MENUKAR MASA LALU
Karya: Mimi Marvill
Jika memang kau tercipta untukku
Biarkan malam rangkul impianku
Jika memang kau belahan jiwaku
Biarkan Tuhan jadikannya satu
Kutak sesali kisah cinta ini
Karena kuyakin
Kau terbaik untukku
Panjang berliku
Kisah hidupku
Seberlikunya perjalanan kita
Kutak mengerti
Mengapa terjadi
Namun ternyata
Kau yang di sampingku
Jika memang kau tercipta untukku
Biarkan malam rangkul impianku
Jika memang kau belahan jiwaku
Biarkan Tuhan jadikannya satu
***
"I love you." Kalimat pertama yang kudengar dari seorang lelaki. Kalimat yang membuatku nyaris tak percaya dan tak berdaya. Seorang lelaki paling tampan di sekolah, idola banyak gadis menyatakan cinta padaku.
Jika saja dia mengucapkan bukan di depan sahabatku, bukan untukku, barangkali tak akan ada luka dan masalah serumit itu di kemudian hari.
***
"Frans, dapat salam tuh dari Astu."
"Aku gak suka dia. Ntar mau nembak cewek paling cantik di kelas."
"Siapa?"
***
"Udah tak sampein salammu."
"Ih, bikin malu aja."
***
"Hai."
Frans mendekat saat aku sedang asyik mengobrol dengan Astu.
"Aku mau ngomong."
Waktu itu jam istirahat. Ada beberapa anak yang memilih menghabiskan waktu di dalam kelas.
Aku mengangkat sebelah alis, menunggunya bicara.
Tiba-tiba dia memegang tanganku seperti di sinetron-sinetron yang pernah kutonton.
"I love you," ucapnya lirih.
Seriuskah ini?
"Aku cinta sama kamu. Kamu mau kan jadi kekasihku?"
Kutatap wajahnya. Memastikan yang kudengar barusan itu salah. Namun, di sana kutemukan bening kaca yang nyaris pecah. Membuatku sulit mengatakan tidak. Di sisi lain dapat kupastikan betapa hancur dan berkepingnya hati Astu saat ini.
Frans masih menggenggam tanganku, menuntut jawaban.
"Aku pikirkan dulu." Kulirik Astu dan dia membuang muka.
***
"Aku nggak suka sama dia Tu. Serius. Aku beneran mau bantuin kamu dekat sama Frans."
Astu diam beberapa saat. Kutahu dia pasti sedang mati-matian meredam luka.
"Nggak papa. Kamu nggak salah. Terima aja."
"Hahhh?"
"Cinta itu nggak bisa dipaksa Rat."
"Kamu tahu itu. Trus napa nyuruh aku nerima dia?"
"Karena aku ingin dia bahagia."
Baiklah. Aku lakukan ini demi kamu. Akan kuterima dia agar lebih mudah mendekatkanmu dengannya.
***
"Gimana?" Frans meminta jawaban. Aku balas dengan senyum dan anggukan.
"I love you." Ia tersenyum manis. Tampak rasa lega tergambar di wajahnya.
***
Waktu terus melaju. Rencanaku mendekatkannya dengan Astu kacau. Sementara hubungan dengan Frans pun terkatung-katung. Dia selalu sibuk dengan teman-temannya. Tak ada waktu untukku mengajaknya bicara.
Di sisi lain Astu semakin melebarkan jarak denganku.
Sialnya, dalam kondisi seperti itu rasa suka padanya justru bertumbuh. Sialnya lagi banyak sekali perempuan yang mendekatinya dan membullyku. Ntah kabar apa yang tersebar di luaran sana.
***
Tahun-tahun berlalu. Aku tak tahu seperti apa sebenarnya diriku di matanya. Meski di beberapa kesempatan kami masih saling berbicara dan tersenyum. Saling menitip salam dan bertaut pandangan.
Di kesempatan lain pula kudengar dia menjalin asmara dengan beberapa perempuan.
