Bahagia Bersamamu | Lita Ashari
"Apa? Kok bisa? Terus kamu mau? Lalu, bagaimana dengan Sinta?. Jelas- jelas dia yang memutuskanmu karena hal sepele. Bahkan dia melukaimu" Bertubi pertanyaan Sasa kepadaku kala itu, hingga ia rela melepas masker wajahnya dan terduduk di sampingku dengan mengernyitkan dahinya. Ia mungkin penasaran.
"Ya bisa aja, Sa." Kataku pelan seakan ada batu yang mengganjal mulutku. Ada segumpal embun menerpa bagian bawah mataku.
"Tapi aku tak tau harus apa." Pelan, kutundukkan kepalaku dan mulai sesenggukan, lalu terisak. Untung sahabatku peka, ia langsung memeluk dan mengelus rambutku bagai bayi besar.
"Itu tergantung kamu, Nal. Aku nggak bisa ikut campur. Ini waktunya kamu memutuskan. Aku hanya bertugas mendukung dan menerima sandaranmu ketika kamu terluka. Tapi semoga saja tidak." Tutur Sasa bijak.
"Aku sudah memutuskan itu. Aku akan tetap menemuinya, Sa. Jujur, aku masih mencintainya hingga kini. Aku masih ingat juga kebahagian yang pernah ia berikan dulu."
"Karena itu saja?."
"Ya, karena cintalah yang bisa jadi kekuatanku nantinya. Jadi, jika ada kemungkinan hal buruk, aku tetap bisa berpikir jernih meskipun hatiku patah." Kataku masih tetap dalam isakan.
"Dimana kamu akan menemuinya?."
"Entahlah, dia belum memberi pesan padaku lagi." Aku mulai berhenti dari isakanku, tapi mungkin mataku masih berkaca-kaca.
"Lalu, kapan?."
"Besok lusa, tepat hari libur. Dia mengajak habis maghrib."
Kini, aku mulai bangkit berdiri menuju lemari kaca milik sahabatku dan mulai menghapus sisa tetesan air yang ada di pelupuk mata. Setelah itu menggerayangi detail wajahku sendiri serta memperhatikan setelan baju yang kugunakan. Melihat tingkahku, Sasa pun ikut bangkit terheran-heran. namun, tak heran berlebihan, hanya sedikit. Bagaimana tidak, lelaki yang kucintai memutuskanku hanya karena aku tak bisa berdandan, merawat wajah, serta styleku yang norak katanya. Dan itu hanya diketahui sahabatku, Sasa.
"Perasaan, cara berpakaianku baik-baik saja. Nggak ada yang aneh. Begitu pun wajahku." Kataku kemudian.
"Itu katamu, Nal. Belum tentu orang lain, apalagi Dewa." Sahut Sasa, menilaiku dari kepala hingga kaki.
"Kalau menurutku, emang benar sih kamu kurang bergaya dalam berpakaian meskipun tak terlalu mencolok. Dan buatku, itulah nilai plus darimu. Aku suka. Dewa berarti kurang tulus mencintaimu." Sasa mulai berkomentar.
"Terus, kalau wajah?"
"Terkait wajah..." Dia diam sejenak sambil menggaruk dagunya yang kukira, tak gatal dengan tetap menatap wajahku.
"Aku agak setuju dengan Dewa." Kemudian, dia meliukkan tubuhku kembali ke cermin. Aku menurut saja, toh dia lebih mahir masalah fashion dari pada aku.
"Ada jerawat kan. Aku yakin kamu pasti tidak pernah merawat muka, akhirnya jerawat muncul dan kelihatan kusam sekali. Ya meskipun kamu terlihat tetap cantik."
"Lalu aku harus bagaimana, Sa?." Tanyaku dengan polosnya.
"Ya pakai skincare, minimal sabun wajah dan bedak lah. Lipstik bisa menyusul." Sasa menjawab semangat.
"Sayang lho, kamu sudah cantik. Tapi lama-lama akan memudar gara-gara tak dirawat." Lanjutnya.
"Oke, terima...." Dering handphone pertanda pesan masuk membuat kalimatku terpotong. Putra Dewantara. Aku pun tersenyum tipis. Rupanya, sekarang aku tau apa yang harus kulakukan esok, saat pertemuan itu tiba.
***
Detik, menit, hari silih berganti, hari terspesial pun tiba. Bukan ulang tahun ataupun pernikahanku. Hanya pertemuan biasa dengan sang kekasih yang selalu kucintai. Taman bertabur bunga di depan halte yang dulu menjadi tempat kita bersua, akan menjadi saksi bisu pertemuan antara dua insan yang kini telah menjadi mantan. Menjadikan aku, bahagia bukan main walaupun sesaat.
