Perasaan
Pertama
Oleh
Anjrah Lelono Broto
Ilustrasi Perasaan Pertama (copyright: pinterest.com)
Aku dan istriku saling memandang. Ribuan tanda tanya berjumpalitan di
antara kepala kami. Sekali lagi, mata kami mengarah kepada ponsel Putri. Baru
saja, beberapa pesan WA dalam ponsel anak kami tersebut kami
baca. Ribuan lebah terasa mendaratkan sengatan penghabisannya di tubuh kami,
Putri, siswi kelas empat sebuah sekolah dasar telah saling mengirim pesan
tentang cinta dengan teman sebayanya.
“Pa,”
“Putri tidak tahu kan kita mengintip ponselnya?” istriku menggeleng.
“Besok, Mama saja yang berbicara dengannya,”
“Papa takut?”
“Dialog sesama perempuan kan nyaman, Ma,”
“Tapi sebagai lelaki, Papa kan bisa menebak apa yang disukai Putri dari
pacarnya itu,” senyumku menyembul sejenak. “Pa, masih ingat gadis pertama yang
menawan hatimu?” lanjut istriku seraya bergerak keluar kamar, ponsel Putri
menaut di genggamannya.
“Lho, belum dijawab, Mama koq sudah pergi?”
“Mama tak butuh jawaban, Papa, masa lalu,” tawa kecilnya mengiringi
goyangan pinggul itu hilang di balik pintu kamar.
Malam memberi ruang untuk mengingat kembali ketika bayangan-bayangan
perempuan dari masa lalu. Hingga bayangan perempuan dari tanah kelahiran itu
berkelebat lugu. Aku kembali dihantar pada tambak bandeng milik almarhum bapak,
ibuku yang guru SD di desa terpencil, terutama bayangan gadis kecil berkepang
dua itu.
Kuingat, bapak selalu menggelar acara tasyakuran setiap musim panen bandeng. Biasanya pada acara tasyakuran seperti itu, Bapak dan Ibu
mengundang sanak-kerabat, teman sejawat, serta tetangga-tetangga sekitar ke
rumah. Karena acara tasyakuran ini sebagai
wujud syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat berupa bandeng
kepada keluargaku, maka menu wajib yang harus ada sebagai suguhan bagi para
undangan berbahan dasar bandeng. Mulai dari dipresto, dibumbu kare, hingga
digoreng biasa kemudian di-cepret
dengan sambal tomat.
Untuk menu bandeng yang terakhir ini, sambal tomat racikan Ibu terasa
paling mantap.
Waktu itu, menurutku, mungkin karena masa kecil Ibu yang sedikit “kurang
nyaman” membuatnya piawai membuat sambal. Sekilas, dari tuturan Ibu sendiri,
Bapak, serta beberapa kerabat yang lain. Ibu dibesarkan dalam keluarga yang
sarat dengan “perjuangan”, Simbah Kakung yang anggota ABRI (sekarang TNI, pen)
seringkali berpindah-pindah tugas. Tentu saja, Simbah Kakung membawa serta
semua anggota keluarganya saat bertugas di daerah yang baru.
Ach, seperti halnya “anak tangsi”nya Romo Mangun dalam novel “Burung-Burung Manyar”, ibu di waktu
kecil juga sering berpindah-pindah tempat tinggal, dari komplek ke komplek rumah
dinas tentara. Sementara penghasilan anggota ABRI dan tuntutan biaya hidup pada
masa itu boleh dikata berat. Ibu sebagai anak tertua, sejak kecil dididik untuk
disiplin dan ikut bertanggung jawab pada urusan-urusan rumah tangga, seperti
memasak, mencuci, juga momong
paklik-bulik.
Teman-teman sekelasku biasanya juga diundang Bapak dan Ibu dalam acara tasyakuran musim panen bandeng. Namun,
karena masih anak-anak, Bapak dan Ibu mengemasnya dalam acara tersendiri.
Biasanya dilakukan usai pulang sekolah, dengan dipimpin doa oleh Ustadz Achmadi,
serta diakhiri dengan shalat dhuhur berjama’ah di masjid jami’ satu-satunya di desaku.
Semua teman sekelas mendapat undangan. Jikalau teman-teman laki-laki
cenderung “bebas” di rumahku karena memang mereka telah sering bermain denganku
dan adikku Irfan, maka teman-teman perempuan cenderung menjadi tamu yang
“manis” di ruang tamu rumahku. Duduk manis. Menjawab sapa dengan manis.
Berbincang dengan teman yang lain juga serba manis. Mungkin itu memang karakter
perempuan? Atau mungkin juga karena tuntutan adab sopan-santun?.
