005

header ads

HIDUP DARI POHON SAWO


Cerpen Fileski

[ Pernah dimuat Jawa Pos, Radar Bojonegoro. Minggu 7 Januari 2024] 



Terdengar suara seseorang sedang menimbang buah sawo dan memasukkan kedalam wadah. Aku mengintip dari sela-sela lubang kecil bambu gedek, sekat ruang yang terbuat dari anyaman bambu. Begitulah rumahku, tidak ada tembok, setiap ruang hanya ada sekat bambu. Dari lubang itu tampak ibu sedang sibuk di dapur, membersihkan buah sawo, ditemani nyala api dari kayu dalam tungku. Padahal adzan subuh belum berkumandang, ia selalu bangu dini hari. Seperti orang berpuasa, bagi keluarga miskin seperti kami, setiap hari adalah puasa. 


Untunglah kami masih punya rumah, yang meneduhkan dari terik dan hujan. Untunglah kami masih punya ladang, yang bisa menghasilkan jagung dan sawo, Tuhan masih baik, menitipkan warisan dari mendiang ayah, yang meninggalkan kami untuk selamanya, ketika aku masih balita. 


Dari ladang ini, kami bisa hidup. Ada pohon buah sawo yang sangat besar. Menurut cerita ibu, pohon ini sudah ada sejak mbahnya mbah. Diwariskan turun temurun, sampai ke ayahku. Setiap pagi ibu membawa buah sawo untuk dijual ke pasar. Malam harinya tetap berjualan sawo di alun-alun. Bisa dikatakan aku dan ibuku menggantungkan hidup pada pohon sawo ini. Buahnya selalu ada sepanjang musim. Meskipun dipetik, tak pernah habis-habis. Seakan buahnya kembali penuh setiap melewati satu malam. Ada yang bilang kalau pohon ini pohon keramat, yang sudah ada sejak zaman Majapahit. Aku tak terlalu memikirkannya, yang terpenting aku tetap bisa makan dan sekolah dari hasil buahnya.   


Aku selalu ikut serta menemani ibu berjualan sawo, sebab aku anak satu-satunya. Namaku Nina, seorang remaja yang kini sekolah di salah satu SMA terbaik di kota ini. Meskipun disibukkan untuk membantu ibu, aku tak pernah ketinggalan materi pelajaran. Kemanapun aku pergi, selalu membawa tas berisi buku-buku, untuk dibaca setiap kali ada waktu jeda. 


Aku tak begitu mengenal ayah, karena ketika ia masih ada, aku belum tau apa-apa. Yang aku ingat dari dia, adalah senyumnya. Ia sepertinya orang yang sabar, ibu sering bercerita, kalau dulu aku sering membukakan pintu ketika ayah pulang kerja, saat itu usiaku hampir lima tahun. Kata ibu, aku belum bisa tidur ketika ayah belum pulang. Selalu bertanya, ayah dimana, dan baru terlelap ketika ia mulai menembang dhandanggula


Jujur aku sangat kekurangan sentuhan kasih sayang dari lelaki. Kasih sayang seorang ayah, tak lama kudapatkan. Semenjak ayah meninggal, ibu tak menikah lagi sampai ujung usianya. Baginya, cinta ibu pada ayah tak bakal terganti oleh lelaki manapun. Di usia remaja, aku baru mengenal seorang pria. Ia baik, anaknya pintar, kami sering diskusi dan belajar bersama. Tak jarang kami berdebat, namun itu justru membuat pikiran kami semakin tumbuh dan berkembang. Aku menemukan lawan yang sepadan dalam hal adu pemikiran. 


Semakin aku dekat dengannya, semakin aku merasa ada yang kurang, bila hariku tak berbincang dengannya. Saat dia dekat, aku merasakan hangat, andaikan tak ada orang lain, mungkin aku langsung bersandar di peluknya. Perasaan itu aku pendam, entah sampai kapan. Benar-benar aku belum pernah merasakan hal demikian, hanya kepada Yudi aku merasakan getaran yang berbeda, tidak dengan lelaki lainnya. Ya, lelaki itu bernama Yudi, ia membuat duniaku terasa berbeda. 


Suatu ketika kami bertengkar. Mungkin masalah ini sederhana baginya, tapi entah mengapa, bagiku itu tak sederhana. Hanya karena ia hilang tanpa kabar, padahal aku mencemaskannya. Biasanya setiap habis magrib, kami belajar bersama. Di pinggiran trotoar alun-alun kota, sambil aku menemani ibu berjualan buah sawo dan jagung rebus. Malam itu ia tidak datang. Kalau dia ada kesibukan, mestinya pulang sekolah tadi ia kasih kabar. 


