005

header ads

KETIKA IPA DIRUDAPAKSA | Karya Yin Ude

“Kenapa nasibku seburuk ini?” ratap Ipa berulang-ulang. 

Syam hanya bisa menatapnya. Ia tak tahu harus menjawab apa. Matanya saja yang berkaca-kaca. Dadanya saja yang mau pecah. Orang tua mana yang tak marah putrinya diruda- paksa?
“Aku bersumpah. Akan kucari jalan bertemu dengan lelaki terkutuk itu. Akan kubalaskan perlakuannya ini!”

Dan dendam yang dicetuskan Ipa sudah lebih berkobar di dada Syam. Hanya saja ia merasa tak ada artinya diucapkan. Yang penting adalah, benar seperti kata Ipa, segera mencari jalan untuk bertemu dengan Kenji.

Bintara Jepang berpangkat socho atau sersan mayor itu telah datang ke kampung suatu sore. Ia bersama belasan serdadu mengumpulkan warga di tanah lapang, memberitahukan bahwa dua hari lagi truk pengangkut romusha akan menjemput para pria untuk dibawa ke Bima.

Dan ketika akan pergi, tatapan jelalatannya menumbuk Ipa.

“Hei, gadis cantik, ikut aku!” serunya dalam Bahasa Indonesia dengan aksen kaku.

Ucapan itu adalah perintah kepada para serdadu untuk meringkus Ipa yang berontak. Perintah untuk menghela Syam pula dengan pukulan popor senapan Arisaka tipe 99 pada punggungnya.

Syam tertelungkup di atas rumput. Hanya bisa pasrah melihat anaknya dibawa, setengah diseret, menuju Pesanggrahan Empang, markas fasis itu.

Dan ia pun hanya bisa memeluk Ipa ketika jelang isya buah hatinya itu pulang sambil menangis pilu, memberitahukan bahwa di sana ia telah kehilangan kehormatannya, di bawah tubuh kekar sang Socho.

***

Larut malam. Empang mati dibalut gelap yang dibungai gerimis.

Lebih gelap dalam dada dan kepala Syam yang sedang mengelus-elus badik  terhunusnya, yang merupakan pusaka warisan dari orang tuanya. Badik itu selalu terselip di pinggang bapaknya saat ikut dalam pertempuran melawan Jepang. Jika bapaknya berhasil mendekati musuh, badik itu akan memakan korban. 

“Senjata ini telah ikut membela bangsa, Nak.” Demikian ucapan bapaknya dengan bangga, yang selalu tercatat dalam benak Syam.

Telah bulat tekadnya pergi ke pesanggrahan, menyusup dan memasuki kamar Kenji. Ia pernah dua kali berada di markas itu karena dipanggil bersama warga untuk memperbaiki atap. Jadi Syam cukup hapal situasi dan letak kamar tujuannya.

Ia tengok anaknya yang tidur meringkuk dalam kamarnya, lalu keluar dan menutup pintu. Rentetan petir disusul hujan lebat menyambutnya di depan rumah.

Langkah Syam terhenti. Dalam gelap yang sesekali diterangi cahaya kilat ia menyaksikan dua orang lelaki lari ke arahnya. Satu di antaranya dengan tubuh membungkuk dan memegangi perutnya.

Semakin dekat dengan Syam, kira-kira sepuluh tombak, keduanya berhenti. Yang membungkuk menepuk pundak temannya, memberi isyarat agar temannya itu terus berlari.

Yang disuruh berlari menatapnya. Sepertinya enggan.

Tapi lelaki yang memegangi perut itu kembali memberi isyarat. Terkesan lebih tegas, memaksa, memerintah.

Yang diberi isyarat akhirnya lari dan memasuki kerapatan tebu tak jauh dari rumah Syam. Sedang si pemberi isyarat tersungkur ke genangan air. 

Syam tertegun, ragu akan berbuat apa. Tapi tiba-tiba seperti ada yang mendorongnya mendekati tubuh yang tengkurap diam dan kuyup itu dan memapahnya ke belakang rumah, gegas menuju areal pesawahan. 

***

Ternyata Kadir, jagoan kampung yang ditahan Jepang di pesanggrahan berhasil membobol dinding bui lalu mengejar Kenji dan ajudannya. Dan pagi, lelaki kekar berambut cepak bermata sipit itu terlentang pingsan di atas balai-balai bambu, di samping gubuk dalam kebun Syam, yang berdiri menatapnya dengan wajah tawar.

Tak ada raut marah di sana, tak ada! Badik lelaki tua itu pun tak terlihat. Tapi kesan kasihan juga tak nampak! Kendati tubuh bintara itu terus mengeluarkan darah dari perutnya yang berluka lebar.

