di samping lapak ini ketika itu.
Dia menceritakan pengisi lapak sebelumnya menunggak membayar uang sewa lapak selama lima bulan hingga diusir oleh ormas pengurus lapak. Karena itulah aku merasa aneh ketika orang itu mendadak menelepon dan menuduhku merebut lapaknya.
"Gini aja mas, mending mas ke sekretariat ormas pengurus lapak saja, saya kan nempatin lapak itu juga nggak asal masuk, tapi membayar uang muka dan uang sewa, nggak bisa mas bilang saya asal ngerebut itu lapak, wong ada surat perjanjian sewanya kok!"
Dengan tegas aku memotong ocehannya yang terus nyerocos di seberang sana, aku heran dia dapet nomer whatsappku dari siapa, aku sempat berpikir mbok Sumi yang memberikannya, saat kemarin aku tutup lapak setengah hari karena harus vaksin booster. Mbok Sumi memang telah bertukar nomer whatsapp denganku, ia sendiri yang meminta kepadaku dengan alasan dapat menghubungiku sewaktu-waktu bila ada keperluan.
"Hei, bajingan, gua udah nggak peduli sama lapak busuk di pasar bau itu, elu mau jualan madu kek, bangkai tikus kek, narkoba kek, gua udah sebodo amat!! Tapi kurang ajarnya elu itu, hiduplu itu kan sebenernya udah enak, keluargalu tajir, kenapa juga lu masih nyari duit receh, gua tahu keluargalu itu seperti apa, punya usaha yang lebih kakap dibanding jualan madu recehan itu, kenapa lu masih ngambil rezeki orang-orang yang ekonominya di bawahlu?!"
Orang di seberang sana begitu sengitnya memakiku, ini sungguh sudah di luar batas, ia mengusik yang bukan urusannya lagi. Adalah hakku untuk berusaha secara halal dan wajar, menurutku itu tidaklah merugikan hak orang lain. Dan untuk apa ia berbicara tentang usaha keluargaku, aku bahkan tak ada urusan dengan itu. Aku sengaja berjualan madu yang untungnya tidak seberapa, karena ingin merasakan sendiri bagaimana membangun usaha dari nol. Aku menatap layar handphoneku, aku harus memberi pelajaran terhadap orang ini, mulutnya sudah tidak sopan. Padahal aku telah berusaha bersabar dengan meminta maaf dan memberi penjelasan sewajarnya. Maka kuarahkan telapak tanganku ke arah handphoneku, selarik sinar biru terang menyelimutinya dan seluruh ruangan ini pun menjadi begitu terang oleh cahaya sinar biru tersebut. Aku menarik paksa orang itu melalui layar handphoneku ke ruangan ini, ia berteriak kesakitan saat keluar melalui benda pipih tersebut lalu tersungkur membentur pinggiran sebuah meja makan bulat. Sebelum sempat ia memahami apa yang sedang terjadi, kuangkat tubuhnya dengan sinar biru dari telapak tanganku. Ia seperti tergantung meronta-ronta di atas ruangan tamu dan kakinya bergoyang mencari pijakan. Aku menatap lelaki separuh baya itu penuh rasa benci dan puas, ia tidak menyangka bakal mengalami kejadian serupa ini, suaranya tercekat saat memohon ampun kepadaku.
"Aaargh.. maafkan aku anak muda, aaampun.. aku tidak tahu.. kkaalaau kkaauu sesakti ini.. le.. lepaskan aaakuuu.. kumohoon.. maafkkkaan.. aaakuuu... aaargghh.. !"
"Heei.. berengsek, Kau mencari masalah dengan orang yang salah, kau mencari mati denganku heeeh..?!"
Aku membentak lelaki itu dengan tetap membuatnya tergantung oleh sinar biru dari tanganku, padahal tidak ada setengahnya aku mengeluarkan kekuatanku dan sekadar memberikan pelajaran kepadanya. Bisa saja ia hancur tak bersisa oleh liliitan sinar itu kalau aku mau.
