ESTU PRAMOEDYA KISWARA (1)
Karya: Rilo Pambudi Putra Listiono
l
Estu Pramoedya Kiswara adalah seorang pemuda biasa yang hidup dalam kesederhanaan. Estu hidup di sebuah desa kecil bersama bapaknya yang bernama Joko Purnomo yang bekerja sebagai seorang guru dan ibunya bernama Siti Nur Laela yang bekerja sebagai penjahit. Hidupnya yang bahagia harus berubah ketika dia dan keluarganya pindah ke kota. Karena desa tempat tinggalnya mengalami pengalihan fungsi menjadi sebuah pabrik.
Cerita berawal ketika Estu yang baru lulus kuliah pulang ke desanya untuk menikmati waktu luangnya sebelum memulai kehidupan barunya yaitu bekerja. Dia benar-benar menikmati waktunya saat itu. Bermain bersama anak-anak kecil, membantu warga membersihkan desa, membantu bapaknya mengajar mengaji anak anak, dan masih banyak lagi kegiatan yang dilakukannya. Seakan-akan masa itu menjadi masa-masa terakhir di desa tempat kelahirannya.
Suatu sore setelah Estu dan bapaknya selesai mengajar mengaji di mushola. Estu mengobrol dengan bapaknya,
“Tu, habis ini mau kerja apa?” tanya bapak
“Apa aja Pak yang penting halal, kayak kata bapak dulu.”
“Iya halal, tapi minimal kamu tahu lah mau kerja apa?”
“Niatnya sih mau daftar jadi guru agama di kota pak, tapi Estu masih ragu.” ungkap Estu.
“Kalau memang mau jadi guru, yaudah kuatin niat kamu buat jadi guru. Kamu harus yakin sama pilihan kamu sendiri. Bapak cuma bisa dukung kamu selagi bapak bisa.”
“Iya pak, Estu bakal kuatin niat Estu.”
“Nah bagus itu, udah sekarang mending kamu Adzan,sudah masuk maghrib.” Suruh bapak
“Iya Pak.” Estu hanya menurut
Malam harinya setelah pulang dari mushola,Estu dan keluarganya berkumpul dirumah untuk sekedar makan malam bersama dan mengobrol santai.Suasana hangat begitu terasa di dalam keluarga kecil ini. Walaupun hidup dalam kesederhanaan namun keluarga ini selalu diikuti oleh kebahagiaan.
“Emang ya, masakan ibu nggak pernah gagal.” puji Estu
“Iya tu, masakan ibumu nggak pernah gagal.” imbuh bapak
“Bapak mah bisa aja.” ucap ibu sambil memukul pundak bapak
“Oh jadi cuma bapak aja nih, anaknya nggak.” canda ku
“Kamu mah gitu dari dulu, cemburuan.” kata ibu
“Namanya juga Estu Bu hahaha.”jawab Estu
Malam itu mungkin menjadi malam paling hangat yang pernah dirasakan Estu seumur hidupnya. Malam yang mungkin diidamkan setiap anak bersama keluarganya.
Malam hari, Estu duduk sendiri di teras depan rumahnya. Bapak ibu Estu sudah tidur. Estu menyendiri sambil menikmati kopi. Dia menguatkan niatnya untuk menjadi guru agama di kota, mengikuti jejak bapaknya. Estu memikirkan nasibnya jika dia benar-benar menjadi guru di kota. Dia begitu takut jika hidupnya tidak lagi bahagia seperti sekarang. Namun dia terus menguatkan niatnya agar tidak dikalahkan oleh rasa takut. Lama sekali Estu melamun, sampai pada akhirnya dia memilih untuk berhenti berpikir dan masuk ke dalam rumah untuk tidur.
Keesokan paginya, ketika Estu sedang menemani ibunya menjahit ada seorang warga yang datang memanggil Estu dan bapaknya.
“Assalamualaikum Mas Estu.” warga itu mengucap salam
“Waalaikumsalam pak, ada apa ya manggil saya?” tanyaku
“Anu, mas Estu sama bapaknya dipanggil ke rumah Pak Kades.”
“Ada urusan apa ya kok manggil saya sama bapak?” tanya Estu lagi dengan kebingungan
“Saya juga nggak tahu Mas, saya cuma disuruh manggil Mas sama bapaknya.” kata orang itu
“Tapi bapak masih di sekolah, nanti siang baru pulang.” jelas Estu
“Yaudah berarti mas Estu aja yang kesana, perwakilan.”
