Kota Tua itu tak Berhenti Bernyanyi;
di jabat erat setiap tubuh yang singgah
dari senyap sepinya
Doa-doa pendatang
Menggelar sajadah panjang
-Mengadu nasib-
di beton-beton tubuhmu yang lusuh
dikikis zaman, dirajah sejarah
Tubuhmu,
Mendekati senja
Sebelum waktunya tiba.
lampu-lampu jalanan
Ramai-ramai bercengkrama
Tentang hujan dan juga
kejadian-kejadian setelahnya
Genangan, kenangan yang senantiasa
diceritakan;
dari mulut ke mulut
dari waktu ke waktu
setelah hujan,
Kau basah,
tapi tergenang juga yang terkenang.
menyisakan cerita baru yang selalu kau
nyanyikan
tentang kisah lama, saat kau menjadi sandaran
segala
kepala-kepala yang lelah.
Perlahan.
Bisik-bisik dari mulut ke mulut,
Menulusuri jalan kecil di gang sempit di tanah
lapang itu,
Terdengar seperti sebuah nyanyian tua
"Sudah waktunya, kota itu sudah terlalu
renta dan pikun"
Kota Tua itu; tak berhenti bernyanyi;
Ia memilih diam,
Merenungi lampu-lampu jalanan yang semakin
redup
"Sudah waktunya, kota ini berhenti bernyanyi"
lampu-lampu jalanan tertunduk
ia bersiap,
musim hujan basah juga di matanya
kenangan meluap-luap
Menjadi sejarah
hujan telah mengirimkan genangan ke
rumah-rumah,
lengkap dengan kenangan beratus-ratus tahun
lamanya.
Kota Tua itu terus bernyanyi;
di tubuhnya,
Waktu seolah beku dilahap peradaban,
-tubuhnya terjajah sejarah-
Diabaikan sebagai sebuah ritus!
Pamekasan, 27 Juni 2021
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024