oleh Fileski
Sudah dimuat Majalah Apajake Vol.4 Feb-Maret 2024 ISSN 2808-6910
Pementasan teater kali ini lain daripada yang lain, setidaknya kalau dilihat dari kultur percaturan teater di Madiun. Kali ini saya berbincang dengan Yunita Mada Kurnia, selaku dosen pembimbing pementasan teater mahasiswa Unipma. Pementasan teater “Jati Diri”, adaptasi dari naskah karya W.S Rendra yang berjudul “Pintu Kereta”. Teater yang manggung di Gedung Serba Guna Kanigoro pada 18 Januari 2024 itu sempat menuai kontroversi, ada banyak drama yang terjadi selama proses produksinya. Naskah pertunjukan ini digarap oleh Sutradara Dhevitha Indriyani, bersama dengan pelatih yang didatangkan dari luar kota, yang punya nama beken Tomi Aspal. Sedangkan Nonik Wilis yang menulis naskah hasil adaptasi dari karya W.S Rendra.
Pasalnya sebelum pementasan tersebut berlangsung, terjadi hujan lebat, seolah rintangan tak henti-hentinya mendera kelompok teater yang sedang melaksanakan ujian pementasan semester lima jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ini. Setelah hujan reda, pementasan pun dimulai, dengan seksama para penonton menikmati pertunjukan sampai akhir, tanpa ada yang beranjak dari tempat duduknya sampai pertunjukan usai.
Mahalnya biaya untuk mengundang jasa pelatih teater di Madiun juga menjadi kendala. Bagi mahasiswa seperti mereka, rasanya terlalu berat jika harus mengeluarkan 10 juta untuk jasa pelatih saja. Akhirnya para mahasiswa meminta bantuan pelatih dari luar kota yang bisa di nego dengan kompensasi harga ‘pitulungan’.
Saya mengamati ketika mereka latihan, teringat metode teaternya Grotowski. Metode yang sempat saya pakai ketika garap teater untuk tugas kuliah pada 2012 lalu. Teater tidak melulu mahal. Metode yang mendobrak gaya-gaya pementasan Stanislavsky dan para tokoh realis lainnya. Grotowski mengesampingkan syarat akan berbagai kemegahan set panggung dan pernak pernik properti ala opera kerajaan yang mahal jika dihitung secara budgeting. Mengembalikan teater pada esensinya, yakni kemampuan aktor menjadi tumpuan utama sebuah pertunjukan teater.
Sudah lama saya tidak berteater, terakhir ketika tiga tahun yang lalu ikut lomba teater yang diadakan Dewan Kesenian Jawa Timur, dan kami mendapatkan juara, mengusung nama kelompok Teater Pilar Merah. Seperti kata Chairil Anwar, sekali berarti sudah itu mati. Pilar Merah terlalu cepat mencapai puncak, bisa dikatakan prematur dan kemudian mati muda. Entah itu mati suri atau mati abadi. Madiun bukan lahan yang cocok untuk tumbuhnya teater jenis Eksperimental Surealis yang menjadi karakter Pilar Merah. Sebab kota ini tidak mau membuka diri terhadap warna baru dalam garapan teater.
Pelaku teater yang “merasa” sudah lawas ada di Madiun, terlalu dikultuskan sehingga menjadi dominasi kebenaran. Dan jika ada warna alternatif yang baru muncul, selalu ditenggelamkan. Pelaku-pelaku teater lama di kota ini tidak mau menerima metode atau karakter garapan yang berbeda. Khas drama tradisi yang memang menjadi ciri standar lomba teater pelajar, menjadi rumus agar bisa menang dalam ajang lomba-lomba rutinan. Sehingga yang terjadi adalah penyeragaman garapan, teater bukan lagi menjadi gerakan penyadaran kemanusiaan, namun hanya sekedar menjadi hidangan buat memenangkan perlombaan.