"Iiyyaaaa... aku minta maaf, aaaakuu tidak akan mengganggumu laggiiii.. to..to..tolong lepaskan aku... aku be..be..beluum maauuu... maatiii... kumohon, jangan bunuh aku...!!" Pintanya penuh harap kepadaku.
"Baik, aku maafkan dirimu, aku tidak akan membunuhmu, kau akan lupa dengan kejadian ini dan tidak ingat sudah berurusan denganku!!"
Lalu kukeluarkan selarik sinar lain berwarna merah dari mataku dan kuarahkan tepat ke keningnya, tujuanku adalah agar ia tidak mengingat lagi apa yang sudah kulakukan terhadapnya, teramat riskan untuk jatidiriku bila nanti lelaki ini menceritakan apa yang menimpanya kepada orang lain. Sesaat kemudian, aku kembali menjejalkan dirinya dengan sinar biru di tanganku untuk masuk ke dalam handphoneku, tetapi aku tidak mengembalikannya ke tempatnya semula, melainkan ke tempat lain yang jauh. Sempat terlintas di pikiranku salah satu atap gedung pencakar langit di kota Surabaya sana, maka ia akan terlempar ke tempat itu.
"Kau harus berhati-hati menggunakan kekuatanmu ditempatmu berada nanti, karena belum tentu dunia yang di sana serupa keadaannya dengan tempat yang kita tinggali saat ini, alam semesta mempunyai banyak kemungkinan yang tak pernah kita ketahui sebelumnya." Begitulah Dharma Wiguna, ayahku mengingatkanku sesaat sebelum ia membuka gerbang dimensi untukku dapat berpindah ruang ke dunia yang kutempati saat ini.
"Seorang pria tak dikenal terlihat mengobrak-abrik kerumunan pendemo yang anarkis di Bundaran Patung Kuda, di jalan Medan Merdeka Jakarta Pusat. Ia mencengangkan semua orang di tempat itu dengan sebuah kekuatan aneh. Tangan kanannya nampak mengeluarkan sinar biru terang menyilaukan, dan saat ia sekali saja memukulkan tangannya itu ke jalanan, mampu membuyarkan kerumunan massa yang mengerubuti dan mulai merusak mobil yang ditumpanginya. Tidak sampai di situ, ia menyibakkan massa yang bergerombol menghalangi jalan dengan menggerakkan kedua tangannya dari jauh, sebelum ia kembali masuk ke dalam mobil yang kemudian membawanya berlalu dari lokasi demo tersebut."
Narasi penyiar berita dari satu stasiun televisi swasta itu masih terngiang jelas di telingaku, tentu saja aku mengingat semua kejadian pada hari itu, aku terpaksa harus menggunakan kekuatanku saat mobil taksi online yang aku tumpangi tiba-tiba diserbu massa pendemo, setelah secara tak sengaja satu dari pendemo itu tersenggol kaca spionnya. Mereka memukul seluruh badan mobil dan bahkan mulai menghancurkan kaca-kaca, driver taksi online yang aku tumpangi pun tak luput terkena beberapa bogem mentah mereka, hingga aku pun juga diserang dengan sodokan bambu dan balok kayu, setelah kaca sebelah kiri berhasil mereka pecahkan. Aku pun melawan saat mereka mengeluarkan kami secara paksa dan hendak dikeroyok beramai-ramai. Secara reflek alami kekuatanku selalu muncul saat aku mengalami situasi genting seperti itu, tapi aku tidak berniat membunuh mereka dan hanya sekadar menghalau dan membuyarkan kerumunan massa. Saat mereka masih tercengang dengan apa yang mereka saksikan, aku buru-buru membangunkan driver taksi online yang tertelungkup dengan darah segar bercucuran di kepalanya, kupapah ia masuk ke bagian tengah mobil dan aku mengambil alih kemudi untuk melarikannya dari tempat tersebut.
