RAHASIA BUBUR PEDAS
Cerpen T AGUS KHAIDIR
(Kompas, 2 Mei 2021)
SUAPAN pertama masih lancar melewati tenggorokan. Suapan kedua mulai terasa seret, dan aku perlu bantuan beberapa teguk air untuk meloloskannya pada suapan ketiga. Padahal, dulu, rasa kecewa lantaran gagal mendapatkannya bahkan pernah sampai membuatku meneteskan air mata.
”Lumayanlah walau tak seenak bikinan Mak Len,” kata Emak.
Aku tiba di rumah lepas tengah hari. Perjalanan Jakarta-Medan dengan pesawat, dilanjutkan tiga jam lebih menumpang bus, menyisakan letih yang menyergap sampai ke pangkal-pangkal tulang. Setelah membersih- kan diri aku jatuh dalam tidur yang lelap. Menjelang petang, kurang 15 menit sebelum waktu berbuka puasa tiba, Emak memanggilku ke meja makan.
Emak, Ayah, kakak, dan abang ipar serta dua anak mereka duduk mengelilingi meja. Masih meja yang sama. Sudah berapa tahun berlalu? Di tengah meja, asap tipis dari mangkuk besar berisi bubur pedas didampingi pasangannya yang paling serasi, anyang; sayur pakis dimasak dengan tauge, bawang merah, cabai, dan kelapa parut, mengirim rayuan yang menggelitik perut.
”Mak tahu sudah lama kau tak makan bubur pedas. Tak ada di Jakarta, bukan?”
Aku geli dalam hati, tetapi mencoba paham. Sejak koran-koran terbitan Medan serentak meminggirkan cerita bersambung dari lembar-lembar halamannya, Emak tak pernah lagi membaca koran. Kata Emak, isi koran sekarang cuma bikin pening kepala. Atas alasan yang sama, Emak juga mempersempit fungsi televisi sekadar untuk mengalirkan kuliah subuh dan dangdut.
Maka, wajarlah kalau Emak tak tahu Jakarta sekarang bukan lagi cuma soto betawi dan kerak telor. Bukan hanya nasi ulam, ketoprak, atau kue cucur. Jakarta sekarang tuan rumah bagi makanan‑makanan dari seluruh penjuru Nusantara. Termasuk bubur pedas. Memang, setidaknya sampai sejauh ini, bubur pedas belum umum dan dijual di waktu-waktu tertentu. Ramadan, misalnya. Di luar Ramadan susah dicari, kecuali dipesan khusus pada pembuatnya.
Namun, Emak juga tidak sepenuhnya salah. Bubur pedas di Jakarta kebanyakan hanya becus memupus selera mata.
”Makanlah, dingin nanti berkurang pulak sedapnya,” ucap Emak lagi.
Alahai.... Kalau ini, Emak memang sepenuhnya tak tahu. Setelah sekian lama perkaranya tentu tak berhenti sekadar pada perkara sedap tak sedap. Sumpah! Suapan pertama masih terasa terang asin asam dan jejak tajam cabai di ujung lidah. Namun, suapan kedua segera melesatkan kenanganku kepada Mak Len. Mula‑mula wajahnya membayang di mangkuk bubur, lalu berkelebat dan melesat ke benakku, membongkar dan merunut potongan-potongan riwayat yang selama ini mengendap entah di mana.
Mak Len yang perkasa. Sejak Wak Haji Zainuddin meninggal dunia, dia memilih tidak bersuami lagi. Kepada tiap yang bertanya, Mak Len mengemukakan alasan serupa; di usia yang makin dekat ke batas, dia enggan mengurus laki‑laki lain.
”Eh, biar tahu kelen, ya. Mungkin awak bisa bahagia, tapi kenangan sama mendiang pasti tak dapat pupus begitu saja. Sesekali pasti datang juga rindu itu. Cobalah sekarang kalian jawab, heh, rumah tangga macam apa yang menyimpan rindu lain di dalamnya? Jadi, tidaklah, tak mau awak menambah-nambah dosa. Lebih baik begini. Bisa awak ke masjid, ke majelis taklim, banyak‑banyak mengaji,” katanya.
