Dimuat koran PIKIRAN RAKYAT (23/03/2024).
“Tanda-tanda seseorang yang meninggal dengan husnul khotimah. Ketika seseorang meninggal dengan senyum di wajahnya, itu salah satu tanda, dia meninggalkan dunia dengan hati yang tenang dan bahagia. Kedua, jika jenazah seseorang tetap bersih, harum, dan tidak bau busuk, ini juga tanda bahwa orang tersebut meninggal dengan husnul khotimah. Ketiga, jika seseorang muncul dalam mimpi kerabatnya atau sanak keluarganya dalam keadaan baik, dan memberikan pesan yang baik, ini juga tanda dia husnul khotimah.” Dan beberapa tanda yang lain, setidaknya tiga hal itu yang ditangkap Ali dari apa yang disampaikan Abah Kyai.
Setiap setelah sholat tarawih, Abah Kyai selalu menyisipkan tausiah. Kemudian setelah itu dilanjut tadarus quran. Selalu setiap malam ketika bulan Ramadhan, meski waktu sudah menunjukkan jam 10 malam, suasana belum juga sepi. Berbeda dengan malam-malam biasanya, tak seperti di kota, desa ini akan seperti kota mati ketika sudah menginjak pukul 9 malam. Ya karena mayoritas penduduk desa ini bekerja sebagai petani, tidak ada orang yang pulang kantor larut malam. Atau terdengar suara hingar bingar hiburan malam seperti di kota besar. Sehingga desa ini terasa sunyi sekali ketika malam tiba, yang terdengar hanya suara kodok dan jangkrik.
Di luar bulan Ramadan, biasanya orang-orang sepulang dari sawah sebelum matahari tenggelam. Ketika adzan magrib berkumandang, orang-orang berbondong-bondong untuk sholat berjamaah di masjid. Setelah itu pulang dan berbincang dengan keluarga di rumah sambil makan malam, sembari menunggu waktu isya. Semacam rutinitas yang sudah terjadwal rapi. Ojo turu sore kaki, ana dewa nganglang jagad, menjadi semboyan yang selalu diingat orang desa, yakni larangan untuk tidak tidur ketika menjelang magrib sampai malam tiba.
Berbeda lagi ketika bulan Ramadhan, bukan lagi ‘ojo turu sore kaki’, namun sampai tengah malam pun orang-orang banyak yang belum tidur. Setelah sholat tarawih, dilanjutkan tadarusan. Ali, salah satu anak yang aktif di masjid. Sayangnya ia kurang bisa mengaji, karena terlahir dari keluarga kurang mampu. Kedua ortunya, jangankan mengajari ngaji, membaca huruf latin pun tidak bisa. Buta huruf. Ali yang putus sekolah, karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah, sehingga masjid adalah tempat satu satunya baginya untuk menimba ilmu.
Meskipun kurang lancar baca tulis dan mengaji, tak memupuskan semangat Ali untuk terus belajar. Ia suka menyimak orang yang sedang mengaji. Sampai sampai ia hafal beberapa ayat, meskipun tidak bisa membaca. Sayangnya ada seorang bernama pak Rohman, tak seperti namanya yang seharusnya orang yang pengasih. Pak Rohman seorang lelaki yang kaku dan keras. Ali dipaksa mengaji sama pak Rohman. Dengan terbata bata, Ali mengeja huruf hijaiyah itu dengan sangat tidak lancar. Pun suaranya Ali dipaksa untuk masuk dalam microphone oleh pak Rohman.
Setelah memaksa Ali mengaji menggunakan mic. Pak Rohman berlalu pergi, entah kemana, mungkin pulang ke rumahnya. Ada yang melihat dia meninggalkan masjid dengan membawa segepok makanan takjil. Orang yang melihat pun cuek saja, mana ada yang berani menegur pak Rohman. Sementara Ali masih dengan terbata-bata mengaji di depan mic.
Suara Ali yang terdengar sangat mengganggu, cara mengajinya yang sama sekali tidak merdu. Mengusik telinga Abah Kiai. Dengan langkah cepat, abah Kiai mendatangi masjid dan menyuruh Ali untuk menghentikan ngajinya.
“Kalau tidak bisa ngaji, ya jangan memaksakan diri untuk mengaji pakai mic to le.” Tegur abah Kyai.
Ali pun dengan segera mematikan mic, dengan wajah tertunduk tak berani menjawab atau menjelaskan kalau yang menyuruhnya adalah pak Rohman. Abah Kyai pun mengumpulkan semua anak-anak yang saat itu masih di masjid. Menasehati semua, “Kalau ada yang tidak bisa mengaji, tidak perlu memaksakan diri pakai mic. Belajar pelan-pelan, tanpa mic. Karena kalau pakai pengeras suara, didengar orang sekampung tidak enak. Orang ngaji pakai pengeras suara itu selain untuk dirinya sendiri juga memperhitungkan kenyamanan orang lain. Makanya kalau melantunkan ayat, sebagai imam, adzan, atau mengaji, itu diutamakan yang bisa membaca dengan benar dan merdu suaranya. Yang belum benar cara membacanya ya tidak perlu pakai pengeras suara.” Ujar abah Kyai.
Keesokan harinya, ketika selesai sholat ashar, Ali dislepet sarung sama pak Rohman. Kronologinya ketika selesai salam, Ali hanya berdoa sebentar, lalu dia beranjak ke belakang shaf. Namanya anak kecil, kalau sudah ketemu teman-temannya ya apalagi kalau bukan bercanda lari larian. Hal itu dirasa gaduh bagi pak Rohman yang kebiasaannya kalau berdoa sangat lama. Slepet sarung maut dari pak Rohman pun tak terhindarkan, memerahkan pipinya.
