(Atawa Jakarta in Rap)
Di Jakarta—ungkap lik War—jam ada di mana-mana. Di pagar rumah, di pintu halaman, di dinding di samping kiri atau kanan pintu masuk dekat bel, di dinding dan kursi-kursi dan meja di ruang tamu, di ruang tengah yang merangkap ruang keluarga, di layar TV dan monitor komputer, di meja makan dan terutama pada piring dan gelas minum, di pintu, di dinding, di ranjang dan bantal kamar tidur, di dapur, di bak air dan di gayung kamar mandi. Di jalanan, di mobil, di motor, di bundaran lampu lalu lintas, dan di kemengangaan mulut, di juluran lidah dan di untang-unting tenggorokan ketika orang-orang bercakap-cakap dan berteriak.
Jam ada di mana-mana. Berdetak-detik di dalam pendengaran, berpendar-pendar di dalam ingatan: memaksa setiap orang untuk bergerak lebih cepat dan semakin cepat sehingga waktu terengah-engah dan menyerah. Bilang, ”lakukan semuanya semaumu, aku hanya akan jadi tanda ketika malaikat mencatat semuanya dalam lembar laporan harian kepada Allah SWT…” Dan karena itulah—kata lik War—Jakarta berubah jadi arena balap, di mana setiap orang berpacu untuk secepatnya masuk garis finish tanpa terlebih dulu memasuki jeda pitstop, masuk kantor dan mulai kerja dengan jam yang berdetik di laci meja tulis, di perut yang hanya diisi kopi, di lembaran kertas, di layar monitor, di HP yang setiap saat sepertinya berbunyi menyatakan ada jalur pacu lain yang harus ditempuh sebagai balapan berikut atau yang terpaksa diabaikan, lalu jeda dengan jam yang terus berdetak di mana-mana, balik ke tengah lautan jam kerja dan dipacu detak ribuan jam kerja di mana-mana, dan begitu lepas dari kungkungan jam kerja semuanya langsung memasuki street race untuk sekali lagi berpacu pulang (cepat) ke rumah dengan berjuta jam yang berdetak dan berpendar di sepanjang jalan, sampai akhirnya tiba di rumah dan disergap jam lagi. Jam di mana-mana. Setiap orang dikepung ratusan jamnya sendiri sehingga terkurung sendirian, tidak bisa memanggil siapa pun, minta bantuan pada siapa pun dan mendapatkan pertolongannya. Gelagapan dikerubuti jam yang bermunculan dan berdatangan dari mana saja dan hinggap di apa saja—yang serentak berpendar dan berdetak menganjurkan semua agar terus berpacu.
Jakarta—kata lik War—itu jam besar dengan miliaran jam kecil yang berdetak dan berpendar serentak, sehingga orang-orang tak akan bisa lepas dari kekangan jam, anjuran jam—berpacu agar bisa lebih leluasa tak dijadwal, saat waktu terpaksa hanya jadi patokan gerak dan ulah kerja manusia. ”Tapi bisakah kita bebas dari jam?” kata Anderwedi sambil tersenyum dan tersipu-sipu. Lik War menggeleng. Bisakah manusia bebas dari waktu, dari ukuran yang dibuat manusia untuk menandai yang tidak terlihat dan tidak terasa, yang diam-diam maju terus, agresif melahap segala sambil menyepah yang kalah kehabisan waktu, sambil menyisihkan yang kalah dari satu jalur pacu, dan sambil terus melahap yang ada dan menempatkan semuanya pada jalur pacu yang ada dan senantiasa ada, bersebelahan, saling kontak-sentuh, berbelit dan kusut membentuk gombal kain nasib yang ketika ditelusuri benangnya ternyata masau saling menjerat. Manusia selalu berada dalam titik saling ketergantungan, untuk tolong- menolong atau instinktif tebas-menebas—pikirku. Dan setelah itu, pikirku. Aku menatap lik War: Memakai kaus hitam dengan sablon metalik halus bergambar entah apa—percik cat tumpah—dan tulisan excited, what ever will be will be, deretan kata yang tidak bisa kumengerti dan kayaknya juga tidak dipahami lik War, yang cuma bilang kaus itu diberikan anak bos karena saat dipakai ditertawakan oleh bos yang bilang, ”grammar apa tuh?”; dengan celana jeans hitam ketat yang kata lik War cuma produk tembakan sehingga harganya hanya cukup untuk naik taxi ke Ancol—lik War juga bilang, ia naik Brantas yang karcisnya sebanding dengan harga celana itu, meski di kereta itu ia tak bisa berbuat apa selain duduk dan menggerak-gerakkan jari kaki tokh.