"Hai, Nal" kalimat pertama Dewa ketika bertemu. Aku grogi, deg-degan, campur aduk luar biasa. Seakan sirna sudah kecewaku padanya. Dengan malu, aku pun bangkit dari kursi panjang taman dan mulai tersenyum sebagai balasan sapaannya.
"Kamu berbeda, cantik sekali." Pujinya tulus, mungkin. Namun, aku tak tersipu sama sekali. Justru biasa. Bahkan serasa kembali ke masa lalu.
"Masih sama. Tak ada yang berubah. Hati pun masih sama. Hanya, sekarang aku sedikit memoles wajah yang dulu mungkin kamu anggap jelek. Selainnya, sama." Ujarku pelan pada Dewa, dan tak lupa kubalut dengan senyum. Aku mencoba tak menitikkan air mata.
"Aku sudah putus dengan Sinta." Dia berucap sembari tertawa sedikit.
"Aku menyesal dengan keputusanku dulu." Wajah Dewa tertunduk lesu. Melihatnya, aku terdiam, dia juga mengikutiku setelahnya. Kita berdua diam membisu. Bahkan, desir pasir pun terdengar jelas sejelas-jelasnya.
"Kenapa?." Aku memecah keheningan.
"Jujur, aku lebih bahagia denganmu. Seorang Nala yang polos, natural, dan sedikit norak." Ucapnya terkekeh, seperti ingin mengajak bergurau. Aku kembali diam. Aku tak tau apa maksudnya. Apa itu sebuah lelucon?. Jangan mentang-mentang karena aku masih cinta, akan ku berikan hatiku secara percuma.
"Lucu sekali." Aku balik terkekeh.
"Aku salah, aku minta maaf kepadamu. Aku berharap kamu bisa menerimaku lagi.
Ia perlahan mendekatiku, berusaha bisa meraih kedua tanganku.
"Nala, aku bersungguh-sungguh." Katanya ketika aku mulai menjauh dan berbalik ingin pulang. Aku tak kuasa melihat dan mendengarnya. Buka kasihan.
"Builshit denganmu." Sahutku tanpa menoleh padanya. Aku sungguh muak kali ini. Persetan dengan rasa cintaku, percuma.
"Maafkan aku, aku sungguh menyesal. Aku lebih nyaman, dan bahagia denganmu. Aku cinta degan Nalaku. Entah versi sekarang ataupun dulu, aku tak peduli. Aku mau menerimamu dengan tulus." Sesalnya yang lambat laun duduk bersimpuh di belakangku.
"Apa aku bisa percaya?." Dan aku masih di posisi semula.
"Terserah, aku tak bisa memaksa. Itu keputusanmu, Nal. Intinya, aku sadar bahwa aku bahagia bersamamu, denganmu. Nala Safitri." Tegasnya.
Aku pun mulai luluh, dan setidaknya mencoba memberi dia kesempatan. Aku membalikkan badan, sehingga kami bertatap. Seketika itu, tiba-tiba muncul rasa iba bercampur rasa yang entah apa itu namanya. Bagaimana tidak, ia masih berlutut disitu, matanya sembab, tapi tetap menatap ke depan. Kosong. Seperti orang putus asa. Aku mendekatinya, sehingga hanya sejengkal jarak antara kita. Kira-kira.
"Berdirilah, Wa. Jangan membuatku merasa bersalah dan iba terhadapmu." Kataku, sebisa mungkin tidak menangis. Baper akan keadaan.
"Tidak, Nal. Sebelum kamu memaafkanku."
"Iya, aku memaafkanmu." Ucapku menarik napas panjang. Ia langsung berdiri, matanya kini berbinar.
"Terima kasih." Ia tersenyum, sembari akan memegang tanganku. Mungkin spontan karena saking bahagianya. Namun, aku berkilah, menjauhkan tanganku dari jangkauannya.
"Tapi aku tak bisa menerimamu." Aku berucap pelan.
"Tak apa, mungkin luka yang kuberikan terlalu parah. Terpenting, kata maaf sudah ada darimu. Itu saja cukup, karena aku sudah senang berdekatan denganmu." Jelasnya, agak serak.
"Ya sudah, tujuanku sudah selesai. Aku..." Aku memotong kalimatnya yang kan bergegas pulang.
"Aku tak bisa menerimamu sebagai mantan, melainkan sebagai labuhan hatiku. Kalau bisa yang terakhir." Kata Ku membuat dia tersenyum lebar, dan melangkah mendekatiku kembali. Menggenggam tanganku dan mengecupnya. Aku pun tersanjung.
"Semoga, dan aku janji. Aku bahagia bersamamu." Dan, kita pun tersenyum renyah bebarengan.
Bernama pena Lita Ashari. Seorang pemula literasi asal Surabaya ini memulai bakatnya dari seorang penulis lepas, pengisi rubrik majalah, koran, buletin, serta pernah mendapat juara menulis. Pernah menjadi anggota komunitas jurnalistik selama dua tahun.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024