Kalau ada yang usil menyinggung perihal kesepian—suami tak ada anak juga tak punya—jawaban Mak Len tiada kalah tangkas.
”Bah, salahlah, kalau kelen sangka itu soal besar. Tahu kelen, untuk orang-orang tua macam awak ini, kesepian cuma ecek-ecek. Kecuali awak dilarang berladang, atau kelen menutup pintu waktu awak datang bertandang. Itu baru masalah,” ucapnya diikuti tawa berderai.
Wak Haji Zainuddin dan Mak Len sebenarnya punya satu anak. Perempuan yang tak sempat besar. Anamira namanya. Baru satu bulan lepas empat tahun saat demam berdarah merenggut nyawanya. Cerita Emak, guna memupus pilu Mak Len memintaku. Emak menolak. Kata Emak, di antara empat anaknya, cuma aku laki-laki yang ia punya.
Meski kecewa, Mak Len bisa menerima. Dia tetap menganggapku anaknya. Dibanding kakak‑kakakku, nyata benar rasa sayangnya padaku lebih besar. Sering dia memberi sesuatu, bahkan tanpa aku memintanya.
Pernah satu hari aku pulang dari Masjid Raya dengan air mata bercucuran. Waktu itu Ramadan, dan seingatku, inilah Ramadan pertama yang kutekadkan berpuasa penuh. Sejak tengah hari tak henti kubayangkan cita rasa bubur pedas. Ai! Buburnya yang pas tingkat benar kepadatannya. Lalu sayur, ubi, jagung, dan gurih bumbu‑bumbunya, menyatu seimbang. Tidak ada yang lebih dominan dari yang lain. Iyalah! Bubur pedas Masjid Raya memang istimewa karena hanya muncul di bulan puasa. Dimasak satu tong besar, dibagikan percuma kepada siapa pun yang datang. Tak banyak syaratnya. Cukup bawa mangkuk atau rantang sendiri, dan banyaknya tak boleh lebih dari dua.
Aku dan sejumlah kawan tiba di Masjid Raya sekitar pukul lima sore, menumpang truk kebun yang kami cegat di jalan ujung kampung. Namun, ternyata kami tak cukup cepat. Bubur sudah habis terbagi. Aku kecewa sekali.
Kabar ini sampai ke telinga Mak Len. Esoknya dia datang membawa semangkuk besar bubur pedas. Mulanya kusambut separuh semangat saja. Manalah mungkin bisa menawar kecewa hati, pikirku. Namun, setelah suapan pertama, uihdah, justru kebahagiaan yang meliuk menjalar. Sedap nian! Emak kemudian memberitahu satu rahasia. Sebelum menikah dengan Wak Haji Zainuddin dan dibawa pindah ke kampung kami, Mak Len adalah juru masak bubur pedas di Masjid Raya. Dia mewarisi resep turun-temurun keluarganya. O, pantas!
Masih banyak kisah dan kejadian masa lalu yang membuat hubungan kami benar-benar sedekat ibu dan anak. Namun, satu peristiwa merusaknya. Berawal dari kabar yang dibawa Marjili Samsuri. Bilangnya, tanah wakaf sultan yang di atasnya sudah berdiri masjid, sekolah mengaji, dan pekuburan diminta kembali oleh ahli waris.
Marjili bagiku masih terhitung paman. Sepupu jauh Ayah. Meski cuma serabutan dan kecil-kecilan, pekerjaannya sebagai makelar tanah sedikit banyak membangkitkan kekhawatiran kami. Jangan-jangan kabar yang dibawanya benar, dan pada akhirnya memang terbukti demikian. Bahkan, bukan hanya tanah wakaf. Seluruh tanah kampung kemudian diklaim oleh Anwar Sadat, konglomerat keturunan entah Arab entah India yang sama sekali tak terkaitpaut dengan sultan atau ahli waris keluarga kerajaan.
Kami melawan. Kami mendatangi para ahli waris. Kami menggelar unjuk rasa ke kantor Badan Pertanahan Nasional, kantor gubernur, gedung DPR. Hasilnya nol besar. Kami menempuh jalur hukum, urunan menyewa pengacara lantas menggugat ke pengadilan. Hasilnya juga nol. Pengadilan malah mempertegas keabsahan sertifikat yang entah bagaimana bisa dipegang Anwar Sadat dan menetapkan hari eksekusi.