Ya! Tapi lik War senantiasa bilang: Jakarta itu jam besar dengan anggota miliar jam kecil, yang memaksa tiap orang menjadi Valentino Rossi, Casey Stoner dan apa lagi yang senantiasa berpacu di jalan, yang lebih memilih sepada motor bukan karena tak punya duit untuk membeli mobil—”barang-barang itu,” kata lik War, ”bisa dibeli secara kredit”—tapi karena jalanan di Jakarta bukan tempat yang tepat untuk berpacu dengan mobil. ”Terlalu banyak kendaraan, hingga ada jalan khusus yang hanya boleh dilalui mobil bila isinya minimal tiga orang, karena itu banyaklah orang menawarkan diri disewa-angkut agar mobil itu bebas berpacu mengejar waktu di jalur 3 in 1 itu di sekian menit nunut—celakanya orang-orang itu malahan diuber dan dikejar Satpol PP karena dianggapnya membuat orang kaya bisa bebas merdeka berpacu di jalur yang tak sembarang orang bisa masuk bila berdua saja,” kata lik War, ”dan kendaraan yang berjibun itu membuat macet di mana-mana, malah sampai jalan tol yang seharusnya lapang dan bebas pacu bagi yang ingin menundukkan jam, karena itu mereka menjadi yang dikalahkan waktu dengan kepeksa jalan merayap dalam kemacetan dan nelangsa menghabiskan BBM percuma saja.” Kami menelan ludah. Terbayang jalanan mulus Jakarta—tidak seperti jalur makadam kampung, yang menembus ladang dan sawah, dan bermuara di jalan antardesa yang bergelombang dan berlubang-lubang, dan yang setelah 5 km baru tiba di jalan kecamatan yang lebih mulus sedikit—terbayang jalan itu penuh deretan mobil yang berjajar dan di sela-selanya motor-motor meliuk seperti dalam atraksi lomba trail semi akrobatik di TV, dan sesekali mandeg dan meraung-raungkan gas sebelum lampu di perempatan itu menyala ijo, sebelum semua meloncat seperti mengawali lomba yang akan menentukan siapakah yang lebih dulu dibanding si pole position yang teledor.
”Aku jadi pengen ke Jakarta,” kata Anderwedi—mewakili pikiran kami, seluruh anak muda ingusan yang saat itu ikut nongkrong di gardu Kamling di ujung kampung, sambil merokok dan meneguk arak oplosan di tengah kesiuran angin dari persawahan yang dipusokan dan hanya sebagian yang bisa ditanami palawija dan semangka. Lik War pun tersenyum. Ia minta kami menghubungi Saman Bakmi—ia berkeliling jual bakmi dengan gerobak dorong, yang disewa dari juragan yang juga menyediakan mi, bumbu dan yang lainnya, serta tempat kos dan pelatihan—agar ikut dengannya dan belajar berkeliling di gang-gang di perkampungan Jakarta di sepanjang malam. Tapi berlomba dengan gerobak dorong sambil memukulkan sutil logam pada cekung wajan dalam pacuan di gang-gang kampung, yang mungkin hanya dihiasi jam yang sudah pada kendur: benar-benar tak menarik minat berpacu kami. Kami menggeleng. Lik War pun mengajukan usul lain, kami ikut dengan Marto Pedrosa—ia sendiri yang menambahkan nama itu karena aslinya ia bernama Joko Martono dan dulu selalu kami panggil dengan sebutan No Tit, yang selalu bergaya dengan sepeda motor siapa saja bila pulang ke kampung, dan yang di Jakarta menjadi tukang ojek. ”OK!” kata Marto Pedrosa, ”tetapi lu kudu apal jalan-jalan di Jakarta dalam seminggu, kudu pinter cari kos-kosan karena aku sendiri hanya punya satu kamar dengan Neti dan dua anak itu, sekaligus kudu punya DP sejuta sebagai jaminan dapat make motore bos. Mungkin lu kudu belajar jadi ojek sepeda dulu. Atau ojek payung?” Kami melengos—apa yang bisa dipacu dengan jadi (tukang) ojek payung? Lik War tertawa. Ia menganjurkan jadi kernet, dan setelah enam bulan baru menjadi ojek’s driver—sambil menjanjikan mempertemukan kami dengan kawan Bataknya. ”Atau ikut Arpan,” katanya, ”macak dan akting pengemis, memenuhi trotoar untuk recehan?” Kami melengos. Itu artinya tak berpacu di Jakarta tapi jadi batu jarak tempat anjing mengangkang dan kencing.
