005

header ads

Puisi Dody Yan Masfa

 DONGENG PEREMPUAN RUNTUH


Si perempuan kepala kuda laju lalui bayang waktu.

Bagaikan Olenka ia berkelebat, otaknya misterius.

Hatinya tak bisa diukur, namun sayapnya patah satu.

Itu menyebabkan kelebatnya oleng. 


Dongeng dimulai siang ini, aku tak bersepatu.

Bicara lantang menuduh gelisahnya dengan segala 

serapah dan umpat.

Ia tak bergeming bersit wajahnya sengit.

Picing matanya hunjam tembakan tuduhanku. 


Aku diam sementara, menata lagi pikiranku.

Mungkin salah, tapi aku tetap tak percaya.

Bahwa cinta telah runtuh dari tempuh 

perjalanan hidupnya. 


Aku mengenalnya, ya.. bukan sebagai 

iblis jelmaan ular itu.

Aku terlanjur memakan buah dan kemenyan.

Bersamaan jelmanya sebagai kuda betina.

Yang ingin lenyap dari kehidupan. 


Entahlah, kusadari diriku terlanjur memasang 

jerat buat hentikan laju kelebatnya.

Meski luput tak tertangkap aku masih bisa 

mengikutinya kemana ia singgah, hinggap, lalu hilang lagi. 

Bertahun tahun, sebab ia masih menjanjikan cerita.


Malam bergulir lampu padam, bayang itu 

hadir duduk ditepi ranjang. 

Petaka sudah dilalui beberapa kali.

Berkali pula ia menunggu cahaya, 

belum juga ada kilau. 


Hari-hari adalah getah merah mengucur deras, 

sebab harapan untuk hidup sisa sejengkal, dan cawan 

telah habis darah. 

“Dari sekian makhluk, akulah paling mencintaimu" 

Teriaknya pada riuh di seberang jalan. 


Sebelum celuler phone memanggil jiwa retak, 

waktu telah berlari berpacu kenangan. 

Masih mendung, bulan bertengger di atas genteng 

menemani burung gagak kehilangan gaibnya. 



Tak ada kematian lagi meski darah 

cecer mengalir di batang pohon bidara. 

Menjadi sungai mencari muara.

Bau anyir menyatu angin tertiup 

bersama musim tak jelas gambarnya. 



Ada kesunyian di atas kepala lelaki. 

Di pundaknya. Di lambung dan kelaminnya. 

Sunyi benar benar sunyi. 

Sunyi yang tak berpihak pada sunyi. 


"Dimana nasib kebersamaan 

ketika cinta tak lagi berdarah. 

Kabar tak lagi disampaikan. 

Wajah sama sama beku. 

Ranjang tak berderit. 

Luka tak ada upaya 

disembuhkan.?"


Lelaki itu meringkuk di dalam ceruk.

Istirah dari gentayang sunyi, 

Aku melafazkan mantra kecubung 

pengasihan sampai mabuk. 


Mabuk kata kata.

Mabuk dikatakatain.

Mabuk dituduh sesat.

Keluar dari jalan semula. 

Jalan itu rimba belantara penuh

mata nyalang tapi tak melihat.

Mulut koar namun bisu. 

Telinga tuli tak mau mendengar 

firasat mantra. 


Aku memilih duduk bersila sembari 

menunggu lelaki bangun dari ceruk. 

Keempat puluh harinya tumbuh pohon 

bunga patmah dari ubunku. 


Angin mulai bertiup kencang tak bersahabat 

dengan bayang perempuan kelebat.

Dihempasnya ia membentur tembok lebam. 

Tempelkan tanda seteru di dada perempuan. 

Aku mengira itu angin, diciptakannya sendiri 

sebagai tanda penegasan terhadap tikai. 

Agar berlangsung terus menerus.

Agar riuh di seberang jalan semakin gaduh. 


Cahaya ikut pula mencercahnya.

Direnggutnya bayangan perempuan kelebat.

Kini tanpa bayang masa lalu. 

Siapa dirinya ia tak perduli. 

Tetap laju menembus tembok penghalang. 

Aku mendoa diamdiam

Cengkeram jari lelaki dikepalaku.

Hawa panas, barangkali matanya 

tajam pula menghunjam. 

Aku tak ingin bertikai tanpa alasan. 

Hidupku sekadar memberi tanda 

menuju masa depan.


Ada jedah tercipta dari kekosongan, hanya intermezo, 

Kasak kusuk tak berarti bagi masa lalu.

Masa depan porak poranda sebagai rencana.

Cintapun beku tak berucap, kesetiaan mulai dibagi.

Dan hari ini aku ditipu guncangan guncangan. 


Pelana kuda terpelanting di tanah.

Kuda betina telanjang dengan bulu kelabu. 

Tak ada penunggang tangguh pengendali 

laju dan terjangnya. 

Ada apa kiranya..? 


Semua persoalan sepertinya susut mengecil. 

Menjadi kuda poni tunggangan bagi anak kecil,

yang dirindukan.

Adalah permintaan gelap, untuk diusung 

dalam pengap dada perempuan bayang pekat. 

Jantungnya lebam, hatinya muram, benaknya kusut.

Pikirannya semrawut bagai pasir besi usai runtuh 

dari batang kokoh dingin. 

Ia tak mau berkelebat lagi.

Memilih telikung diamdiam Tuhan 

dalam dirinya sendiri. 


"Aku ingin menjadi maut bagi diriku sendiri..!

Usai sudah kehidupan, biar kuletakkan 

saja berkarat oleh waktu.

Membatu merah darahku.

Kutanam dalam dalam pada runtuh.

Pada keluh, pada seribu duri.

Tancapkan sesukamu.

Sayatkan semaumu.

Toh aku telah tak berarti.

Musti kau sebut putus asa 

Aku tak perduli mulutmu.

Aku tak perduli cintamu.

Yang kau cipta dari kemauanmu.

Kuasaiku.

Hancurkanku sampai remuk..!”


Perempuan itu runtuh seluruh...


Dody Yan Masfa

Agustus, 2021




Posting Komentar

0 Komentar