Pak Rohman memang sosok yang keras, sering berkonflik dengan tetangga. Hanya saja dia termasuk anggota takmir masjid, yang cukup rajin. Ia pun paling semangat untuk mengambil pengeras suara untuk melantunkan adzan setiap kali datang waktunya sholat lima waktu. Meski suaranya sangat tidak merdu. Ditambah lagi dia suka mengencangkan volume sampai pol. Sebenarnya banyak warga yang terganggu dengan suaranya ketika adzan. Namun siapa yang berani berhadapan dengan pak Rohman, soal adu mulut, dialah jagonya.
Warga pun malas untuk menegur, akhirnya ya cuek saja. Semantara Abah Kyai juga tak menegurnya, karena siapa lagi yang rajin ke masjid tepat waktu, kalau bukan pak Rohman. Warga yang lain tak bisa tepat waktu seperti dia, di balik hatinya yang keras, ada satu kelebihan, yakni kedisiplinannya. Sayangnya sifatnya yang pendendam itu, membuat warga malas punya masalah dengan pak Rohman. Satu saja pernah terjadi konflik dengan dia, mungkin akan diingat sampai matinya.
Slepet sarung berikutnya, dirasakan pipi Ali ketika bertengkar sama Zafran di halaman masjid. Berebut buah sawo ijo yang terjatuh dari pohon sawo depan masjid. Saling emosi dan saling pukul, dan ujungnya salah satu menangis. Kejadian itu diketahui pak Rohman yang terganggu ketika khusyuk berdoa di dalam masjid. Slepet sarung pun sekali lagi memerahkan pipi Ali.
Berbeda dengan orang dewasa, keesokan harinya Ali dan Zafran pun kembali bermain bersama. Seolah konflik pertengkaran yang terjadi kemarin tak pernah terjadi, kembali keduanya bermain tanpa ada rasa dendam yang dipendam.
Tak disangka tak diduga. Usia seseorang tak ada yang tahu. Pak Rohman meninggal dunia, karena serangan jantung dan stroke. Sikapnya yang keras dan mudah tersulut emosi, membuatnya tak bisa meredam diri. Ia meninggal pada bulan ramadhan, katanya, yang meninggal di bulan ramadhan itu, orang yang husnul khotimah. Hanya saja yang mengganjal di pikiran Ali, ketika ia mengingat apa yang disampaikan abah Kyai, tentang tiga ciri orang yang husnul khotimah, tidak terlihat di jenazah pak Rohman.
Ciri pertama, Jenazah pak Rohman terlihat cemberut sedih, tak ada senyumnya sama sekali. Bau jenazahnya juga tercium amis, padahal pihak keluarga sudah berusaha menggunakan berbotol-botol pewangi, namun tetap tidak berpengaruh. baunya tetap menyengat tidak sedap. Ketiga, belum tahu, semoga kerabatnya ada yang bermimpi melihat pak Rohman hidup bahagia di alam kubur.
Untuk penguburan jenazah, masih menunggu anak-anaknya berkumpul. Semua anaknya jadi orang sukses. Salah satunya ada yang masih dalam perjalanan pulang dari Jakarta, sehingga jenazah pak Rohman tak langsung dimakamkan sore itu juga. Direncanakan besok pagi. Sembari menunggu anak-anaknya lengkap semua.
Tengah malam, anaknya yang dari Jakarta pun sampai rumah. Dalam perjalanan naik kereta, ia sempat tertidur dan bermimpi. Bertemu bapaknya, pak Rohman. Dalam mimpinya itu bapaknya menyampaikan sesuatu. Agar anaknya menyampaikan ucapan minta maaf secara langsung kepada tetangga-tetangga yang pernah berkonflik dengannya. Dia juga menyampaikan, menyesal karena terbiasa terlalu lama berdoa. Yang dengan doanya terkesan malah menyuruh-nyuruh Tuhan untuk menuruti permintaannya, hingga lupa atas semua nikmat yang telah diberikanNya. Terasa segala nikmat yang sudah diberikan Tuhan, tak bisa ia rasakan selama di dunia.
Permintaan terakhir, ia sampaikan kepada seorang anak bernama Ali. Untuk memberikan sarung yang biasa dia pakai kepada Ali. Pagi itu, anak pak Rohman memberikan sarung itu kepada Ali dan meminta maaf atas semua kesalahan bapaknya yang pernah menyakiti Ali. Seperti biasanya, Ali tak banyak bicara. Hanya diam tertunduk mendengar ucapan yang disampaikan anaknya pak Rohman. Ali menerima sarung itu dan berjalan bersama anaknya pak Rohman, mendatangi rumah duka.
Sampai di lokasi, karena bau menyengat dari jenazah pak Rohman tak tertahankan. Secara spontan Ali menggunakan sarung itu untuk menepis udara. Beberapa kali Ali menyelepet jenazah pak Rohman. Orang-orang yang melihat terkejut atas kejadian itu. Pak RT mau mencegah Ali, namun pak Kyai menahannya. Beberapa kali Ali menyelepet pak Rohman, terakhir mengenai wajahnya. Aneh tapi nyata, selepetan itu membuat wajah pak Rohman jadi tersenyum. Bau amis jenazah pun berangsur hilang. (*)
2 Komentar
Rohman dan Ali... Visualisasi karakter yang ada di sekitar kita, ada pesan mendalam dari dua karakter ini
BalasHapusMantabb. Setuju. Saya heran sama orang2 berisik yang mengatas namakan agama.
HapusAndai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024