Tradisi lama, setelah pementasan teater menjadi ajang salah menyalahkan. Tunas muda yang baru tumbuh, bisa layu malam itu juga, pada saat sesi sarasehan. Dihantam dengan segala dogma yang diucap oleh tokoh yang merasa lebih lama berkarya. Sarasehan ujungnya bukan jadi sesi bedah gagasan, tapi jadi semacam perebutan lahan garapan.
Memang jika memperlakukan teater sebagai lahan pekerjaan, ujungnya akan selalu jadi rebutan, tak ada yang mau mengalah. Begitu cintanya saya pada teater, namun sepulang dari Surabaya dan bermukim di kota ini, saya kehilangan gairah berproses naskah. Sebab di sini isinya hanya orang gontok-gontokan memperebutkan lahan garapan. Apalagi kalau bukan berebut pengaruh di kalangan mahasiswa kampus dan pelajar sekolahan.
Seharusnya kalau mau jadikan teater sebagai lahan pekerjaan, dirikan teater profesional. Seperti Teater Koma, Teater Gandrik, atau bikin padepokan ludruk sekalian seperti Abah Kirun. Walau realitanya Teater Koma sekalipun, yang punya nama besar di Jakarta, para personilnya tetap masih kerja dengan profesi masing-masing. Ada yang bekerja sebagai dokter sampai pedagang asongan. Memang realitanya negara kita belum punya grup teater yang murni bisa hidup dari teater seperti kelompok-kelompok teater yang ada di Hollywood dengan segala kemegahan dan kelengkapan sarana dan prasarananya.
Ambisi pekerja teater di Madiun yang ingin hidup dari murni berteater, menjadi boomerang bagi kesehatan iklim berkesenian, terutama terhambatnya pertumbuhan, khususnya seni teater. Tentu para mahasiswa dan pelajar akan sangat keberatan dengan besarnya budget yang ditawarkan. Sebab tak ada pilihan, terkadang diambil juga karena saking kepepetnya, ditebus dengan mengerahkan pasukan pengumpul sampah plastik atau jualan baju bekas.
Tomi Aspal sebagai pelatih teater Unipma, punya cara yang lain dari biasanya. Dia posisikan diri hanya sebagai pelatih saja. Sehingga waktu dan pikiran tidak terlalu memforsir dirinya untuk mengganggu pekerjaan rutinnya. Semesta pikiran menjadi memungkinkan bergerak secara kolektif, karena yang menjadi sutradara, penata musik, dan pos-pos penting lainnya tidak atas nama pelatih. Sehingga dominasi otoritarian dalam proses garap menjadi tidak berlaku. Semua merasa harus bertanggung jawab secara serempak, pun mahasiswa-mahasiswa itu menjadi semangat bergerak karena pementasan ini sebagai satu rekam jejak portofolio kekaryaan yang akan mereka kenang di masa yang akan datang. Konsep ini menghilangkan julukan sebagai “Teater Juragan”.
Itu sebabnya saya tergugah dari tidur panjang, ingin melihat proses teater para mahasiswa Unipma lebih dekat. Begitu melihat poster yang mereka sebarkan, sontak dalam hati saya berkata “Wah mahasiswa Unipma mulai ada dobrakan baru.” Kehadiran saya pun tergerak untuk membantu agar suksesnya pementasan mereka, dengan sebuah biola, saya turut memperkuat suasana hikmatnya pementasan tadi malam.
Sutradaranya mahasiswa, penata musik dari mahasiswa, artistik dari mahasiswa, dan tentunya para aktor dan pemusik tetap dari mahasiswa. Artinya mereka telah berusaha mencoba sistem baru dalam proses pembelajaran berteater. Metode berproses latihan yang lama, sangat tidak efektif dan efisien. Seolah para mahasiswa diperbudak untuk eksistensi orang luar. Sudah mereka bayar mahal, tapi yang eksis malah orang luar. Mahasiswa tidak dapat portofolio jejak karya sebagai sutradara, penata musik, artistik, dan tim kreatif lainnya. Tau jadi, hanya menjadi wayang yang harus nurut kata mandor proyek.