Di antara mereka yang suka serba manis, ada Erviana. Teman-teman
sekelasku biasanya memanggilnya dengan sebutan Ana. Teman perempuan yang satu
ini memang sudah menarik perhatianku sejak kepindahannya ke sekolahku, kelas
dua dulu. Erviana adalah anak pindahan dari sebuah sekolah dasar di kota.
Ayahnya adalah seorang pegawai Pemda, kata Bapak. Artinya, Erviana memiliki
gaya berpenampilan yang sedikit berbeda dengan teman-teman perempuan seusiaku di
desaku kala itu. Kulitnya putih bersih. Rambutnya hitam bergelombang dan selalu
dikepang dua. Jepit rambut kecil senantiasa menjadi penghias di alun gelombang rambutnya.
Setiap memandang Erviana yang manis, mataku seperti melihat makhluk dari planet
lain yang besar kemungkinan penduduknya juga manis-manis.
Berbeda dengan rata-rata kulit teman-teman perempuan sekelas lainnya
yang sawo matang, bahkan beberapa di antaranya ada yang hitam mengkilap karena
terbakar sengatan panas matahari, kulit Erviana tampak paling
bersinar-berkilau. Memang orang tua Erviana dikaruniai kulit yang putih.
Apalagi, mereka adalah keluarga yang cukup berada di daerahku, sehingga Erviana
bisa di”jaga” dari terik panas matahari di pesawahan dan tambak-tambak di tanah
kelahiranku.
Entah mengapa? Jantungku senantiasa berdebar lebih kencang dari berlari
mengelilingi lapangan sekolah saat jam pelajaran olahraga ataupun membantu bapak
menguras tambak, setiap kali berjumpa Erviana. Aku selalu mencuri-curi pandang
ketika di dalam kelas atau saat bermain pada jam istirahat sekolah. Rumahnya
yang berada di belakang masjid jami’,
tempatku belajar mengaji. Hal ini membuatku memiliki banyak kesempatan untuk
memandang dari jarak dekat Erviana, makhluk planet lain yang manis. Bahkan, aku
acapkali mengambil resiko dengan berbohong pada ustadz guru mengajiku bahwa aku
baru saja kentut sehingga batal wudhuku. Tujuanku sederhana, agar aku didaulat
untuk berwudhu lagi sehingga, aku bisa melihat ke belakang masjid jami’, ke rumah Erviana. Besar
harapanku, aku bisa melihatnya sedang berada di teras atau di halaman rumahnya.
Beralaskan tikar lipat, teman-temanku sudah duduk bersila melingkar di
ruang tamu rumahku. Setelah meja dan kursi di ruang tamu diangkat ke samping
rumah, lantai ruang tamu dilapisi beberapa tikar lipat untuk alas duduk ala lesehan. Teman-teman laki-laki sekelas
lainnya mengambil tempat di sisi dekat pintu. Sedang teman-teman perempuan
sekelas memilih tempat menyudut. Erviana kebagian tempat di dekat jalan keluar
dari ruang tengah. Saat teman-teman datang, aku langsung menuju dapur, Aku
tidak tahu apa alasan Erviana memilih tempat itu.
Setelah Bapak, Ibu, aku, dan Irfan ikut bersila melingkar dialaskan
tikar lipat, Ustadz Achmadi memberikan pidato singkat mewakili sahibul hajad, Bapak dan Ibuku. Beliau
menjelaskan tujuan penyelenggaraan acara tasyakuran
tersebut. Tidak ketinggalan, beliau meminta maaf kepada para undangan
teman-teman sekelasku, apabila ada kurang-lebihnya perjamuan yang diberikan
oleh sahibul hajad, dan kalau ada
kata-katanya yang kurang tepat untuk disampaikan dalam forum tersebut.
Teman-teman sekelas duduk tenang memperhatikan. Hanya Kadir, temanku
yang berperut tempayan, yang kelihatan gelisah sembari beberapa kali melongokkan
kepalanya ke arah ruang tengah. Aku maklum, aroma masakan bandeng memang meruap
dari ruang tengah ke segala arah. Untuk ke sekian kalinya, aku mencuri pandang
ke sebelah kanan tempat dudukku. Dipisahkan Ibu, kulihat Erviana tampak manis
sekali siang itu. Beberapa kali dia mengusap wajahnya dengan sapu tangan merah
jambu di tangannya. Dia tampak anggun sekali ketika mengusapkan sapu tangan ke
wajahnya yang mungil. Erviana memang benar-benar beda dengan teman-teman
perempuan yang ku kenal saat itu.
Aroma parfum perempuan yang lain dari yang ku hafal tiba-tiba
menyambangi hidungku. Aroma itu menusuk halus. Mengalahkan aroma masakan
bandeng yang sedari tadi menguasai rongga pernafasanku. Ini bukan parfum Ibu.