Besoknya aku samperin dia di kelas. Ia menjelaskan, ternyata ia sedang sibuk latihan sama teman-teman futsal. Mau ada pertandingan, katanya. Rasa jengkelku semalam masih ada, aku bilang padanya. Aku tak minta banyak, aku hanya ingin dikasih kabar, itu aja. Dia malah ikut marah juga, katanya aku ngatur-ngatur, padahal bukan siapa-siapanya. Pacar juga bukan, karena tidak pernah jadian.


Setelah kejadian itu, aku cukup tahu saja. Ternyata aku bukan siapa-siapa baginya, tak ubahnya seperti teman biasa. Aku mulai menjaga jarak dengannya. Dua minggu kami tak komunikasi. Ibu pun sering menanyakan, gimana kabarnya Yudi. 


“Biasanya kalian belajar kelompok, tumben dia tak pernah kelihatan. Apa kalian lagi bertengkar?” ibu menerka, sedangkan aku diam saja, tak menjawab apa-apa. Sepertinya ibu paham maksudnya, anaknya sudah remaja, wajar ketika mengalami pertengkaran dengan teman spesialnya. 


“Nduk, kamu harus jadi anak yang tegar, jangan semua hal mudah kamu masukkan ke hati, karena tidak semua ucapan itu juga diucapkan dengan hati. Sering kali saat emosi, seseorang bisa spontan bicara tanpa kesengajaan.” ibu menjelaskan berdasarkan pengalaman. 


Hampir tiga tahun kami jalani kebersamaan, semua sirna hanya karena satu kalimat yang diucapkannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku bukan pacarnya. Kalimat itu yang terus aku ingat, agar aku bisa melupakannya. 


*****


Enam tahun berlalu, kini aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan. Sesuai apa yang aku cita-citakan sejak dulu, menjadi pegawai. Setelah aku menyelesaikan kuliahku, aku mencoba untuk mendaftar CPNS. Setelah melalui berbagai tes, mulai dari SKD, SKB, sampai pemberkasan akhir. Alhamdulillah aku diterima menjadi pegawai negeri yang ditempatkan di kota kelahiranku. Kota ini banyak kenangan, kota ini adalah kota perjuangan. Pulang dari kota besar, rasanya kembali ke sini seperti menjemput kenangan. Teringat satu nama, Yudi. Dirimu sekarang dimana, mungkin saja sudah menikah, atau bahkan sudah punya banyak anak.


Satu tahun aku bekerja di sini, ada kabar yang mengejutkan. Melihat di papan pengumuman yang dipampang di halaman kantor. Daftar nama-nama yang diterima ASN jalur PPPK yang diadakan pemerintah kota. Sebuah nama yang tak asing bagiku, Yudi Sastradirja.  Benarkah itu dia, atau hanya kesamaan nama. 


Berusaha aku mencari informasi tentangnya. Ternyata benar itu Yudi temanku ketika SMA. Kudapatkan kontaknya dengan bertanya ke teman alumni SMA yang aktif di grup whatsapp alumni SMA. Aku ucapkan selamat padanya lewat pesan WA. 


“Assalamualaikum,  selamat ya kamu diterima sebagai ASN di pemkot” aku menyapa. 


“Maaf siapa ya ini? tidak ada tersimpan kontakmu di HP ku.”


“Aku Nina, seseorang yang dulu sering kamu temani belajar bersama, di alun-alun kota.” 


Dia mulai ingat tentang aku, dan kami pun ngobrol panjang kali lebar, saling menanyakan kabar. Serasa mengulang kembali waktu. Bedanya, kami sekarang bukan lagi anak SMA yang gampang emosi. Perjalanan hidup membuat kami dewasa, dan sangat hati-hati dalam memilih kata, agar tak melukai hati antara satu dan lainnya. 


“Yudi, istrimu orang mana? Pasti dia sangat cantik” kalimat itu tak kuasa ingin ku lontarkan, daripada aku terlalu dalam berharap, ternyata dia sudah punya pasangan.  


“Emmm, mungkin orang asli sini saja.” 


“Loh kok mungkin, gak jelas banget kamu tuh!” responku agak jengkel dengan jawaban tanggung. 


“Ya mungkin, kan aku belum nikah, heheeee. Jangan-jangan aku ditakdirkan nikah sama kamu.” dengan entengnya Yudi menjawab dengan gurauan, mengucap sebuah pernyataan yang serius. 


Ia tak berubah, tetap saja konyol di saat membahas hal serius. Tapi aku lega, dia belum jadi suaminya wanita lain. Jujur saja, aku masih ada rasa sama dia, meskipun ada trauma yang masih membekas di dada, ucapannya ketika itu. 