Mencoba langkah baru untuk mewujudkan pementasan ini tidaklah tanpa hambatan. Bahkan banyak pertentangan. Kekhawatiran akan kegagalan dan bayangan dipermalukan, karena warisan nama baik dari suksesnya pementasan ala sistem juragan. Jika direnungkan, nama baik apa yang dipertaruhkan? Ini bukan lomba. Ini adalah proses berkesenian. Dan mahasiswa yang berproses tanpa dirobotkan, akan matang secara kemampuan. Mahasiswa akan bisa menemukan formula pembelajaran teater dari hasil proses yang mereka alami. Yang nantinya akan ditularkan pada murid-murid di sekolah masing-masih ketika sudah mengajar, terjun dalam realita dunia pendidikan.
Metode pelatihan ala teater juragan, justri sangat merugikan. Ibarat KFC, resto makanan cepat saji itu tidak akan memberikan racikan bumbu rahasia ke konsumennya. Sehingga para penyaji di dalamnya hanya tahu bumbu jadi. Ya begitulah mirisnya pembelajaran teater di kampus selama ini.
Orang-orang pragmatis, pikirannya cuma tentang perebutan lahan. Sedangkan seseorang yang berjiwa pendidik, hari ini berpikir tentang Merdeka Belajar. Dimana pembelajaran berdiferensiasi menjadi tonggak yang penting. Beragam potensi murid yang saling melengkapi dan berkolaborasi. Murid adalah pelaku utama. Guru hari ini, tidak akan punya pikiran ingin eksis dengan cara numpang di punggung para muridnya, untuk mengangkat pribadi namanya. Tidak akan mau menjadi sutradara dari memeras keringat muridnya. Sang murid lah yang layak menjadi sutradara atas dirinya, dan sang guru turut bahagia atas capaian yang diraih muridnya.
Awal perubahan paradigma berteater di kota ini akan membuat kelompok teater lainnya ikut berkembang. Akan semakin banyak warna dan karakter garapan, dengan ciri khas masing-masing. Tidak ada dominasi dari penyeragaman satu dua pelatih yang menjadi pengkultus kebenaran dalam berkesenian. Contohlah teater Pagupon di kampus UI. Yang telah banyak melahirkan sutradara teater, aktor, dan ilustrator musik hebat, salah satunya yang kita kenal adalah Payung Teduh, grup musik yang terlahir dari teater ini.
Langkah baru, sistem baru, memang tidak mudah, pasti akan banyak tantangan dan hambatan. Salah satunya sedikitnya apresiasi dari datangnya penonton, karena penonton sebelumnya telah terkotak dalam sistem yang lama. Menjadi sirkel yang kontra terhadap hadirnya hal baru. Namun, suatu saat pasti bakal bermunculan banyak apresiator yang telah sadar, akan luasnya dunia teater, bahwa dunia teater tidak sesempit yang diajarkan oleh penyebar dogma orang-orang terdahulunya. Tidak ada lagi didominasi kebenaran dan monopoli masa pecinta teater. Karena pertunjukan teater bukan sekedar jualan hiburan, lebih dari itu sebagai tontonan untuk kebutuhan intelektual masyarakat yang berperadaban.
Walaupun tiket yang dijual teater UNIPMA malam ini hanya Rp 5.000, sebuah angka yang memang sangat murah. Namun tak menjadi soal, yang penting jangan sampai gratis. Untuk memberikan pendidikan apresiasi karya pada masyarakat, terutama para pelajar yang masih belum punya penghasilan sendiri.
Dominasi kebenaran dalam berkesenian, memang sangat membahayakan, terutama bagi para remaja yang penuh kegairahan akan hal baru. Sayangnya mereka masih sangat lugu. Ibarat mereka tetap bahagia diperas semacam itu. Kepolosan para pelajar jadi sangat mudah diperdaya dengan doktrin-doktrin yang merobotkan mereka.
