005

header ads

Kado Pernikahan yang Paling Mengerikan | Cerpen Ken Hanggara



Aku membuat janji rahasia dengan malaikat maut supaya dia mengambil nyawaku tepat di hari pernikahan pacarku. Ini bukanlah tanpa alasan. Aku sering dengar kisah menyedihkan tentang orang-orang yang hidup menderita sampai tua karena gagal dalam percintaan.

Aku gagal dalam percintaan dan aku ingin mati karena tidak ingin melihat pacarku hidup dengan pengkhianat busuk sampai renta. Aku sudah ingin mati usai pacarku datang suatu hari, mengenakan gaun terbaiknya, menangis tersedu-sedu sambil berkata, "Aku dilamar sahabatku sendiri yang dahulu juga adalah sahabatmu, dan baru-baru ini kalian bermusuhan." 

Aku paham orang yang dimaksud. Saat kabar itu merasuk ke lubang kupingku, kurasakan tubuhku meriang. Tubuh yang kerap kubayangkan akan selalu bersama tubuh wanita itu selamanya dalam malam yang dingin dan hangat, tetapi nyatanya itu cuma angan semu.

Saat itu juga aku sangat ingin menggampar lelaki itu. Kubayangkan lelaki yang dulu sahabatku itu berdiri di depanku dan dia betul-betul kugampar sampai tersungkur. Kubayangkan rahangnya kuhajar dengan ujung sepatuku hingga seluruh giginya rontok hingga segala ketampanan di wajahnya pudar. Hanya saja, aku tak bisa melakukan itu.

"Apa yang kamu katakan?" tanyaku.

"Kupertimbangkan," katanya.

Dengan menguat-nguatkan diri, aku tidak mencoba memarahinya karena memberi jawaban macam itu. Aku memujinya karena lelaki sejati biasanya senang mendengar jawaban begitu. Kupertimbangkan. Cukup itu dan keluar dari bibir wanita yang dicintai. Coba bayangkan apa yang Anda pikirkan andai wanita yang Anda gilai dan Anda lamar memberi jawaban, "Kupertimbangkan." Ada harapan, meski baru setengah jalan. Dalam banyak kasus tidak dapat dipukul rata. Di kasus kami, harapan bagi lelaki sejati adalah harapan yang bukan main-main.

"Karena aku bukan orang hebat dan karena aku bukan pengusaha sukses."

Kubilang juga betapa aku bosan dengan tekanan demi tekanan yang pacarku beri. Dia mencintai, tetapi meminta banyak. Dia meminta pernikahan secepatnya dan rumah serta segala harta benda yang tak mungkin kupenuhi dalam waktu singkat.

Manusia senang mencintai, tetapi tidak bisa hidup dengan memakan cinta. Namun pacarku tidak menyemburku dengan, "Makan tuh cinta!" Dia cuma berbuat semaunya, seperti menjawab rayuan lelaki lain yang bukan pacarnya dengan: "Kupertimbangkan."

Tergambar begitu jernih di kepalaku bahwa aku tak ubahnya kantung sampah dan aku dibuang. 'Pertimbangan' yang menurutku tidak adil itu berjarak seminggu dari hari kedatangannya, sehingga yang kemudian ditemukan di rumahku hanyalah udara bekas orang sakit demam.

Aku pergi sejauh mungkin dari rumah dan membuat janji dengan malaikat maut agar ia membawaku pergi ke surga tepat di hari pernikahan pacarku. Aku dengar ada undangan datang dan tetangga yang bodoh dan lugu mencoba menungguku di terasnya; berharap aku pulang, hingga dia memberikan undangan tersebut secara langsung sambil menghiburku.

Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa, termasuk tetanggaku yang bodoh, apalagi pacar dan sahabat yang sama-sama mengkhianati. Jadi, sambil pasang telinga baik-baik, agar perkembangan berita soal pernikahan itu selalu sampai di kepalaku, aku sembunyi di rumah pamanku yang sebatang kara dan sudah agak sinting dan hanya hidup karena bantuan kerabat jauh. Di rumah sepi itu, aku bisa membuat janji dengan malaikat maut tanpa ada seorang pun tahu.

Janji itu kubikin suatu malam, tepat pukul sebelas, setelah Paman dan orang yang biasa datang menjaganya tidur di kamar masing-masing. Aku pergi ke loteng dan duduk di sana lima belas menit. Sambil meneguk sedikit demi sedikit kopi, kuamati langit dan kubisikkan ke udara di sekitarku: aku ingin bertemu malaikat maut sekarang juga dan membuat janji agar aku mati tepat di hari yang paling menyakitkan.

***

Malaikat maut itu datang dengan dua sayap hitamnya yang lebar, setara dua badan bus yang diparkir berhadap-hadapan. Tubuh malaikat itu ceking dan tidak lebih tinggi dariku, tetapi dia bersayap amat sangat besar. Kepakan dua helai sayap seukuran badan bus antarkota itu lumayan membuatku goyah. Cangkir kopiku jatuh dan pecah dan aku tidak peduli lagi apakah kopi tersebut sudah kuteguk habis, baru setengah cangkir, atau malah belum seperempat jalan. Aku terlalu sibuk dengan keterkejutan dan kemudian malaikat tersebut memperkenalkan diri.

"Nama saya Sapono. Saya dengar Anda ingin menjadwalkan kematian Anda, ya?" tanya malaikat maut itu.

Aku mengangguk dan mencatat nama malaikat tersebut baik-baik di kepalaku. Ia lalu bertanya siapa namaku dan kukatakan bahwa orang biasa memanggilku Mugeni; ia boleh memanggilku Geni saja, atau kalau ingin lebih akrab, Sapono boleh menyebutku Mugi.

