005

header ads

SEKUNTUM BUNGA | Cerpen Fileski




Sudah sore lagi. Matahari seperti tergesa-gesa ingin pergi. Lingkaran jingga penanda hari itu sudah terlihat separuh, bersembunyi di balik dedaunan pohon mangga. Gardu baca yang biasanya ramai canda tawa dan bocah-bocah yang asik mengeja aksara, sudah sepi. Mereka pulang, menjelang magrib berkumandang. Jika tidak hujan, bocah-bocah itu akan kesini lagi, untuk belajar bersama mengerjakan PR atau sekedar mengisi waktu di malam hari. Dan pulang ketika sudah tiba waktu untuk memintal mimpi. 


Ia duduk berteman sepi. Membaca buku-buku yang sudah lama ia koleksi. Sudah 2 tahun ini ia menggeluti dunia literasi. Yang dulunya hanya berjumlah puluhan, kini buku-buku itu sudah berjumlah ribuan. Sumbangan dari berbagai instansi dan tak jarang ia beli dari koceknya sendiri. 


Kali ini ia sedang membaca buku. Sebuah kisah tentang seorang murid yang bertanya kepada gurunya mengenai arti Cinta Sejati. Kemudian si guru menyuruhnya melakukan perjalanan ke sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga yang indah. Si murid diminta untuk membawa satu bunga terindah dari taman itu, namun ada satu syarat, tidak boleh untuk berbalik arah atau melihat ke belakang. 


Ia memang suka membaca buku semenjak hidup di Jepang. Sepulang dari Jepang, ia membawa tabungan yang lumayan. Dari hasil kerja sebagai tukang las bawah air. Tanah rantau ia tinggalkan, pulang ke kampung halaman. Ingin berbuat sesuatu untuk kehidupan, bermanfaat untuk lingkungan. Ia membangun sebuah perpustakaan. 


Setelah magrib, ia akan minum secangkir kopi. Sambil menunggu bocah-bocah berdatangan kemari. Jika tidak ada yang datang, biasanya karena hujan, ia hanya akan merapikan buku-buku yang beberapa berantakan karena dibaca, lupa dikembalikan. Jika belum ngantuk, ia akan ke kandang yang ada di belakang, melihat domba-domba piaraannya. Esok paginya, ia akan mencari rumput di ladang, atau ke pasar hewan untuk bernegosiasi dengan pembeli. Begitulah rutinitasnya sehari-hari. 


Belakangan raut wajahnya kurang bersemangat. Biasanya ia habiskan malam dengan menelpon kekasihnya yang ada di Jepang. Teman-teman sering heran, kok kuat ia bisa telepon berjam-jam. Meski sedang makan, kekasihnya itu tidak mau mematikan telepon, seakan dipantau terus apapun aktivitasnya. Bahkan ketika ia sedang ngobrol dengan teman-teman, kekasihnya itu minta ikut mendengarkan. 


Saking cintanya ia pada kekasihnya, ia nurut sampai sebegitunya. Namun aku rasa hubungan mereka tidak akan lama, karena perbedaan pemikiran membuat mereka sering adu gagasan, yang berujung pertengkaran. Hubungan jarak jauh yang mestinya saling memberi kekuatan, malah jadi hambatan, bikin suasana berantakan, karena keduanya tidak ada rasa saling percaya. 


Benar kata orang bijak, cinta itu semakin digenggam akan semakin rusak. Bagai buah stroberi yang merah merona, mudah hancur di genggaman. Itu sepenggal kisah asmara kawanku, orang-orang sini memanggilnya Hercules. Nama aslinya Heri. Sehingga ia dikenal dengan sebutan Heri Hercules. Karena memang badannya besar, makannya banyak, dan rambutnya agak panjang. 


Setelah kandas kisah asmaranya dengan perempuan Jepang, ia menjalin asmara dengan perempuan dari Jombang. Pikirku apa mungkin harus dengan wanita yang ada unsur huruf ‘J’ dan ‘ng’. Jepang dan Jombang. Ah, mungkin hanya kebetulan saja. Pertemuannya dengan wanita Jombang itu, bukan kebetulan. Tapi karena ia sudah lama mengenalnya. Heri sebetulnya sudah lama memendam rasa pada Maisaroh, nama perempuan dari Jombang itu. Hanya saja, Maisaroh sudah bertunangan dengan lelaki dari Klaten. Jarak yang cukup jauh antara Jombang dan Klaten, membuat Maisaroh jarang bertemu dengan tunangannya. 


Heri sering berkunjung ke Jombang. Setali tiga uang, ia sering punya urusan bisnis dan perpustakaan di kota itu. Tak jarang, ia mampir menyambangi Maisaroh. Cinta yang bersemi di tempat yang salah, seperti rumput yang tumbuh di halaman rumah. Suatu waktu pasti ditebas oleh yang punya rumah. Terkadang pikirnya nekat, Heri merasa, sebelum janur kuning melengkung, maka masih belum milik siapa-siapa. 


Kenyataannya, Heri tak senekat itu. Padahal sering kali ia ajak Maisaroh pergi jalan-jalan, sekedar cari rawon di area stasiun Jombang, atau ngobrol berduaan di alun-alun kota. Cintanya pada Maisaroh tak membuatnya nekat, ia berperan sebagai pagar dari sekuntum bunga. Padahal bisa saja Heri menciumnya seketika itu juga, agar Maisaroh bisa jadi miliknya. 


