005

header ads

Puisi; Nailus Shafi Nail* | Rubaiat Ciinta

 Puisi; Nailus Shafi Nail*


Rubaiat Ciinta


Lee, mengawali seikat lara paling baka di ceruk hatiku

Aku pikat sekuntum pada desir angin yang menenggara pada senyummu

Bahwa peristiwa paling cemas 

Adalah tanggalnya keesaan cinta


Bagaimana lagi caraku menafsirkan

Bila keesaan dan cintaku

Tak pernah teramal peramal

Kemarau pun bungkam 

Akibat kesaksian cinta 


Bagaimana lagi yang harus kutadaruskan pada langit

Manakala sejatinya awan adalah bagian dari kembaraku

Yang terus mengepak kegersangan batin yang kasmaran

Juga menjadi biduan harapan


Bagaimana lagi yang harus kukerlingkan pada rerumputan

Jika elok tariannya

Adalah bagian dari lengking istirahmu


Lee, kepadamulah kuhibahkan kupu-kupu berspektrum warna merah

Yang menari diantara rimbun aster

Lalu kita instrumenkan 

Kidung antara aku dan kau


Annuqayah, 09 September 2020

























kesaksian 


Kalungkanlah gumam hatiku

di bibir waktu-waktumu, Lee
sebab perjumpaan tak terduga
di pantai rasa
di musim pecinta
di keheningan rindu
di persimpangan biru

kita dapat meraba masa purba

untuk kita ramal menjadi kenyataan

Kemudian timanglah bisikan pertama
dengan renung pendakian kembara
Duka pecinta
adalah perjanjian pekat

yang tak terpanjat

Dengusan waktu, begitu beringas 

menghempas ganas daun dan debu-debu rindu

namun kita memiliki temali

yang mampu merekat hati


Annuqayah, 02 September 2020

Pendakian Ruhani


Aku melihat tikar itu terus ditempati para penyusun seluet mentari. Dia duduk dengan mata terpejam. Bibirnya membaca syakal-syakal Tuhan. Fikirannya mengawang mencari bias cahaya yang belum sempurna ia dapatkan. Tangannya memutar-mutar kalimat Tuhan sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan khidmat. Ia becakap-cakap dengan Keagungan. Mencari setitik terang dan setetes embun dari pendar pancaran-Nya. 


Pada khusuk yang sedang bertajuk. Dalam dirinya, ia dapatkan malaikat sedang menelusup masuk di kediaman ruhani. Mengalirkan benih-benih syukur yang selalu harus diukur dengan tafakur. Sabar yang harus berkobar. Sombong yang yang harus dibopong. Hati yang harus dipupuk dengan kalam Ilahi


Ia terus merapal doa-doanya. Badannya seakan bergetar seperti memnerima kekuatan para dewa. Kemudian ia bersujut ’tuk merajut ruhnya. Dalam sujud, ia temukan nadinya terpompa kekuatan Tuhan


Annuqayah, 10 Agustus 2020

MUSAFIR DI UJUNG BAHTERA


“Nak, sebuah permata akan didapatkan, jika kau merengkuhnya dengan kepahitan”


Sampai saat ini petuahmu menjadi khayalan pada labirin tuaku

Kental akan lilitan hitam yang menjadi penghantam

Tentang riwayat kelam dalam jejak sucimu

Kiranya kain putih itu tetap melekat

Pada dinding nurani pemburu

Jantung yang tak berlapis, akan cepat terkikis

Ataukah ritmis hidupku menjadi pengemis


Datu…

Kini tanah suci merapal sebuah janji

Melipat samudera pada gema syair pembisik hati

Tapi, apakah arti dari sebuah tanah suci

Jika petir bertubi-tubi menjadi bingkai jejak kami


“Nak, tak ada jalan pupus jika kau menginginkannya dan tak ada jalan putus jika kau berpacu tuk menggapainya”


Datu…

Mimpi adalah rembulan di benakku

Dan akulah musafir pengembara

Tercipta dari serpihan sukma para petapa

Penyusur ruwah padang sahara

Menuju tanah persinggahan raja


Annuqayah, 05 Agustus 2020




Kemanakah Kulit Kami


I


Dulu kampung kami selalu ramai, permai 

dengan anak-anak bermain hom-pim-pa.

tangan kami menyatu, membatu bersama

fikiran kami lebur bersama tarian ranting

ataupun daun yang mulai menguning


Sungguh, kami selalu belajar pada alam

tentang keindahan, perdamaian

berbagi meski secuial biji sawi.

inikah kami yang masih memikat-lekat


Tapi, di zaman penuh gigil kekhawatiran ini,

adakah waruga masih peduli, mengamini

mimpi-mimpi siang bolong kami

tentang desa, kembali asri

tak lekang dengan dunianya sendiri


Ah, mereka telah menjelma ketiadaan dalam kenyataan

atau serupa ular yang lupa akan kulitnya 


II


Ketika ujung rambut sampai ujung kaki

terlilid dengan kulit negeri gandrung

mereka malah terkungkung

peradaban tukang tikung


_itu karna kau tak paham_


Kulit luar, memang suatu hal yang dominan 

tapi telaahlah agar tak buta di tengah jalan


Jangan hanya melongok mencari ketinggian

Namun negeri sendiri menjadi ampas kebrutalan


III


Serupa piano alam


Bergetar

Berbunyi

Hingar

Bingar

Sambil memetik elegan

Namun itu menjadi lekang yang menghujan


Annuqayah, 13 September 2020



Nailus Shafi Nail. Santri PP. Annuqayah Lubangsa dan Mahasiswa INSTIKA prodi Ilmu al Qur’an dan Tafsir/VI,  lahir di desa Juruan laok, Batuputih, Sumenep. Menyukai puisi dan teater sejak menyatu dengan Sanggar Pangeran, Sanggar Kotemang, Teater Gendewa, Komunitas Liur Pena Sastra (LIPENSA) Iksbat, Gubuk Sastra Annuqayah (GSA), dan Lesehan Sastra Annuqayah. Sejumlah karyanya pernah dimuat di Radar Madura, Majalah Sastra Simalaba, Majalah Infitah,  Berita Baru, Belutin Sidogiri dll. Sedangkan antologi bersamanya Simfoni Dan Hujan Puisi (IKSBAT 2019), Lelaki Bersayap Senja (IKSADA 2019), Secangkir Kenangan (Indinisia Berani Menulis 2020), Stay With You (T-Zone Publisher 2020). Juga Juara 01 cipta puisi Nasional yang diadakan oleh A 2 Media Utama Bandung(2022) dan juara 03 cipta puisi Nasional yang diadakan oleh Charta Media(2022). Bisa dikunjungi di: nailusshafinail@gmail.com, IG. nailusshafi


Posting Komentar

0 Komentar