“Apa puasnya kubalaskan dendam pada musuhku yang tak berdaya ini?” bisiknya. “Kenapa pula aku harus mengasihani orang jahat sepertinya?”

Yang mencuat kemudian dari garis wajahnya adalah penyesalan. Penyesalan telah menyelamatkan Kenji.

“Ya, Allah, apa yang menyuruhku menyelamatkan orang yang telah menghancurkan hidup anakku?” keluhnya lirih.

Tangannya meremas-remas rambutnya, seraya berulang mengeluh seperti itu. Dan ia menjatuhkan pantat sekenanya di atas tumpukan kayu di belakangnya yang basah bekas terguyur hujan.

Kenji bergerak. Mengerang. Matanya tertutup.

Syam memandangnya. Hanya memandangnya.

Kenji mengerang kembali. Matanya terbuka dan menatap Syam dengan tatapan layu. Bibirnya pun bergerak-gerak.

“Kau, kau, bapaknya gadis itu…,” ucapnya terbata-bata.

Raut cemas di wajahnya.

“Aaakkkh…!” rintihnya tiba-tiba sambil memegang perutnya yang tak henti berdarah. Keringat meleleh di pelipisnya, dan tubuhnya menggigil, demam.

Luka tentara itu infeksi. Jika tidak ditolong nyawanya terancam. 

Itu kesadaran yang merayap di kepala Syam.

Ia bangkit dan naik ke gubuknya dengan langkah lesu.

Hampir sepeminum teh kemudian ia turun. Di tangan kirinya ada mangkuk berisi air hangat dan sobekan kain, sedang dengan tangan kanannya ia membawa batok kelapa berisi ramuan obat.

Ia duduk di samping Kenji. Membuka pelan-pelan kancing baju lelaki socho yang merintih-rintih itu. 

Hati-hati disekanya darah yang merembes dengan sobekan kain yang sebelumnya dicelupkan ke dalam air hangat, lalu ditutupinya luka itu dengan ramuan obat hingga tak ada jalan keluar darahnya. Dibalurinya pula sekitar perut.

Saat mengerjakan itu ia berusaha sekuat mungkin agar mata hatinya tak sedang melihat tubuh orang Jepang. Tapi ia melihat orang mana, entah, yang sedang terluka dan butuh keterpaksaannya untuk memberi bantuan.

***

Dua hari sudah Ipa dilarang oleh bapaknya pergi ke kebun.

“Jangan pergi saja,” kata Syam ketika sang anak mendesak ingin tahu alasannya. “Aku hanya takut ada patroli Jepang melintas di kebun setelah kejadian kemarin malam.”

Tapi diam-diam Ipa telah mengendap-endap mendekati kebun, mendekati gubuk dan mengintip. 

Ada seorang lelaki. Kenji! Ia sedang duduk lemas di dalam gubuk sambil memegangi perutnya yang telah mulai sembuh.

Tubuh Ipa bergetar. Sungguh ia tak menduga bapaknya menyelamatkan orang yang begitu keji padanya.

Ia ingin marah, tapi tak bisa, sebab kepalanya diisi oleh bayangan tentang apa yang telah diperbuat bapaknya pada penjajah itu. 

Ia lari pulang dan menghempaskan tubuhnya di atas dipan.

Syam berdiri di ambang pintu kamar anaknya. Ia sudah bisa memastikan apa yang sedang terjadi padanya.

“Kenapa, kenapa penghuni dunia ini tak semuanya orang-orang yang berperikemanusiaan seperti Bapak…?” ratapnya, pilu. “Kenapa harus ada orang seperti Kenji, harus ada penjajah seperti Jepang…?”

Ia terus mengulang ratapannya itu. Semakin pilu pula.

Di luar rumah terdengar derap sepatu pasukan Jepang yang berdatangan, lalu lalang memeriksa semua rumah, mengumpulkan para pria, dalam rangka mencari Kadir yang mereka duga telah melakukan sesuatu yang buruk terhadap Kenji dan ajudannya. 

Mereka harus menemukan Kadir, untuk dibawa ke markas, sekaligus menyelamatkan kedua rekan mereka.

Syam terpaku, tak bisa bicara sepatah kata pun. Dan juga tak sanggup memandang anaknya.  

Tangannya saja yang gemetar menggenggam badiknya yang terselip di pinggang. Badik itu seperti sedang menghujam tepat ke pusat hatinya. Perih sekali[.]



Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Ellipsis, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.


Posting Komentar

0 Komentar