"Mugi itu nama masa kecil saya, karena zaman dulu anak-anak sepantaran di desa tak bisa menyebutkan kata 'Mugeni' secara lancar, dan akhirnya yang keluar dari bibir mereka, bibir teman-teman saya, adalah Mugi. Demikian asal panggilan Mugi itu. Anda bisa memanggil saya dengan sebutan-sebutan yang saya sebutkan barusan."

Sapono mengangguk takzim dan memutuskan memanggilku dengan sebutan Mugi saja, karena lebih simpel. 

Kemudian kami masuk kamarku, yang berada tepat di bawah loteng, sehingga saat Sapono mencoba mengatupkan dua sayapnya, dan kutatap si maut berdiri di belakangku, seakan pintu loteng ini dijejali raksasa.

Sapono mengaku orang sering mengira malaikat maut adalah sosok super yang tak terkalahkan dan tak tertandingi ukurannya, tetapi dia tidak mencoba mengatakan betapa semua orang itu sok tahu. "Sebenarnya saya tak pernah lebih dari ini. Barangkali bahkan tidak lebih bugar dari Anda," katanya.

Setelah susah payah melewati lorong antara pintu loteng hingga area depan kamar yang kuhuni, Sapono akhirnya bisa bernapas lega karena mungkin mengira kamar yang kutempati ini lumayan luas. Tidak lebih luas dari toilet umum, tapi juga tak bermasalah bagi orang-orang yang mengidap claustrophobia.

Kutanya apakah ia mengidap claustrophobia, tapi Sapono langsung mengeluarkan desisan menenangkan seperti saat kita mendengar seorang ibu mencoba menenangkan bayinya yang mengantuk. Aku mengerti itu pertanda dia kemari untuk membantu dan bukan aku yang harusnya kerepotan memikirkan nasibnya. Nasibkulah yang seharusnya sama-sama kami pikirkan.

Sapono menanyakan masalahku sampai aku nekat ingin mati di hari yang harusnya indah. "Maksud saya, kenapa? Tidak adakah hari lain yang lebih tepat?"

Kujelaskan bahwa pacarku menikah dengan lelaki yang dulunya sahabatku sendiri. Aku tak sanggup pergi ke acara pernikahan dua orang yang kukenal begitu dekat tanpa merasa seperti orang goblok.

"Saya waras, Bung," kataku dengan cukup terkendali. "Saya mengerti bagaimana sebaiknya orang tidak mengundang seorang mantan seperti saya ke pernikahan macam itu, tetapi mereka tetap mengundang saya! Tunggu saja sampai mereka saya beri kejutan. Saya harus mati dan ditemukan dalam kondisi mengenaskan hari itu juga. Saya ingin mereka tahu berita kematian saya yang tragis agar pernikahan mereka tidak akan tenang sampai kapan pun!"

Sapono tidak menjawab, melainkan membiarkan kepala botaknya menoleh ke sana kemari dan mulai bertanya kepadaku di manakah aku biasanya menyimpan pulpen. Di sini tak ada pulpen, kataku, tetapi mungkin di kamar Paman ada pulpen atau alat tulis lain.

Karena penjelasan inilah Sapono menyadari aku tidak tinggal di tempat ini sebagai orang tetap, sehingga dia menyarankanku agar pada hari bunuh diri nanti, aku pergi ke tempat yang jauh, bukan di rumah kenalan atau kerabat atau paman atau juga rumahku sendiri, dan kalau bisa jangan memaksa orang-orang tak berdosa menjadi repot sebab orang mati terkadang harus dibersihkan darahnya, belatungnya, cairan tubuhnya yang bau, atau hal-hal semacam itu.

Aku mendengar kata-kata Sapono dengan saksama, tetapi agak heran juga. Aku seharusnya dapat mati dengan tenang tanpa harus memikirkan orang lain, tapi Sapono memberitahuku, "Bahwa kematian yang merepotkan orang hanya akan membuat Anda dikenang sebagai pengecut busuk yang tak paham bagaimana menjaga hidup sendiri. Anda mau dikenang sebagai pengecut busuk?"

Kuturuti nasihat Sapono. Setelah beberapa saat kami cari pulpen ke seluruh sudut rumah. Lalu kami menandatangani kontrak perjanjian yang ia siapkan. Aku merinding membayangkan mati di tanggal sekian. Aku tahu tanggal maut ini datang menjemputku. Aku tahu kapan aku mati dan dikubur dan kemudian dilupakan. Aku tahu sesuatu yang seharusnya tidak orang biasa ketahui.

Untuk sesaat aku merasa diriku sangat luar biasa, tapi lama-lama sedih juga. Jika aku mati pada saat yang kuperkirakan sendiri, seharusnya aku sudah tahu ke mana saja hidupku kuhabiskan. Sapono bilang, dia tidak menjaminku masuk ke surga atau neraka; dia hanya mengantarkan ruhku setelah mencabutnya dari ragaku yang keropos gara-gara patah hati.

Jadi, kupikirkan baik-baik ke manakah hidupku kuhabiskan sebelum pernikahan itu terjadi? Aku harus minta maaf kepada semua orang yang pernah kulukai, tetapi tentu tidak termasuk dua orang yang akan menikah itu. Bukankah kubuat perjanjian kematian ini khusus untuk kado pernikahan mereka? [ ]


Gempol, 2019-2024


KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Dosa di Hutan Terlarang (2018), Buku Panduan Mati (2022), Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024).


HP: 085732067443 

 


Posting Komentar

0 Komentar