'Inikah yang dirasakan Astu saat Frans menembakku?'
Sakit, Frans! Sakit!!!
***
"Rat, Frans pen ngomong tuh sama kamu." Seorang teman menyampaikannya padaku.
Kami hanya berdua di dalam kelas. Aku di tempat semula, duduk di bangku paling depan. Dia membungkuk menghadapku. Tangannya bertumpu pada meja.
"Rat, boleh nggak aku pura-pura pacaran sama Prita?"
Hahh?
Konyol banget sih. Selama ini dia gantungin aku, selingkuhin aku tapi nggak pernah tuh namanya minta izin. Ini?
"Nggak!"
"Cuma pura-pura aja. Kamu kan tahu kalau aku dan Prita sodara."
"Terserah deh."
Jika memang kau tercipta untukku
Biarkan malam rangkul impianku
Jika memang kau belahan jiwaku
Biarkan Tuhan jadikannya satu
Kutak ingin banyak berharap atas hubungan ini, tapi rasa cinta padanya semakin berapi. Tak sanggup aku memadamkannya.
***
Hari kelulusan semakin dekat. Rasa berat berpisah dengannya begitu besar.
Ada keinginan berbicara dengannya, mengutarakan semua perasaan ini. Namun, selalu saja tak bisa. Frans begitu sulit kutemui. Jika pun bertemu, kesempatan berdua sangat kecil. Pun bila kesempatan hadir, aku malah sibuk membenahi debaran di dada. Duh! Cinta mengapa dirimu serumit ini?
***
Perpisahan benar terjadi. Semua kata yang ingin kuungkap masih tersimpan rapi. Hingga akhirnya kutulis sepucuk surat dan kutitipkan pada seorang teman. Yang pada akhirnya ntah disampaikan atau tidak.
Sebelumnya pernah pula kutitipkan kado untuknya. Apakah disimpan rapi, atau malah dibuang?
***
Ini sudah tahun ke berapa? Aku masih berkutat pada rindu dan cinta masa lalu. Mengharap bertemu dan menuntaskan cerita hari itu.
***
Suatu hari kutemukan akun sosial medianya. Kusapa dia dan dia membalasnya. Senang rasanya walau kuyakin Frans tak mengenaliku.
Di lain waktu kukiriminya sebuah pesan ucapan ulang tahun, tapi tak pernah berbalas.
Apakah dia membaca dan tak menganggapku ada?
Atau?
Atau …?
Akh!
***
Rasanya aku sudah terlalu lelah menunggu. Aku tak ingin lagi membuang-buang waktu. Kini saatnya mengakhiri semua.
***
Sebuah berita duka masuk di grup WA. Seluruh wali murid sepakat berangkat takziah bersama.
***
Suasana berkabung kental kurasakan semenjak kuinjakkan kaki di halaman rumah ini. Pasti lelaki itu sangat shock kehilangan istri dan calon anaknya. Anak yang sudah dinantikannya bertahun-tahun.
Seorang pria berpakaian serba hitam menemui kami. Aku tak menatap wajahnya karena saking kentalnya suasana duka yang menyelimuti.
Terbata-bata ia membeberkan kronologi kematian istrinya meski kami tak menanyakannya. Sebab tak tega mengumbar nafsu ingin tahu di depan orang yang berkabung.
Namun tampaknya lelaki itu tak kuasa menahan kedukaannya sendirian.
Istrinya meninggal hari kemarin karena tekanan darah tinggi yang mengakibatkan kejang. Ia tengah mengandung delapan bulan. Semestinya sebulan lagi dirinya menjadi Ayah. Namun, takdir Allah memisahkan mereka.
Aku memang tak menatapnya, tapi suaranya seperti aku kenal.
Perlahan kuangkat kepala bersamaan dia menatap ke arahku.
Frans?
Dia pun tampak terkejut.
"Ratri?"
Semua mata wali murid tertuju ke arah kami.
Buru-buru kuangkat bicara sebelum suasana menjadi tak terkendali.
