005

header ads

PUISI: KEPULANGAN Karya Adytia Nugraha

Dering telpon tadi pagi

seumpama gelegar petir di dalam dada

aku kehilangan kata

netraku kehilangan air matanya

sebab dirimu telah tiga dekade bersemayam di kalbu


Innalillahi wainna ilaihi rojiun

keranda bertudung hijau itu membisu

aku memapahmu menuju pusara

langkah kakiku begitu tabah menopang ragamu

yang kini tenang menuju keabadian


Nenek

doa-doaku adalah peziarah setia bagimu


(Majalaya, 10 April 2020)


ADYTIA NUGRAHA

Adytia Nugraha lahir di Bandung pada 15 Juni 1989. Pria yang baru saja menuntaskan studi di jenjang Magister Pendidikan Bahasa Indonesia UPI Bandung ini mulai aktif menulis puisi sejak tahun 2012. Buku antologi perdananya yang berjudul Puisi dan Intuisi terbit tahun 2018 dan buku puisi keduanya Lelaki Cahaya terbit tahun 2022. Puisi-puisinya telah dimuat di sejumlah media massa: Pikiran Rakyat, Majalah Pakubasa Balai Bahasa Jawa Barat, Suara Merdeka, buku antologi bersama, dan sejumlah media daring. Puisi karya Adytia pernah menjadi lima puisi terbaik dalam lomba menulis puisi bertajuk “Musim Semi Para Penyair” yang diselenggarakan oleh Institut Francais Indonesie, Bandung.

 Adytia beberapa kali telah mendapat amanah menjadi pemateri atau narasumber dalam kegiatan pelatihan menulis puisi bagi siswa, guru, mahasiswa, dan umum. Selain itu, ia juga beberapa kali pernah diamanahi menjadi juri lomba baca puisi untuk siswa SMP dan SMA tingkat Jawa Barat dan nasional. Untuk mengenal lebih jauh mengenai Adytia, Anda dapat menyapanya di akun Instagram @nugrahaadytia, akun Facebook Adytia Nugraha, kanal YouTube Puisi Adytia Nugraha, dan bisa membaca sejumlah puisinya di laman adytianugraha.blogspot.com





Posting Komentar

3 Komentar

  1. Puisi ini, walau berwarna agak ngepop, cukup mengingatkan saya pada masa putih abu-abu.

    BalasHapus
  2. Sebuah puisi pendek yang menggambarkan bahwa si aku ini orangnya tidak banyak kata. Tidak suka bertele-tele. Namun begitu setiap kata yang tertuang terasa dalam penuh makna. Cukup menggambarkan betapa kehilangannya si aku ini atas kepergian neneknya. Saking dalamnya rasa itu hingga membuatnya tak sanggup menangis dan mengucap kata.

    Di sisi lain, ia begitu tabah menghadapi takdir-Nya.

    Pada bait terakhir, "doa-doaku adalah peziarah setia bagimu." Betapa cinta itu telah mengakar di hatinya, untuk sang Nenek.

    Akhir kata, saya turut berduka. Semoga nenek tercinta mendaoat tempat yang layak di sisi-Nya.

    BalasHapus

Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313