005

header ads

SEBUAH HARI DI WAEREBO | Puisi Yuliani Kumudaswari

 


(1)

SIAN

Yuliani Kumudaswari


Kau dan aku tak bisa mengatakannya sebagai biru,  

serupa melankoli yang mengolok-olok

atau perasaan sedih yang keluar dari secangkir kopi jahe 

yang tak lagi mengepulkan asap

bukan pula rasa masygul tersebab dering telepon 

yang tak beranjak dari nada dasar do tulalit

Mungkin, kau dan aku 

bisa mengumpamakannya 

sebagai penantian yang tak kunjung tiba 

serupa menanti setangkai jepun dari ranting kemuning mungil

dan bukan pilu biru yang digumuli sebatang ilalang  

yang bertahan di gempuran hujan,  sungguh bukan 


kamu tidak akan memahaminya 


Kau dan aku tidak bisa pula menyebutnya sebagai hijau,  

seperti hamparan pengharapan yang menggebu

di sabana gurun-gurun tandus

dan menggaungkan bahwa bulan lebih bersinar 

atau matahari lebih berpijar di situ

  

Sian,  bukanlah hijau rumpun-rumpun melati 

yang menguar manis 

di perjamuan yang tak mengenal tuba

bukan hijau padang tebu 

yang mengulum semangat di bibir bergincu 


entahlah, apakah engkau paham  


sian hanyalah sian 

sepulas warna

sebaris bias hijau biru 

yang tertambat di serumpun bahasa


Yogyakarta, 2023


(2)

SEBUAH HARI DI WAEREBO

Yuliani Kumudaswari 


pukullah kentongan 

tiga pukulan saja

yang bergaung sepanjang lembah

penanda hadirmu di desa atas awan


hutan terlewati di balik punggung

ketika tanah surgawi itu terhampar di mukamu

kabut turun di puncak kerucut tujuh Mbaru niang

berlatar langit pucat serupa warna gulali


“selamat datang, mari masuklah” 

Tetua adat berselempang tenun

duduk bersila di tengah Lutut

dan kau dilingkupi kesahajaan nan agung


malam turun begitu saja bersama gelap

tak ada cahaya selain teplok di Mbaru niang 

kehangatan di bawah lindungan lontar dan jerami 

sementara dingin menggigit tiap pori di sebalik pintu


langit jernih, hening nan lindap 

hanya suara jangkrik, aroma rumput basah

dan dirimu yang terpaku di bawah berjuta bintang

seakan jemarimu mampu menyentuh galaksi


secangkir kopi di Wae Rebo 

dan pagi yang datang bersama embun 

sungguh membekas, sebuah hari di desa atas awan


Yogyakarta, 2023





(3)

DI JEMBATAN GONDOLAYU 

Yuliani Kumudaswari


berdiri diatas jembatan Gondolayu

rumah-rumah sepanjang tepi

mematut diri di bawah matahari 

yang serupa terburu-buru 

menarik cahayanya yang ruah 

wajah Kali Code meredup 

riak air memantulkan bias yang tersisa 


di tubuh Kali Code 

anak-anak kaum marjinal 

membangun istana mimpi 

menjadi kapiten pun saudagar rempah 

melarung di atas perahu kertas yang menghilir

hanyut menyusur alunan arus tidak deras

yang mengalir dari Boyong hingga Kali Opak 


di Gondolayu kehidupan tak tergesa-gesa 

gang-gang sisi Kali Code tetap sama 

terus berjuang berseka memupus kumuh

tembok cerah dikelir sewarna pelangi  

jejeran lampu merkuri dan bangku kayu

serupa boulevard kaum pedestrian

bertahan di sisi kali yang terkadang berisi lahar Merapi


di jembatan Gondolayu 

seorang anak menghanyutkan perahu kertas 

“berlayarlah yang jauh, kutunggu di Sayidan” katanya 

matahari terburu-buru menarik sinarnya 

riak memantulkan bias cahaya  tersisa 

serupa lelatu yang berpendar 

mencatat harap dan mimpi seorang anak Kali Code


Yogyakarta, 2023


Yuliani Kumudaswari, perempuan paruh baya kelahiran Bandung. Saat ini, menikmati masa pensiun dan tinggal di Yogyakarta bersama suami, dua orang putri dan tiga ekor kucing. 

Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa media atau tergabung di antologi bersama. Antologi puisi tunggal terbaru, Tunjung Hati (Tonggak Pustaka, Yogyakarta 2023) dan kumpulan cerpen Gadis Dalam Mural (Teras Budaya, Jakarta)
















Posting Komentar

0 Komentar