Dan miliaran jam yang terangkum dalam sebuah jam raksasa bernama Jakarta terus berpendar di kelam malam, dengan angin deras dari persawahan yang dipusokan dan hanya sebagian kecil di dekat saluran irigasi yang sempat ditanami palawija dan semangka, menyusupkan dingin yang tajam dan menyamak jangat dalam irisan yang menyeluruh di sekujur tubuh: berpendar di langit malam yang penuh bintang, menjadi rembulan gaib di awal Syawal, dan karenanya membimbing kami untuk bangkit dan mempertaruhkan apa saja. Berangkat ke Jakarta, dan menjadi apa saja—tidak hanya berakting macak pengemis tapi benar-benar jadi pengemis dan pemulung, semodel de Grana, yang selama 15 tahun ini tak pernah pulang ke kampung meski setiap Lebaran selalu nitip duit dua atau tiga ratus ribu bagi Mbah Rame, ibunya; atau benar-benar berpacu di jalanan dengan menjadi jambret dan diuber-uber polisi sehingga blingsatan mburon ke mana-mana dan kemudian mati ditembak dengan delapan belasan lubang luka seperti Isa yang jadi gembong dengan tiga orang sekampung lainnya yang masih selamat, dan karenanya (kata lik War, Marto Pedrosa dan Saman Bakmi) di Jakarta tak ada yang berani kurang ajar kepada orang-orang dari kampung sini, dan banyak orang sekabupaten yang mengaku-aku penduduk asli kampung sini. Sambil mengeluh tak segampang para perempuan, yang dengan gampang menjadi pembantu macam Warti, Lania, Santik dan Kuni, atau penghuni kompleks semodel Tri, Sri, Kimi, Nonik, dan Tyas, atau yang terpaksa menggelandang di jalan seperti Nian, Timpah, dan Genduk (dilindungi dari yang lain dalam teror nekat Isa almarhum, Kasim, Koral dan yang masih buron—sehingga para urbanis sekabupaten di Jakarta bikin slametan di Jakarta dan di kampung sini).
Dan Jakarta jadi jam raksasa yang melengkung dan mengayomi miliaran jam kecil yang serentak—tak pernah serentak karena selalu ada selisih lebih lambat dan lebih cepat dalam hitungan mikron-sekon atau sekon—berdetak-detuk dan berpendar: semua jam-jam itu seperti memanggil kami untuk meninggalkan ketiadaan harapan di kekeringan yang selalu melanda desa, untuk segera berpacu sebagai apa saja. Berpacu dengan waktu secara baik-baik dan tak baik-baik, menjadi orang kantoran atau hanya suruhan, atau buronan karena terlalu kreatif meletakkan jam di jalur pacu yang miring mencang-mencong demi survive dengan sesuap nasi. ”Jadi akan berangkat apa tidak?”—teriak angin kemarau yang menyusupkan dingin dengan menyamak jangat selepas hamparan persawahan yang terpaksa dipusokan di musim kemarau itu. Bersama-sama sampai di Senen atau Kota—lalu berhamburan ke mana saja dan jadi apa saja, lantas bertemu setahun sekali di kampung, agar bisa bersama-sama pergi ke Jakarta lagi, dan berhamburan lagi di Senen atau Kota, sebagai apa saja di mana saja. Ya! Ya! YA! YA—adakah pilihan lain, selain jadi transmigran yang lebih sara karena harus mbabat alas meski selalu diigaukan Pak Lurah di dalam pidato acara halal bi halal kampung yang penuh kebohongan itu.
” Jakarta, here I am coming!” teriak Anderwedi—mabuk.***
Catatan:
untang-unting: yang tergantung dan bergoyang-goyang
gombal : kain bekas untuk lap, yang biasa lusuh
nunut : ikut, menumpang
kepeksa : terpaksa
nelangsa, sara : sengsara
mandeg : stop, berhenti
kudu apal : harus hapal
motore : sepeda motornya
macak : berdandan
blingsatan mburon : panik/kalang kabut melarikan diri
gembong : tokoh, pentolan, kepala [penjahat]
slametan: ritual membaca doa keselamatan bagi yang meninggal
mencang-mencong: meliuk-liuk, berliku-liku
mbabat alas: membuka hutan, kolonisasi
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313