Aku
masih menatap dengan penuh amarah kuburan tua berumur 20 tahunan itu. Tanahnya
sudah datar dan pecah-pecah akibat musim kemarau, sementara tulisan di batu
nisan itu telah pudar tak jelas rangkaian huruf-hurufnya. Warnanya pun tak lagi
putih, akan tetapi berubah menjadi cokelat kusam tak terawat. Dan mungkin saja
mayat yang terkubur di dalamnya sudah menjadi tanah. Tapi aku tak peduli itu.
Kedatanganku
dihadapan makam tua itu bukan untuk menziarahi ahli kubur yang terkubur di
dalamnya. Kehadiranku di hadapan makam tua itu bukan untuk mencabuti
rumput-rumpt liar yang tumbuh diatas pusaranya, dan juga bukan pula untuk
mendoakannya. Tidak sama sekali!! Kedatanganku disini, di hadapannya karena
satu kemarahan yang besar yang aku simpan selama bertahun-tahun!
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrgggggggghhhhhhhhhh.......................!!!!!
Suaraku menggaung memecah kesunyian pemakaman yang sepi siang itu. Aku menangis
sejadi-jadinya sembari menunjuk-nunjuk ke arah makam itu, seolah-olah sang
penghuni kubur hidup dan berada di hadapanku.
“kakek manusia jahat!!
Semua kesusahan yang aku alami karenamu! Kau biang pembuat masalah!”
teriakku dengan penuh amarah. Semua cacian dan makian terlontar begitu saja
dari mulutku. “Demi Allah, aku akan
menjadi saksi atas kesalahan-kesalahan fatal yang kau buat di pengadilan
akhirat kelak! Aku tak ikhlas! Aku tak terima! Aku benci padamu....!!!”pekik
ku dengan deraian deras air mata.
Kuluapkan
semua amarah yang telah terpendam selama bertahun-tahun pada kuburan kakekku.
Aku marah padanya atas apa yang terjadi pada diriku. Bagiku semua masalah ini
berawal dari kesalahan pola asuhnya pada ibuku. Caranya mengasuh ibu yang
sangat fatal membuatku harus menanggung beban ini sejak masih dalam kandungan.
Selama bertahun-tahun aku mencari penyebab mengapa ibuku berbeda dan mengapa
ibuku tak bisa seperti selayaknya ibu-ibu normal lainnya.
Ibuku
bukanlah seorang ibu. Perangainya seperti anak-anak, sangat egois, selalu
mementingkan dirinya sendiri, sangat impulsive dan semaunya sendiri. Yang tak
tahu bagaimana cara memasak, yang tak tahu bagaimana cara mencuci, yang tak
tahu bagaimana cara membereskan rumah, yang tak mengerti bagaimana cara
melayani suami, yang tak tahu bagaimana merawat anak, yang tak tahu bagaimana
menyiram setelah buang air kecil, yang tak tahu bagaimana cara yang benar
bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain dan yang tak pernah mau mengerti
perasaan orang lain! Yang selalu dengan seenaknya menghabiskan uang untuk
berbelanja apapun yang tidak penting, yang selalu dengan mudah mengatai
kekurangan orang lain, menyinggung perasaan orang lain tanpa merasa bersalah
sedikitpun, yang selalu merengek tiap kali sakit, yang selalu merasa diri
paling cantik dan kaya serta dengan mudah menghina orang lain, bahkan suami dan
anak-anaknya sendiri. Yang hanya tahu tidur, makan, uang dan seks!
Aku
sangat lelaah......!! Aku lelah harus selalu mengalah dengan berbagi makanan
kesukaanku yang diinginkannya, aku lelah harus selalu mengalah untuk
mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, melayani ayah
hingga membersihkan rumah. Telingku lelah dengan segala tuntutannya yang sering
tak masuk akal dan diluar kemampuanku, aku juga lelah dengan segala makiannya
padaku. Sekali lagi aku sangat lelah!! Aku lelah harus selalu mengingatkannya
untuk menyiram dengan benar setiap kali selesai buang air, aku juga lelah untuk
terus-terusan mengomelinya karena berantakan setiap kali makan, dan aku sudah
sangat lelah untuk menghadapinya seperti seorang anak kecil. Aku muak untuk
berpura-pura menjadi seorang ibu dengan anak yang usianya jauh lebih tua dua
puluh dua tahun di atasku. I’m not your mother, but i’m your child...!!!