Aku hafal aroma parfum Ibu. Bukan ini! Bukan!! Lalu, siapa teman perempuan
sekelasku yang memakai parfum dan berada di dekatku. Tak pelak lagi. Benar. Ini
aroma parfum dari tubuh Erviana.
Hmmm…. Wanginya menelusuri rongga penciumanku. Bersama oksigen yang
kuhirup, wangi parfum Erviana menjelajahi relung-relung hidung, tenggorokan,
hingga bersemayam lama bilik paru-paru. Sebelum keluar bersama karbondioksida
yang terhela, wangi parfum Erviana memahatkan prasasti di dinding jiwa kanakku;
“Inilah perempuan pertama yang memikat
hatiku.” Aku ingin lebih dekat dengan Erviana.
Tapi. Apakah itu nanti tidak melahirkan imbas tertentu pada keluargaku.
Apa Bapak berkenan jika anaknya yang masih kelas empat sekolah dasar sudah
belajar untuk mendekati lawan jenisnya?
Ketika tangan teman-teman sekelasku menadah di depan dada. Dan
bibir-bibir mereka mengamini doa yang dibacakan oleh Ustadz Achmadi. Ketika
Bapak dan Ibuku larut dalam rasa syukur kepada Tuhan Pencipta Alam atas
limpahan nikmat-Nya berupa hasil panen bandeng dan dibaginya dengan teman-teman
sekelasku. Ketika semua dalam ruangan itu tenggelam dalam kekushu’an doa, anganku dipenuhi pikiran
tentang kepantasan bagi diriku jika aku mendekati Erviana.
Bayangan teman perempuan berkulit putih bersih, berkepang dua, dan
memiliki aroma parfum yang meninggalkan prasasti di dinding jiwa kanakku untuk
pertama kali.
“Masih pengen dengar cerita nabi-nabi dan sahabatnya?” tanya Ustadz Yusuf
seusai mengajar mengaji. Teman-temanku serempak berseru mengiyakan. Biasanya,
setelah mengaji tafsir. Para ustadz berbagi cerita penuh hikmah, dari
nabi-nabi, sahabat-sahabat rasulullah, wali songo, hingga ulama’-ulama’ besar
yang menjadi penoreh madzab.
Sore itu, seperti sore-sore lainnya di masjid jami’. Kami mendengarkan dengan sungguh-sungguh mendengarkan cerita
penuh hikmah yang mengalir dari bibir Ustadz Yusuf. Sesekali, ada temanku yang
bertanya bagian cerita yang kurang dipahaminya. Ustadz Yusuf dengan sabar
menjelaskan kembali bagian cerita tersebut. Terkadang, beliau memberikan
kesempatan kepada teman yang lain untuk menerangkan kepada teman yang kurang
paham tersebut.
Bagian yang paling kusenangi adalah ketika Ustadz Yusuf mengajak
mengambil hikmah dari ceritanya kemudian dikontekstualisasikan dengan apa saja
yang ada dan terjadi di sekitar kita. Bagaimana seorang khalifah seperti Umar
Bin Khatab ra mematikan lampu rumahnya ketika anaknya sedang belajar. Bagaimana
seorang orang nomor satu di jazirah Arab kala itu memilih tidak menggunakan
fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, bahkan sekedar
lampu penerangan.
Ustadz Yusuf membandingkannya dengan seseorang yang tiba-tiba melintas
di jalan depan masjid jami’ dengan
menggunakan motor berplat merah. Andaikata memang benar pelintas jalan tadi
menggunakan motor berplat merahnya untuk keperluan kedinasan. Terpujilah
dirinya, karena meski waktu beranjak petang, dirinya tetap menjalankan tugas
yang diamanahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Namun, jika sebaliknya. Maka
pelintas jalan tersebut telah melakukan apa yang disebut sebagai korupsi. Para
Ustadz memang membimbing kami untuk peka dengan keadaan di sekitar kita.
Aku yang tak bosan-bosan untuk mencuri pandang ke arah Erviana melihat perubahan
di raut wajah ayunya. Wajah yang sedari tadi sumringah karena mendengarkan cerita yang disampaikan dengan
memikat oleh Ustadz Yusuf berubah mengerut. Tampaknya ada bagian dari cerita
Ustadz Yusuf yang mengenai hatinya. Aku tak tahu, apa itu.
Ketika Ustadz Yusuf mengakhiri pembelajaran sore itu dengan salam dan
bershalawat. Erviana tidak menyahutinya dengan penuh semangat. Kulihat Erviana
berdiri dengan lesu. Membetulkan kerudungnya perlahan. Dan berjalan menuju ke
rumahnya di belakang masjid jami’
seperti tanpa tenaga. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang kemudian semburat
ke segala arah dan berceloteh segar. Erviana memilih membisu dan melangkah
kaku.