Pada malam setelah vonis dijatuhkan, kami berkumpul di rumah Mak Len untuk membicarakan langkah lebih lanjut. Sebagian bertekad terus melawan. Sebagian menyerah. Aku dan keluargaku termasuk kelompok kedua. Beberapa hari sebelum vonis pengadilan itu jatuh, Atok; ayah Emak, membagi tanahnya dan kami memutuskan pindah ke sana. Ayah berhitung-hitung, ganti rugi yang diberikan cukup untuk membangun rumah baru di atas tanah tersebut. Dan barangkali lantaran merasa segan, malam itu Ayah dan Emak memilih tak menghadiri pertemuan. Mereka mengutusku.
”Begitu kata Ayah dan Emak. Awak ikut saja,” kataku saat kelompok yang ingin tetap melawan mempertanyakan alasanku.
Sepanjang pertemuan aku tidak bicara apa-apa lagi. Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Mak Len menghidangkan bubur pedas yang malam itu seperti kehilangan rasa di lidahku. Saat pamit pulang, untuk kali pertama dalam hidupku, Mak Len menarik tangannya saat aku hendak menciumnya.
***
”EH, masih banyak buburmu?” tanya Ayah menegur. Emak menatap heran.
”Tidak enak?” tanya Emak pula.
Cepat kusuapkan sesendok ke mulutku. Begitu saja kutelan. Lalu sesendok lagi. Alamak, sekarang bahkan terasa pahit dan tajam saat menyentuh lidah. Namun tak mungkin kusemburkan di depan Ayah dan Emak.
”Cepatlah, kau makan. Setelah ini tarawih kita di masjid,” kata Ayah lagi, lantas beranjak meninggalkan meja makan diikuti Emak.
”Makanmu makin pelan. Mak sangka perantauan mengajarkanmu cara mengunyah lebih cepat, ternyata tidak,” ujarnya seraya tertawa.
Ini pun memang belum berubah. Dulu, teguran Ayah dan Emak mendesakku untuk mempercepat suapan, meloloskan kunyahan-kunyahan yang belum sempurna. Kecuali jika ada Mak Len. Dia duduk menungguku dengan senyum mengembang. Tenang-tenang saja kau, katanya sembari mengacak-acak rambutku. Makan pelan supaya jadi daging, pesannya pula.
Ah, akhirnya terbit juga air mataku. Sebulan pascapertemuan terakhir itu aku merantau ke Jakarta, dan kira-kira tiga bulan berselang, Emak berkabar di kampung kami pecah kericuhan besar. Tanah sejumlah warga, termasuk tanah kami, dieksekusi pengadilan. Emak, Ayah, kakak dan abang iparku, sebagaimana kesepakatan kami semula, sudah menyingkir. Pindah dan membangun rumah di tanah pemberian Atok.
Mak Len tidak. Dia tetap melawan. Dia menantang para juru sita, menantang polisi dan tentara, menantang kibasan rotan, pentungan karet, moncong bedil, dan deru buldoser. Dia berseru, dunia akhirat tak kurelakan kalian menginjak tanahku!
Namun, seberapalah kekuatannya. Mak Len segera jatuh dan terseret‑seret. Tubuhnya penuh luka. Pun dia terus menantang, dan baru berhenti setelah benar-benar tak sadarkan diri. Mak Len meninggal enam minggu kemudian. Luka‑luka di tubuhnya mulai mengering, tetapi luka di hatinya tak tertanggungkan. Mak Len marah karena, menurut dia, orang‑orang kampung tidak kompak, penakut, dan terlalu cepat menyerah.
Waktu itu aku tak sempat pulang. Cerita Emak, sesaat sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Mak Len meracaukan kutuk. Taik kucing petatah‑petitih kalian, bilangnya. Kalau caranya begini, Melayu betul-betul akan hilang di bumi!
Kuhela napas. Bubur di mangkuk masih tersisa separuh. (*)
Medan, 2021
T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di beberapa media cetak, daring, ataupun sejumlah buku antologi bersama. Kini tinggal di Medan sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313