Pernah juga Heri posting makanan di statusnya, ketika hampir tengah malam, Maisaroh komentar “Mau dong lempernya”, berangkat juga Heri mengantar makanan lemper itu ke rumahnya Maisaroh, walau sudah tengah malam dengan jarak tempuh 3 jam berkendara motor. Menerjang debu roda bus antar kota dan gerimis yang menyayat jemarinya. Hanya untuk mencantolkan sebungkus lemper di pintu rumahnya Maisaroh, dan pulang ke rumahnya tanpa bertatap muka, itu sudah membuatnya bahagia. 


Cinta memang sering membuat manusia kehilangan logika. Buat apa coba, orang waras pasti akan berkomentar begitu. Pengorbanan memang tak pernah memikirkan apa hasilnya. Entah bagaimana nantinya, biarkan berjalan saja. Ternyata benar ia hanya pagar, dari sekuntum bunga. Satu bulan setelahnya, Maisaroh memberitahu Heri, untuk tidak berkomunikasi  lagi. Karena keluarga Maisaroh sudah menentukan tanggal pernikahan dengan tunangannya. Apa daya, Heri hanya berpasrah pada nasibnya.


Selesai kisahnya dengan Maisaroh, membuat Heri tak putus asa. Ia kembali dekat dengan seorang wanita. Kali ini tanpa disengaja. Seorang wanita yang sudah lama bekerja sama dengannya. Perpustakaan yang ia dirikan, ada kegiatan belajar bersama dengan para relawan. Bocah-bocah itu sering minta tolong untuk diajari para relawan untuk mengerjakan PR dari sekolahnya. 


Salah satu relawan ternyata punya perhatian lebih pada Heri. Tak seperti relawan lainnya, wanita yang satu ini lebih rajin, bahkan betah berlama-lama di perpustakaan. Meski selama ini Heri tak begitu konsen menanggapi. Baru terasa ketika suatu hari, pukul 22.00, hujan belum reda. Relawan lainnya nekat pulang, meski akan basah kuyup menerjang hujan, tak ada pilihan, dan bocah-bocah sudah pulang semua, sampai rumah basah tak mengapa. 


Rindang, nama yang sesuai dengan sikapnya. “Rin, kamu tidak pulang?” tanya Heri. 


Rindang duduk terdiam, melihat rintik hujan, menoleh ke arah suara “Masih hujan mas, aku tidak bawa mantel.”


“Kalau gitu, aku antar saja, aku punya mantel batman, lagian sudah malam, motormu biar di sini saja, besok kesininya aku jemput.” jawab Heri. 


Rindang setuju, wajahnya tampak riang. Mulai malam itu ada kedekatan antara mereka berdua. Pernah juga di malam lainnya, Rindang diminta Heri untuk mengerjakan administrasi perpustakaan. Sampai larut malam, atas persetujuan ibunya Heri, dibolehkan untuk menginap di Rumahnya. Ketika seorang perempuan, setuju untuk menginap, tidak memilih untuk diantar pulang, apa artinya jika bukan ada rasa suka. 


Terjalin kedekatan dengan Rindang, membuat Heri bisa melupakan Maisaroh. Suatu hari tanpa diduga-duga, Maisaroh datang lagi ke kehidupannya. Secara tiba-tiba, Maisaroh datang ke perpustakaan. Ia bercerita pada Heri, ada masalah rumah tangga. Maisaroh kabur dari rumah, karena suaminya suka melakukan kekerasan, fisik dan verbal. Membuatnya tidak betah di rumah, dan memutuskan untuk kabur menemui Heri. 


Andaikan ia memilih Heri, mungkin tidak akan terjadi hal begini. Jangankan kekerasan pada istrinya, tunangan orang lain saja ia bisa jaga, tanpa menyentuh dan membuat luka.  Apa daya, semua sudah terjadi. Maisaroh butuh waktu untuk menenangkan diri. Ibunya Heri membolehkan Maisaroh untuk sementara tinggal di rumahnya. Sampai ada keluarganya yang menjemputnya. 


Tentu Rindang tidak begitu suka dengan kehadiran Maisaroh di kehidupan Heri. Rindang sering tidak fokus ketika sedang mengajar anak-anak, karena melihat Heri dan Maisaroh bersenda gurau di gardu baca. Sedikit hal yang membuat Rindang bisa menahan diri, karena Maisaroh sudah punya suami. Itu hanya soal waktu, kesabaran akan membuatnya bisa memiliki Heri sepenuhnya. Rindang anggap ini sebagai ujian kesabaran. 


Pukul 22.00, perpustakaan sudah sepi. Bocah-bocah sudah pulang, begitupun para relawan termasuk Rindang. Hujan cukup deras, petir menggelegar, angin berhembus kencang. Rindang hendak kembali ke perpustakaan, untuk mengambil ponselnya yang ketinggalan. Ia nekat menerjang hujan, karena khawatir ponselnya hilang. Sesampainya di perpustakaan, ia berdiri mematung, beku. Ketika melihat Heri dan Maisaroh berpelukan di antara rak-rak buku. Rindang mengambil ponselnya, memasukkan dalam mantelnya, lalu berlari menerjang hujan. Heri hanya bisa kaget ketika melihat Rindang, terlambat ia melepas pelukan dengan Maisaroh. 


***

 

Kelanjutan dari kisah dari buku yang dibaca Heri di awal cerita. Setelah dari taman, si murid datang dengan tangan kosong. Guru bertanya, “Mana sekuntum bunga yang aku suruh petik dari Taman itu?”


“Aku sudah memetiknya, tetapi aku buang bunga itu, dengan harapan di depan ada bunga yang lebih indah. Setelah sampai ujung, aku baru tersadar, tak ada satupun bunga yang aku bawa, dan aku tidak bisa kembali lagi untuk mengulang”.


“Seperti itulah arti Cinta Sejati.” jawab sang guru. (*) 


Sragen, 30 Desember 2023.


Posting Komentar

2 Komentar

Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313