“Bentar ya Pak saya ngomong ke ibu dulu.”
“Oh iya mas silahkan saya tunggu.”
Setelah pamit ke ibu, Estu bersama orang tadi berjalan menuju rumah Pak Kades. Saat berjalan Estu terus dihantui kebingungan. Sebenarnya ada urusan apa pak RT memanggilnya? Tapi ya, Estu tidak akan mendapat jawabannya sebelum dia sampai ke rumah Pak Kepala Desa.
Sesampainya di rumah Pak Kades, sudah banyak warga yang bergerombol. Terlihat juga dua orang berpakaian rapi, seperti orang kota yang kerja di perkantoran sedang duduk di ruang tamu rumah Pak Kades. Baru saja sampai, Estu langsung disuruh masuk oleh warga lain. Sampai di dalam dipersilakan duduk oleh Pak Kades.
“Mas Estu, saya mau ngomong.” Ucap pak kades
“Iya Pak, mau ngomong apa?”
“Ini penting, sebenernya Pak Joko juga harus ada disini, tapi karena beliau masih mengajar maka saya minta Mas Estu yang mewakilkan. Silakan Pak.” Pak Kades mempersilakan orang kota tadi berbicara
“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih karena sudah mau hadir disini. Saya ingin menyampaikan tentang rencana proyek pembangunan pabrik di desa ini. Maka dari itu, saya ingin desa ini dikosongkan.Tapi tenang, saya bakal ganti rugi untuk ini.” jelas orang itu.
“Emangnya Bapak mau ganti rugi berapa?” tanya Estu
“500 juta per rumah, bagaimana?” jawab orang itu
Ini berat, batin Estu. Dia tidak berani memutuskan hal sebesar itu. Memutuskan hal yang memiliki risiko besar. Apalagi jika pilihannya sampai salah, dan membuat seluruh warga desa kesusahan. Sebenarnya di lubuk hati terdalamnya, Estu tidak rela jika desa tempat kelahirannya di gusur dan akan digunakan untuk membangun pabrik. Tapi desa ini bukan desa pribadi milik Estu, jadi apapun yang terjadi seluruh warga harus tahu dan setuju.
“Wah kalau ini saya nggak bisa memutuskan Pak, mending nanti Bapak nunggu bapak saya pulang ngajar.” ucapku
“ Ya sudah, bagaimana kalau ini dilanjutkan nanti pas bapak kamu sudah pulang bisa habis Ashar atau habis Maghrib.”ungkap orang kota itu
“Habis Ashar saja, nanti saya sama bapak kesini lagi.” kata Estu
Setelah selesai Estu berjalan pulang menuju rumah. Diperjalanan itu Estu terlihat sangat lesu seperti terbebani oleh masalah tadi. Estu memikirkan apakah uang ganti rugi untuk warga cukup untuk membangun kehidupan baru di kota?
Estu sampai di depan rumah, dia membuka pintu dengan raut muka yang lesu.
“Kamu kenapa tu? Pak kades tadi ngomong apa ke kamu?” tanya ibu
“Tadi ada orang kota dateng Bu, katanya mau bikin pabrik disini. Tadi Estu disuruh mutusin setuju apa nggak.”
“Terus kamu jawab apa tTu?”
“Estu nggak jawab apa-apa bu. Estu nggak berani mutusin hal sebesar itu.Tadi Cuma bilang ke Pak Kades, mendingan nunggu bapak saja. Nanti habis Ashar orang kota itu ngajak ketemu lagi. Estu disuruh disuruh dateng sama bapak.” jawab Estu seadanya
“Ya sudah,nanti kamu ngomong ke bapak.”
“ Iya Bu.”
Selesai bicara dengan ibu,Estu menuju kamarnya untuk merebahkan diri sambil terus memikirkan masalah tadi.
Sore hari tiba, Estu dan bapaknya berjalan menuju rumah Pak kades. Estu sudah menceritakan semua masalah itu ke bapaknya setelah bapaknya pulang mengajar siang tadi. Bapak sudah mengerti semuanya dan sepertinya juga sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Sampai di rumah Pak Kades sudah ada warga yang berkumpul menunggu Estu dan bapaknya datang, dan langsung dipersilahkan masuk oleh warga.