Soal harga tiket yang murah, bukan hal yang memalukan. Tahun depan bisa ditingkatkan. Ini perjuangan proses panjang. Untuk mendobrak penjajahan gaya lama. Meskipun langkah baru, melawan arus bisa dianggap gila. Sebab seringkali kebenaran adalah suara mayoritas.
Pementasan teater malam ini berlangsung sukses, penonton puas dengan sajian yang menghadirkan hal baru. Meskipun yang nonton masih sebatas kerabat dan teman dekat sesama mahasiswa UNIPMA, setidaknya ¾ ruangan telah terisi kehadiran. Tinggal kelanjutannya setelah pementasan ini, apakah akan berlanjut melawan arus yang sudah lama berkuasa, atau lelah dan menyerahkan ke sistem garapan teater juragan.
Kalaupun harus kembali minta bantuan juragan pemilik sanggar-sanggar. Para mahasiswa dan pelajar haruslah punya ketegasan. Dengan syarat sutradara dan jabatan artistik yang strategis lainnya, bukan atas nama orang sanggar. Namun harus atas nama mahasiswa atau siswa yang ditugaskan. Sehingga sanggar hanya sebagai pelatih pendukung saja. Yang terangkat eksistensi namanya adalah mahasiswa. Itu saya sebut dengan istilah “Hilirisasi Kesenian”. Yang punya gawe, adalah yang dapat nama.
Tidak perlu khawatir akan stigma dianggap garapan jelek. Bagus tidaknya sebuah sajian teater, tergantung dari niat orang yang datang menonton. Ramai atau tidaknya penonton teater, tergantung dari seberapa besar area sistem komunitas itu bekerja. Tidak perlu khawatir, karena penikmat teater tidak akan membayangkan datang untuk menonton sulap atau akrobat.
Ada fenomena, kenapa sanggar A kalau pentas selalu ramai. Karena ia kerahkan sekolah a,b,c,d, yang semuanya ia dilatih oleh satu orang yang sama, dibuat sistem bergilir untuk menonton pementasan satu sama lain. Sehingga mudah untuk membuat satu gedung menjadi penuh dengan tiket terjual habis sesuai data member. Sehingga banyaknya penonton bukan indikator kualitas sebuah garapan teater.
Cara ini menargetkan sebuah sistem untuk bisa memonopoli masa. Kualitas garap menjadi nomor dua, yang terpenting nomor 1 adalah bisa me-mobilisasi masa. Soal persepsi publik untuk mendikte branding "teater yang baik" itu bisa diframing dengan realitas banyaknya penonton.
Maka hal wajar jika ada kelompok teater yang baru muncul, mengadakan pementasan dengan jumlah penonton yang tidak terlalu penuh. Ya itu karena masa penikmat teater sudah di portal oleh sistem yang lama. Tujuannya supaya lingkaran member setia mereka tidak tergerus oleh pesona hal baru. Dikhawatirkan begitu member mereka ada yang tau adanya jenis teater yang berbeda, dengan estetika garap yang berbeda, bisa membuka cakrawala pikir member mereka. Pindah lingkaran berkesenian atau membuat surutnya militansi internal di kelompok mereka. Karena muncul adanya kesadaran, ternyata kelompokku bukan satu satunya yang terhebat di jagat perteateran dalam kota. Semestinya teater menjadi ruang kesadaran dan penyadaran, bukan ajang untuk menunjukkan keangkuhan dan kesombongan.
19 januari 2024.
Fileski (W.Tanjung Files)
Penulis kelahiran Madiun 1988, aktif menulis prosa dan puisi di berbagai media. Produktif berkarya bersama komunitas Negeri Kertas. Kerap tampil dalam Resital Puisi di berbagai acara sastra dengan memainkan instrumen biola, flute, saxophone, dan klarinet.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313