Bertahun-tahun
aku mencari jawaban atas perilaku tak normal ibuku, dan aku pun menemukan
jawabannya. Sebuah cerita yang sama dari banyak saksi bagaimana pola asuh yang
diterapkan seorang laki-laki yang telah menjadi tanah dihadapanku ini pada
ibuku. Bagaimana ia memberikan apapun yang dimau oleh ibuku tanpa membatasi,
bagaimana ia memukuli ibuku tanpa kejelasan ketika ibu melakukan kesalahan,
bagaimana ia membiarkan ibuku minggat dari rumah sementara kemudian ia masih
memberi uang selama ibu minggat?? “bagaimana
kau bisa menyuruh adik-adikmu, ibumu untuk memberikan apapun yang diinginkan
ibu, ketika ia minggat dan mengungsi ke rumah mereka?? Hah??!! Bagaimana kau
bisa memukuli ibuku hingga babak belur, sementara kau tidak memberikan alasan
mengapa ia dipukul??!! Mengapa kau menasehati ibuku dengan cara seperti itu??!!”
teriakku dengan isak tangis makin menjadi. “Mengapa
pola asuhmu begitu jahat?? Lihatlah sekarang!! Lihatlah kek... Lihatlah ia yang
tumbuh seperti anak kecil, berbuat semaunya sendiri dan sulit untuk dirubah!”
suaraku tersekat dan parau. Menjatuhkan kedua lututku sembari menutup wajahku
yang penuh dengan air mata. Aku tak tahu harus berkata apa lagi selain menangis
sejadi-jadinya. Lidahku telah kelu.
Hampir
dua jam aku mengeluarkan segala emosiku dihadapan makam tua itu, hingga aku tak
tahu harus bagaimana.. Tubuhku lemas, air mata yang membasahi pipiku pun telah
berangsur mengering oleh sapuan angin semilir pemakaman. Tak ada kata-kata lagi
yang mampu aku ucapkan, maupun secuil kata perpisahan pada makam ayah dari
ibuku itu kecuali ekspresi kecewa yang sangat dalam. Aku tak peduli apakah ia
di dalam sana mendengar semuanya atau tidak, yang penting aku telah puas
meluapkan semuanya lalu beranjak pergi dengan sikap acuh.
***
Empat
jam perjalanan dari salah satu desa di Bojonegoro, Jawa Timur tempat pemakaman
kakekku untuk sampai kembali ke Bandung. Tak ada perasaan apapun yang terlintas
di benakku selama perjalanan pulang, baik itu saat aku mengendarai mobil hingga
ke bandara Juanda Surabaya maupun saat menaiki burung besi kelas ekonomi hingga
sampai di bandara Hussein Sastranegara, Bandung. Pikiranku kosong, begitupun
pandangan mataku.
“kita ke Villa Lembang
ya pak..!” kataku pada sopirku, saat hendak
menyalakan mesin mobil.
“iya neng..”
sahutnya, lalu membawa mobil keluar dari parkiran bandara menuju ke tempat yang
ku minta.
Sepertinya
aku sangat lelah. Mataku menembus menerawang jauh ke luar jendela, namun hanya
kekosongan yang ku dapat. Tak mempedulikan macetnya jalanan sore itu, dan tak
berbicara sepatah katapun pada pak Mardi, supirku seperti biasanya. Sesekali
pak Mardi melihatku dari pantulan kaca spion, tapi aku tetap tak peduli. Aku
sedang malas dan tak bergairah.
“Punten neng....”, “Kunaon atuh, kok tidak seperti biasanya?”
tanya Pak Mardi tiba-tiba, memecah kesunyian dan membuyarkan kekosonganku.
“Hmm.. App.. Appaaa..
Apaa pak? Kenapa?” aku gelagapan bak seorang pencuri
yang ketangkap basah. Ekspresi wajahku pun tak karuan antara kaget, bingung dan
kosong mirip seperti korban gendam yang sadar.
Pak
mardi tertawa melihat ekspresiku dari kaca spion, membuatku makin bingung.
Kemudian mengulangi pertanyaannya, dan membuatku terdiam cukup lama sebelum
sampai akhirnya aku menceritakan tujuan kepergianku pagi tadi ke Jawa Timur.