“Silahkan duduk Pak Joko dan Estu.” sambut Pak Kades
“Iya Pak, terimakasih.” ucap Estu
“Baik, saya akan mengulangi perkataan saya tadi pagi. Saya berencana akan membangun sebuah pabrik di desa ini karena lokasinya yang sangat strategis. Akan saya ganti satu rumah seharga juta.” ungkap salah satu orang kota
“Oke. Tapi bagaimana jika para warga tidak setuju dengan pembangunan ini?” tanya bapak
“Bagaimana mungkin merka tidak setuju? 500 juta sudah lebih dari cukup untuk membangun kehidupan baru di kota.” kata orang kota itu
“Benar itu Pak, kami sebagai warga sudah capek hidup di desa dan memulai hidup baru di kota. Kami menyetujui rencana pembangunan pabrik itu.” ucap salah satu warga
Bapal terlihat bingung sekaligus pasrah. Dengan pelan bapak berbisik kepada Estu,
“Tu, kita harus mengalah. Semua warga setuju dengan rencana ini, kita tidak bisa menentangnya.” bisik bapak kepada Estu
“Iya Pak, Estu juga udah pasrah.” balas Estu
“Oke-oke, karena semua warga sudah setuju saya tidak bisa menentang lagi. Mau tidak mau saya juga harus setuju dengan rencana ini.” ucap bapak kepada warga
“ Nah bagus itu bagus.” teriak seluruh warga
“Karena semua sudah setuju, maka sekarang,semua warga harap menandatangani surat perjanjian ini, dan untuk uang,akan kami kirim paling lama tiga hari ke depan. Syaratnya dalam waktu satu minggu desa ini harus sudah kosong.” ucap orang kota
Setelah pembicaraan selesai semua warga berantrian menandatangani surat perjanjian. Entah mereka membacanya atau tidak, namun raut wajah mereka terlihat senang, mungkin karena uang 500 juta itu. Bapak juga ikut mengantri untuk menandatangani surat tersebut.
Kini Estu berjalan sendiri menuju rumah. Dalam perjalanan itu dia berpikir, apakah memang ini takdirnya untuk hidup di kota? Mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya? Sampai di rumah, Estu hanya diam tanpa satu patah kata pun.
“Tu, kenapa muka mu kusut begitu? Gimana tadi kata Pak kades? Oiya,bapak mana?” ucap ibu saat Estu sampai dirumah
“Assalamualaikum .” bapak datang
“Itu bapak udah dateng bu, tanya aja ke bapak.” ucap Estu sambil berjalan ke kamar
Saat itu memang Estu seperti malas berbicara dan tidak mau diganggu. Mungkin hati dan pikirannya sedang tidak karuan.
“Sudah biarkan saja Bu. Semua warga desa setuju dengan rencana pembangunan pabrik disini, jadi bapak mau nggak mau juga harus setuju. Uang ganti rugi dikirim tiga hari lagi. Mulai hari ini kita siap-siap buat pindah.” ungkap bapak
“Ya Allah ternyata, ya sudah kalau begitu nanti kalau uangnya udah dikirim kita pindah ke kota. Sebenernya ibu juga nggak rela kalau desa kita di gusur, tapi mau gimana lagi.”
“Iya Bu kita cuma bisa ngalah dan sabar. Sekarang bapak cuma kasian sama Estu, dia kelihatan berat banget ninggalin rumah ini.” tutur bapak
Hari semakin larut,suasana semakin sunyi. Estu tergeletak sendirian di kasurnya. Dia sibuk bergelut dengan pikirannya, antara harus senang atau sedih. Tapi lama kelamaan Estu sadar bahwa hidup memang berjalan. Dan setap perjalanan pasti memiliki rintangan. Sekarang Estu sedang menghadapi satu dari sekian banyak rintangan di hidupnya. Setelah mulai sadar dan berdamai dengan keadaan, Estu menghentikan pikirannya dan beranjak untuk tidur.
*****
Bersambung.
Rilo Pambudi Putra Listiono, anak muda yang mencoba untuk menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. Lahir di Madiun, dari keluarga sederhana. Anak muda yang katanya seorang penggiat kegiatan alam ini tak suka dengan hiruk pikuk kota. Ia lebih suka menyendiri di tempat sepi,daripada pergi ke kota untuk menyaksikan ramainya orang berjalan kesana kemari. Baginya,alam, musik dan tulisan adalah suatu keindahan
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313