Besar hasratku untuk berlari menghampirinya dan bertanya; “Ada apa?”
Berat rasanya melihat Erviana tampak dirundung duka. Tak kuhiraukan suara teman-teman
yang berdenging di telingaku untuk mengajak segera pulang karena jam tayang
film kartun favorit kami akan segera tiba. Tak kuhiraukan tangan salah satu
dari mereka yang mendarat di bahuku beberapa kali. Pandanganku masih mengarah
tuju pada Erviana yang mengambil sandalnya dan menghilang di balik tembok
samping masjid jami’.
Aku mengarahkan tubuhku. Langkah ku hentak.
Tapi sayup-sayup dari balik tembok masjid jami’ aku mendengar isak
tangis. Suara perempuan kecil. Erviana menangis? Langkah ku putus. Ku pasang
telinga benar-benar. Selain suara pecah tangis Erviana, telingaku menangkap
suara laki-laki dan perempuan dewasa yang tengah bertengkar.
“Apa rumah ini juga harus dijual, Pak?!!”
“Bu, terpaksa, kita harus ngontrak. Kalau bapak tidak bisa mengembalikan
uang itu dalam seminggu ini, bui, Bu. Bui!! Bapak harus nginap di tahanan
polres!!”
Aku terhenyak. Mendengarkan diam-diam apa yang menjadi rahasia orang
lain itu sangat tidak dianjurkan oleh keluargaku, juga Ustadz Yusuf, tapi
sesenggukan tangis Erviana menahan tubuhku agar tidak beranjak.
“Kalau ngontrak, Apa Ana harus pindah sekolah lagi, Pak?” suara
perempuan dewasa itu terdengar menyahut.
“Itu dipikir nanti, Bu. Sekarang kepalaku rasanya pening dengan solusi
yang ditawarkan orang ini, Bu. Karena jika berkas ini sudah dilimpahkan ke
kejaksaan, aku gak ketulungan. Ini
bisa jadi kasus besar, Bu!! Wartawan juga sudah menciumnya,”
“Lalu atasan sampeyan gimana?
Masak diam saja, wong dia lebih
banyak yang pakai uangnya,”
“Dia kan punya pondok pesantren, Bu! Polisi segan menyidiknya karena
sama saja dengan mengajak perang ormas agama. Kalau sudah terkait dengan
atribut agama, penegak hukum pun bisa mengkeret,”
suara Erviana masih terdengar, “Memang, aku yang dikambinghitamkan, Bu! Tapi
atasanku itu berjanji nanti jika Ana sudah besar, dia akan gunakan koneksinya
untuk masukkan Ana jadi PNS!”
“Persoalannya itu sekarang, Pak, bukan saat Ana sudah besar. Anak masih
kelas empat SD sudah dijanji-janjikan kursi PNS,”
“Bantu saya, Bu. Jangan tambah kepalaku jadi lebih pusing!!” suara itu
terdengar lebih tinggi.
Akhirnya aku beranjak menjauh dari dinding tembok masjid jami’ yang dekat dengan rumah Erviana. Kuikuti
langkah kaki kecil-kecil sebayaku di depan. Aku tak tahu, apakah nanti malam
aku bisa tidur dengan nyenyak. Bayangan wajah Erviana yang mendadak dirundung
duka tidak mampu segera kulipat sebentar dan kusimpan di laci hati.
“Walah, malam-malam kok memilih jadi patung,” suara istriku terdengar
lembut di dekat telinga. Bulu kudukku meninggikan badannya. “Masih mikir
bagaimana cara kita besok bertanya pada Putri?”
Anggukanku membelah tekanan di dadaku.
Bayangan Erviana kecil dengan kepang rambut dua masih berlari-lari kecil di
sudut mataku. Kepang rambutnya bergerak-gerak lucu. “Ma, doakan Papa, ya!” Istriku
memelukku dengan hangat. “Doakan Papa untuk tidak korupsi, ya!!” rasa pertama
ini juga mengingatkanku untuk belajar menjadi orang tua yang baik.
*********
Tepi Malam, 20122022
Anjrah
Lelono Broto, aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media
masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama. Karya tunggalnya
adalah Esem Ligan Randha Jombang (2010), Emak, Sayak, Lan Hem
Kothak-Kothak (2015), Nampan Pencakan (2017), Permintaan Hujan Jingga (2019), dan Kontra Diksi Laporan Terkini (2020), dan Garwaku Udan Lan Anakku
Mendung (2022). Terundang dalam agenda Kongres Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan
Indonesia III (2020). Karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Kontak FB: anjrahlelonobroto, dan Whatssapp: 085854274197.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313