Pak
Mardi tahu semua bagaimana keadaanku di rumah, hanya beliau tak pernah
sedikitpun berkomentar mengenai apa yang tengah aku jalani. Dan sepanjang
perjalanan menuju puncak Lembang yang dipenuhi dengan kemacetan itu pun juga
dipenuhi oleh tumpahan curahan hatiku pada Pak Mardi. Panjang lebar ku
ceritakan semua pada Pak Mardi meski kali ini tanpa diiringi oleh deraian air
mata, sementara Pak Mardi hanya manggut-manggut mencoba berempati atas apa yang
aku rasakan. Sudah habis ku tumpahkan siang tadi dan sudah lelah rasanya untuk
kembali menangis, hingga akhirnya kami berdua sama-sama saling terdiam cukup
lama.
“Eneng tahu? Eneng
adalah salah satu orang yang beruntung di dunia ini...”
kata Pak Mardi memecah kebisuan kami. Aku sudah lelah untuk bersuara hari ini,
dan aku memutuskan untuk mendengarkan saja apapun yang diucapkan Pak Mardi.
“kalau Eneng Sadar,
sebenarnya Allah itu sayang sekali sama eneng... Allah beri eneng ibu seperti
itu, tidak lebih agar eneng menjadi wanita kuat, menjadi wanita tangguh,
mandiri dan sampai bisa sesukses ini.. Semua tak lepas dari skenario Allah,
neng...”, Pak Mardi menghela napas panjang. “Coba andai saja ibu si eneng tidak seperti
ini, tetapi bersikap seperti bapaknya dulu dalam mengasuh eneng, lantas apakah
eneng bisa menjadi seperti ini?”. Pertanyaan Pak Mardi itu sukses membuatku
teringat bagaimana hidup anak-anak dari saudara-saudara ibuku yang berperilaku
seenaknya sendiri, yang membohongi orang tua lalu pergi ke luar kota dengan
laki-laki yang belum halal, ada juga yang menjadi pengedar narkoba, lalu ada
pula yang sampai tega menyakiti orang tuanya dengan merong-rong meminta uang
setiap saat. Miris sekali... Aku membandingkan bagaimana
hidupku dengan mereka. Aku tumbuh dewasa dengan kesuksesan yang aku raih dengan
segala jerih payahku. Rumah, mobil, apartemen, hingga mampu memboyong orang
tuaku jauh-jauh dari Surabaya ke Bandung dengan keringatku.
Sekelebat,
aku mengingat bagaimana tingkah laku lucu dan ceria ibuku yang tak pernah
dendam meski sering ku marahi, Yang selalu heboh tiap melihat hal yang baru
menurutnya, yang selalu bernyanyi dangdut setiap saat, yang selalu meminta di
foto, yang kerap menyungingkan senyum tulus khas anak kecil setiap kali aku
pulang ke rumah, serta yang begitu polosnya menenteng sepatunya saat berjalan di
lantai berkarpet. Diam-diam aku tertawa tanpa suara mengingat semua hal lucu
yang dilakukan ibu, dan sekaligus sukses membuatku tersadar akan kesalahanku.
Yah... Aku bodoh.. Aku tak sadar pesan indah Allah padaku, dan aku juga tak
mensyukuri sebuah nikmat dan hikmah besar yang terjadi padaku.. Tanpa terasa
air mataku sudah meluber ke wajahku, mengingat bagaimana perilakuku yang kasar
pada ibuku, sering membentaknya dan bahkan menganggap beliau adalah sumber
masalah dalam hidupku. Kumandang adzan magrib yang bersahut-sahutan membuat
hati ini makin bergetar tak karuan dan berubah menjadi sebuah kerinduan yang
teramat dalam...
***
“Pak.... Balik ke rumah
ya... Nggak jadi ke Villa..” pintaku... . (end)
#Cerpen
Hezty Azalea
7 Komentar
Inspirasi supaya mensyukuri apapun kondisi yg ada
BalasHapusCerpennya bagus membangun mindset yang membangun dan positif, dibalik hal yang negatif mampu menemukan sisi positif nya, ini lah yang membuat orang semakin berkembang dari waktu ke waktu.
BalasHapusMANTAFF
BalasHapusSiiiif ������
BalasHapusmenginspirasi... jgn menuntut tp ambl pelajaran dn hikmahx
BalasHapusKeren ��������
BalasHapusSangat menginspirasi
BalasHapusDibalik hal yang dibenci pasti akan ada hikmah
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280