"Pak Frans, kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Semoga almarhumah istri dan anak bapak diampuni segala dosanya dan diterima di sisi Allah SWT."
"Terima kasih, Bu. Apabila ada kesalahan istri saya pada ibu-ibu semua mohon dimaafkan," ucapnya kemudian setelah terbengong beberapa saat.
***
Hari ini.
12.30: Bisa kita bertemu?
13.30: Ada apa ya Pak?
13.31: Ada hal yang ingin kubicarakan. Fakta yang harus kamu tahu
13.36: Apakah soal Lian? Ada apa dengan Lian?
13.40: Bukan
14.01: Kalau begitu mohon maaf Pak Frans, saya tidak bisa
Pesan-pesan selanjutnya tak lagi kubaca. Kemudian berlanjut pada panggilan. Segera kutekan tombol opsi dan memblokirnya.
***
Kupandangi wajah yang terlelap di sampingku. Rambutnya yang mulai memutih dan kerutan halus di matanya. Seraut wajah yang menyelamatkanku dari ketololan dan kematian yang hampir merenggutku.
Hari itu kondisiku benar-benar kacau. Jiwa raga seakan berjarak. Hingga tak kusadari adanya sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Yang kutahu tiba-tiba sepasang tangan menyeretku cepat dan mendekapku di trototar.
Kalau saja tidak ada dia, mungkin diriku tinggal nama. Tak ada lagi hari ini, tak akan pernah ada pertemuan kedua dengan Frans. Tak juga ada bidadari kecil Lian.
"Awww!" Kami berteriak kencang. Setelah itu semua terasa gelap. Suara-suara terdengar samar.
Setelah beberapa saat baru kusadari yang terjadi. Lelaki di sampingku ini yang dulu selalu menatapku diam-diam dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan. Jarang bicara bila berjumpa. Diam-diam memesankan jajanan pada penjaga kantin setiap pelajaran olah raga dan ekstrakurikuler.
Setiap kali kuingin bertanya maksudnya, dia selalu menghindar. Pernah dulu aku mencoba menolaknya, tapi ibu kantin tak mau menerima kembalian. Lalu dengan sengaja kulempar jajanan itu di depannya. Dan … sungguh, semua di luar dugaan. Ia memungut satu per satu jajanan itu, seperti memungut emas permata. Raut wajahnya antara marah dan luka. Sekilas kulihat matanya tampak merah dan berkaca-kaca.
"Makanan ini tak punya salah apa pun padamu. Tak semestinya kamu memperlakukannya seburuk ini."
Kata-katanya terus membayang. Hingga suatu ketika kutahu bahwa semua yang dia lakukan adalah cara menebus kesalahannya di masa lalu. Kesalahan kepada sang ibu. Dirinya yang masih duduk di bangku SD, selalu melempar apa-apa pemberian ibunya. Tak mau meminum susu, tak mau menyentuh menu yang disajikan di meja makan. Apa pun yang ibunya lakukan, ibunya berikan, tak pernah ia hargai.
Setiap hari sang Ibu selalu mengatakan kata-kata seperti yang ia ucapkan padaku. Kini sang ibu telah tiada. Ayahnya sibuk bekerja. Tak ada lagi yang memperhatikan semua kebutuhannya. Di matanya, aku mirip dengan almarhumah ibunya. Ntah mirip dari mananya.
Kesehatanku berangsur pulih, tapi lelaki itu masih saja terpejam. Terpejam hingga saat ini karena sesuatu menusuk matanya.
Kutak sesali kisah cinta ini
Karena kuyakin
Kau terbaik untukku
Panjang berliku
Kisah hidupku
Seberlikunya perjalanan kita
Kutak mengerti
Mengapa terjadi
Namun ternyata
Kau yang di sampingku
Temanggung, 19 November 2021
***
Cerpen ini diadaptasi dari sebuah lagu ciptaan Dinda Prameswari berjudul JIKA DIA BELAHAN JIWAKU
Mimi Marvill, bisa dihubungi via email mimimarvill048@gmail.com
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024