"Terimakasih ya mas sudah menyelamatkan saya, kalau tidak ada mas tadi entah bagaimana nasib saya, tapi mas siapa sebenarnya? Kok mas-nya punya kekuatan sakti begitu? Mampu menumbangkan semua pendemo rusuh tadi, tapi tidak membuat mereka terluka ataupun terbunuh, tadi itu saya melihat mas-nya seperti di adegan film-film superhero Amerika, hehe..,"
Driver Taksi itu itu bertanya kepadaku setelah ia mendapatkan perawatan untuk lukanya di Unit Gawat Darurat sebuah Rumah Sakit. Aku tak mungkin menggunakan kekuatanku lagi untuk membuatnya lupa akan diriku dan apa yang telah ia lihat. Suasana ruangan UGD ini terlalu ramai, banyak pasien baru yang tengah menanti masuk ke ruangan perawatan beserta keluarganya. Belum lagi para dokter dan perawat yang berseliweran kesana-kemari menangani para pasien tersebut.
"Saya hanya orang biasa pak, kebetulan saja saya dianugerahi kekuatan dari Yang Maha Kuasa, sebenarnya saya pun enggan untuk menggunakan kekuatan saya bila tidak dalam keadaan terdesak, karena akan mengagetkan orang-orang yang melihatnya. Maka itu saya mohon kepada bapak, tolong rahasiakan jatidiri saya, sebab setelah ini saya yakin pihak keamanan akan datang kesini dan menanyai bapak perihal saya, bilang saja saya hanya mengantarkan bapak yang memang terluka karena serangan para pendemo tadi. Saya sudah bayarkan biaya pengobatan bapak dan mentransfer biaya untuk perbaikan mobil bapak yang rusak ke akun aplikasi uang online bapak. Saya mohon ya pak jangan ungkap siapa saya."
"Iya mas, saya tidak akan mengatakan apa-apa kepada petugas keamanan yang mungkin datang ke sini nanti, saya yakin mas orang baik kok, buktinya mas berjibaku menyelamatkan dan membawa saya ke sini, malah sampai membayarkan biaya pengobatan saya, juga mentransfer biaya untuk memperbaiki mobil saya. Aduh mas, saya sangat berterimakasih sekali sama mas!"
"Sama-sama pak, ya sudah saya pamit dulu, semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan ya pak."
"Iya mas, sekali lagi terimakasih, semoga Tuhan membalas kebaikan mas, hati-hati ya mas!"
Aku pun ingin berlalu dari rumah sakit itu. Sejenak aku menatap dekorasi bangunannya dari tepi jalan. Cukup megah bathinku, sayang bangunan semegah itu selalu penuh penderitaan orang-orang yang harus sejenak menepi dari rutinitas karena fisik mereka yang fana dan tak bisa melawan waktu. Aku mungkin juga tak mampu melawan waktu, semua kejadian datang silih berganti, entah di dunia yang ini atau dunia asalku. Waktu begitu misteri dengan dua sisi belatinya, sebagian orang merasa bahagia dengan kehidupan mereka, tetapi ada pula sebagian merasakan derita. Aku ingin menangisi derita orang-orang, tetapi belum tentu mereka menangisi deritaku. Aku hanya harus tetap berjalan, dengan atau tanpa tujuan. Ada tempat bersinggah untuk sekadar meminum kopi dan merokok juga berbagi cerita atau mungkin mengecap manisnya cinta. Atau mungkin tidak sama sekali.
Selesai
BIODATA PENULIS:
Wahyu Toveng, kelahiran Jakarta 1977 Alumni dari Akademi Teknologi Grafika Indonesia. Seorang penikmat sastra, puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi puisi bersama. Pernah berperan sebagai Brojo dalam lakon berjudul PERTJA bersama Pandu Teater untuk Festival Teater Jakarta Pusat 2021.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024