005

header ads

CERPEN Rina Dwi Rahmawati: BERKIBAR DAN BERKOBAR DI TENGAH KESUNYIAN

 BERKIBAR DAN BERKOBAR DI TENGAH KESUNYIAN


Jam dinding terus berputar, gerimis semakin menjadi hujan. Pandangan tertahan, saat kilat terdengar tajam. Selembar kertas yang terletak di atas meja, menunggu untuk ku baca. Ya, walaupun hanya selembar kertas, tapi sangat berharga. Selembar kertas yang berisi keputusan tentang pengabdian dan cita-cita yang memang sejak kecil ku impikan. 

Namaku Maria, lahir di Kabupaten dengan kesenian termasyur. Hingga kini kesenian itu menjadi icon Kabupaten. Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil. Bagiku, seorang guru adalah tombak pendidikan yang akan mengantarkan penerus bangsa ke gerbang tujuan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, aku akan hadir dan menetap di wilayah Indonesia bagian timur. Sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan, tanpa transportasi yang memadai. Hamparan luas terlihat jelas sepanjang mata memandang.

Pertama kali melangkahkan kaki ke sekolah yang terlihat sederhana, yang terletak di kaki bukit. Dengan pemandangan alam beratapkan langit. Aku sungguh terkejut, sekaligus terharu. Selama ini, Indonesia yang ku lihat penuh dengan keramaian, bak kota dengan kebisingan. Gedung bertingkat dengan segala atributnya. Bangunan sekolah berdiri kokoh dengan segala kelengkapannya. Tapi tidak dengan tempatku berdiri saat ini.  Sebuah bangunan berdiri dengan sederhana di antara bukit yang mengepungnya. Jauh dari pemukiman warga, sebuah bangunan tempat menyampaikan ilmu, yang dinamakan sekolah. 

Bapak dan ibu guru senior serta anak-anak menyambutku dengan penuh suka cita. Mereka berbaris rapi sambil membawa bunga. Salah satu anak maju ke depan. Bisa ku tebak, usianya 8 tahun.  

“Selamat datang ibu guru, kami menunggu kehadiranmu.” ucapnya sambil menyerahkan bunga yang sedari tadi dia pegang. Aku tersenyum, menerima bunga yang ia tujukan padaku. 

“Terima kasih, sayang.” jawabku sambil mencium keningnya. Spontan, anak itu memelukku. Entah kenapa, hatiku terasa basah, melihat pemandangan yang ada di depan mata. Setelah puas bertegur sapa dengan anak-anak, bapak kepala sekolah memanggilku. Beliau menceritakan secara detail awal sekolah itu berdiri hingga saat ini. Karena letak geografis yang kurang mendukung, sekolah itu berdiri tanpa kelengkapannya. Tapi ada satu kalimat yang membuatku terasa nyaman, semangat anak-anak untuk belajar yang luar biasa. Di tengah ketidak layakan, mereka masih mempunyai semangat untuk berubah dan mengubah. Sejatinya hidup adalah menerima apa yang ada, dan berusaha melalui setiap proses dengan pemikiran yang sesungguhnya. 

Negeri yang alami, tanpa polesan warna yang menggiurkan hati. Di sinilah ketegaranku diuji. Anak-anak yang terlihat polos dengan segala yang ada padanya. Aku selalu membawa permen dengan bermacam rasa. Saat jam istirahat, aku membagikannya. Semua anak-anak berkumpul dan terlihat bahagia, dapat ku rasakan saat mereka bercanda, dengan permainan kata. Dari situlah, aku berusaha mendekati mereka. Berusaha menjadi teman juga orang tua. 

“Anak-anak, ibu pengen tahu cita-cita kalian. Mulai dari Fernadez, apa cita-cita kamu sayang?” tanyaku. Mereka terdiam dan saling berpandangan. Aku pun merasa bingung. 

“Kok pada diam semua. Bukan kah setiap orang harus punya cita-cita. Mungkin dari kalian ada yang ingin jadi Tentara, Polisi, Dokter, Guru bahkan dari kalian ibu yakin akan jadi pemimpin bangsa.” Mereka mendengar setiap kalimat yang aku ungkapkan. Lalu saling berpandangan. Mereka menunduk sambil memainkan jari. Salah seorang anak mendekatiku dan berbisik “Ibu guru, kami tidak tahu apa itu cita-cita? Dan belum terlintas di benak kami?”  Deg, jantungku berpacu lebih cepat, mendengar pernyataan itu. Ku pandangi satu persatu wajah polos mereka. Sungguh, keluguan ini menggelitik hati. Di kala yang lain bersaing, meraih apa yang mereka impikan. Tapi, di sini, mereka menikmati dengan segala kebersamaan tanpa memimpikan apa untuk masa depan. 

*****

Senja menceritakan pada bumi, bahwa hidup harus punya arti. Saat semua anak-anak berkumpul di hamparan tanah lapang, aku mulai bercerita tentang apa itu cita-cita dan bagaimana meraihnya. Setiap manusia mempunyai cita-cita dan tujuan hidup. Cita-cita adalah keinginan, impian, juga harapan untuk masa depan. Banyak profesi yang ada, apakah kita ingin jadi Guru, ingin jadi Polisi, dan masih banyak lagi. Untuk meraihnya pun, kita harus semangat dalam belajar, proses berubah dan mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik. 

Salah satu anak mengangkat tangannya dan berkata “ Ibu guru, aku ingin jadi pemimpin bangsa, agar kelak sekolahku bisa berdiri kokoh dengan kelengkapannya, air bersih bisa mengalir ke pemukiman tanpa kita harus mengambilnya yang jauh berkilometer. Aku ingin, tanah kelahiran kami layak, seperti yang lain. Aku ingin membanggakan bangsa.” Tak terasa air mata keluar tanpa diminta. Kepolosan dan kejujuran mereka membuatku terharu. Akupun mengangguk dan memberi tepuk tangan, diiringi yang lain. 

Di tengah kesunyian, bendera merah putih tetap berdiri kokoh, dengan semangat berkobar, mereka selalu bangga dengan bangsanya. Bangsa Indonesia. Walaupun hidup dengan ketidaklayakan, mereka tetap berjuang untuk masa depan. Tanpa bisa meminta lebih, seperti yang lainnya. Anak-anakku, suatu saat nanti, dunia perlu tahu kalau kalian hebat. Dan ibu guru yakin, dari kalian ada yang menjadi pemimpin bangsa. Dan bisa memeratakan kesejahteraan sampai ke pelosok wilayah pedalaman Indonesia. 



*) Rina Dwi Rahmawati  lahir  di Ponorogo, Kabupaten yang terkenal dengan kesenian Reyognya. Penulis pernah menerbitkan salah satu cerpennya dalam buku “Buah Kesabaran” dan beberapa buku antologi puisi.





Posting Komentar

0 Komentar