Seiring perjalanan waktu, sepertinya dia sudah banyak belajar dari pengalaman. Kita tidak bisa menilai seseorang dari dirinya di masa lalu, karena manusia bukan seperti robot yang statis, manusia selalu berkembang sesuai keadaan dan lingkungan. Semoga saja ia tak lagi suka mengucapkan kalimat-kalimat kasar ketika sedang marah. 


Tiga bulan setelah kami bersama, semakin menambah rasa sayangku padanya. Benar, ia semakin dewasa. Tak pernah ia mengucapkan kata yang membuatku marah. Malah aku yang masih sering memancingnya dengan kalimat yang memantik pertengkaran, tapi Yudi menanggapi dengan landai, tak tersulut. Terkadang aku terlintas pikiran-pikiran yang membuatku cemburu, misalnya kepikiran dia didekati wanita lain di kantornya. Sebab aku sayang dia, tak ingin aku kehilangan dia lagi. Aku yakin dia juga sayang aku, buktinya sampai sekarang dia belum menikah.


Ketika malam tiba, kami sering ngopi bersama. Menghabiskan waktu berdua, sungguh sangat nikmat rasanya. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, ternyata sudah tiga bulan kami jalan berdua. Malam ini aku menunggunya di tempat biasa. Dua gelas kopi sudah aku teguk habis, ia belum juga datang. Tidak biasanya ia telat selama ini. Aku kirim pesan WA, hanya centang satu. Rasanya ia tak akan datang, ini sudah hampir tengah malam, aku pulang saja. 


Pukul 23.45 aku sudah sampai rumah, kulihat WA. Sudah centang dua berwarna biru, artinya ia sudah membaca pesanku. Langsung saja aku telpon dia. 


“Yudi, kamu kemana saja? aku menunggumu tiga jam di kedai yang biasanya!”


“Nina maaf, mulai hari ini jangan lagi hubungi aku. Keluargaku tidak setuju dengan hubungan kita, aku sudah dijodohkan dengan wanita lainnya.” 


“Sudah tidak jamannya perjodohan, aku tau kamu sayang aku, pun aku juga sangat sayang kamu. Jangan ingkari kata hatimu!” aku berusaha meyakinkan.


“Sudah cukup Nina, hubungan kita tidak bisa dilanjutkan, kamu itu hanya anak kampung, sedangkan aku keturunan ningrat dari keluarga Sastradirja. Tidak mungkin aku bisa menikah sama kamu yang tidak jelas silsilah keluarganya” bentak Yudi dan langsung menutup telponnya. 


Ternyata aku salah, dia tidak berubah. Sekali lagi dia mengucapkan kalimat yang sangat aku benci, sombong sekali kamu Yudi. Keluargamu boleh kaya, tapi kamu dan aku sama-sama abdi negara. Hari ini sudah tidak zamannya membicarakan kasta. Memang kita tidak ditakdirkan bersama. Aku harus bangkit, cukup dua kali dia mencampakkan aku. Tidak ada yang ketiga kalinya. 


*****


Satu bulan setelah kami putus hubungan via telepon. Aku mendapat kabar dari seorang teman, ia mengabarkan bahwa Yudhi meninggal, disebabkan penyakit kanker. Yudi menitipkan surat, bertuliskan: Untuk Nina, yang tersayang. Aku ingin kamu bahagia, maafkan aku yang tak bisa menemanimu lebih lama. I love U. 


Kata temanku, penyakit itu telat diketahui, sehingga dokter tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkan nyawanya. Andaikan sakitnya bisa diketahui tiga bulan sebelumnya, Yudi masih bisa diselamatkan. Kini aku paham kenapa di telepon dia bicara seperti itu. Ia ingin aku melupakannya, agar aku tak seperti ibuku yang selamanya setia dengan satu pria. Ia tak ingin aku menderita karena cinta. Ia ingin aku menikah dengan lelaki yang sempurna, yang bisa menemani hidupku sampai tua. 


Menangis aku sejadi-jadinya, tak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa Tuhan setega ini. Aku ditinggalkan orang-orang yang aku sayangi. Rasanya aku tak sanggup lagi hidup sendiri. Ibu aku kangen padamu. Sungguh malang nasib anakmu. Dalam katarsis tangis yang memuncak, aku melihat bayangan ibu. Di sampingnya ada seorang lelaki, sepertinya itu ayah. 


“Nina, jangan kamu bersedih anakku. Kamu anak yang hebat, kamu bisa menjaga dan tidak menjual tanah warisan leluhur kita. Di tanah warisan itu, ada pohon ajaib. Ucapkan kalimat mantra ini sebanyak tiga kali tepat menghadap pohon sawo itu. Itu akan membuka portal waktu, dan kamu bisa menemui seseorang di tanggal dan waktu yang kamu inginkan. Kālasya īśvaraḥ bhagavān, yang artinya Gusti sang pemilik waktu.”  (*)



Posting Komentar

0 Komentar