005

header ads

PEREMPUAN YANG DATANG KETIKA HUJAN


[Pernah dimuat koran Suara Merdeka 11 Januari 2024] 


Cerpen Fileski



Aku menatap jendela. Hujan mulai terdengar ketika butir-butirnya membentur genting. Seperti biasa, sebelum hujan datang selalu dedaunan kering itu bertamu di kamarku. Seolah dedaunan itu seperti perantau yang hendak berteduh dari basah. Sedangkan dedaunan yang masih hijau, sedang asyik menari bersama angin. Hujan membasahi hampir seluruh helainya. Kemudian wangi tanah menyelinap dari sela-sela pintu dan jendela, menghantarkan nyanyian kedamaian. Sesekali langit menabuh bedug, membuat gemuruh. 


Sudah 13 tahun berlalu. Semanjak terakhir kali aku bertemu dengannya. Ketika itu aku dan dia berpisah, disaksikan hujan. Sampai sekarang hujan masih saja menyaksikan aku, yang sendiri menunggu. Tiga puluh lima tahun usiaku, sudah tak bisa dikatakan muda. Namun rasanya baru kemarin aku memeluknya. 


Hujan selalu datang menyampaikan pesan. Berupa nyanyian kerinduan. Dari jendela ini, aku selalu melihatnya, sedang menari bersama hujan. Senyumnya ketika menatapku, masih sama seperti tiga belas tahun yang lalu. Tatapan matanya yang lugu, terpancar ketulusan dan keikhlasan menunggu. 


Pernah aku mencoba mengejarnya, berlari ke arahnya. Hanya basah kuyup yang kudapatkan. Menuju ke titik yang kulihat ketika ia menari. Hanya gigil dan sepi yang kudapati. Berteriak, mengapa kau tinggalkan aku sendiri. Semenjak itu aku tak mengejarnya lagi, kulihat saja dari sini. Dari kamar ini. Setidaknya aku bisa melihat senyumnya, dan tatapan matanya ketika wajahnya menghadap ke arahku. Sampai hujan reda, seperti pertunjukan opera yang diakhiri lengkung pelangi dan sorot lampu senja. 


Aku mengenalnya ketika masih remaja. Berawal dari ekskul Pramuka. Satu kegiatan yang paling tidak aku suka, namun dengan terpaksa aku ikuti juga sebab wajib diikuti semua siswa. Dari situ aku semakin mengenal sosoknya, kebaikan hatinya. Namanya Jasmin. Perempuan pertama yang mengajariku bahasa cinta.


Tiga tahun aku menjadi pemuja rahasia. Tak pernah aku katakan tentang perasaanku kepadanya. Satu karena aku tak berdaya, tak ada nyali sama sekali untuk menatap wajahnya, apalagi mengatakan rasa secara langsung di hadapannya. Kupendam saja. Alasan yang kedua karena ia sudah mempunyai tambatan jiwa. Sosok lelaki yang kemana-mana selalu bersamanya, di kantin sekolah hingga pulang bersama. Aku ini cuma apa, tak masuk hitungan di daftar orang penting dalam kehidupannya. 


Menginjak ke masa mahasiswa, kami sama sama kuliah di Surabaya. Kota kenangan aku menyebutnya. Kota kenangan, ternyata bukan hanya kalimat yang ada di lirik lagu Surabaya, tapi juga kisah yang kualami secara nyata. 


Perantauan membuat seseorang akan mencari teman yang seperjuangan dari asal yang sama. Kesamaan kota membuat kami sering menghabiskan waktu bersama. Di sela-sela waktu jeda sibuknya tugas kuliah dan kegiatan mahasiswa. Sekalipun itu hampir tengah malam, walau sekedar untuk secangkir kopi dan obrolan ringan di warung pinggir jalan dekat kosan. Aku sempatkan menemaninya, ketika ia memanggilku di jam kapanpun juga. 


Semakin hari, kami semakin dekat. Walau tanpa ikrar kejelasan, tampaknya hanya sebatas teman. Esok akan bagaimana, tak pernah kupikirkan, yang aku tau, sampai detik ini aku masih menemaninya, melihat senyumnya dan tatapan matanya yang lugu. 


“Kita ini sebagai apa?” tiba-tiba mulutku bertanya padanya


“Apa bagaimana?” ia menjawab dengan rasa heran.


“Ah, lupakan, mungkin aku sedang tidak enak badan” responku ngaco.


Suatu hari ia bercerita. Lelaki itu akan melamarnya, dia anak dari Kiai yang ada di desanya. Akan melamarnya ketika Jasmin sudah lulus kuliahnya. Tak perlu menunggu cari kerja, begitu sarjana, lelaki itu langsung melamarnya. 


Mendengar yang disampaikan, seakan hujan badai tiba-tiba menerjang jantungku. Tahun depan, Jasmin akan lulus tahun depan. Tinggal beberapa bulan saja ia bersamaku di kota kenangan. Sedangkan aku, lelaki yang tak bisa diharapkan. Jangankan untuk berani menyatakan lamaran setelah mendapat pekerjaan, Lulus kuliah saja aku tak tau bisa kapan. 


Pria yang sudah matang, dewasa, usianya lebih tua, dan berpenghasilan. Memang cocok untuk bersanding dengannya. Dengan aku, mungkin ia akan menjadi perempuan yang menderita. Seniman, yang hidupnya tanpa kejelasan. Memilikinya hanya akan merusak cinta yang sudah dianugerahkan. 


Mendengar ia akan lamaran setelah kelulusan, aku hanya bisa pasrah pada keadaan. Bagai lelaki yang setia sebagai abdinya. Hari-hari menjelang perpisahan aku jalani penuh kesabaran. Bersamanya, menemaninya, jalan-jalan ke Suramadu, museum kapal selam, nonton film di Tunjungan, dan berbagai destinasi menarik di kota kenangan. 


Hingga tiba di hari perpisahan, ia katakan ketika kami usai nonton pertunjukan di Taman Budaya. Ia dijemput keluarganya. Malam itu gerimis. Malam perpisahan. Dari kejauhan aku menatapnya berjalan, menuju masa depan. Ia masuk ke mobil tanpa sedikitpun melihat ke arahku lagi, seolah ia ingin aku melupakan. Aku hanya bisa berdiri membisu, sepertinya aku meneteskan air mata. Hujan membuat air mataku tak kelihatan. 


Sudah 13 tahun berlalu. Semenjak saat itu, aku tak bertemu dengannya lagi. Tak kudengar kabar apapun tentangnya, nomor teleponnya yang dulu juga sudah tidak aktif lagi. Ah, buat apa aku mencarinya, toh dia sudah jadi istrinya lelaki lain. Namun mengapa ikatan batinku masih saja begitu kuat. Seolah masih ada harapan untuk aku dan dia bersama lagi. 


Sebagai lelaki usia 35, ini waktu paling subur-suburnya. Ibaratnya musim kawin bagi seorang pria. Berbagai cara kulakukan, untuk melupakan hasratku. Katanya, olahraga bisa membuat seorang pria bisa mengalihkan hasrat seksualnya. Sudah aku lakukan, tapi tak begitu berdampak juga.  Malah aku semakin fit, semakin bugar, siap tempur. 


Aku teringat sebuah nasihat, segera menikahlah ketika sudah waktunya, bahkan haram hukumnya ketika ditunda. Ketika seorang lelaki sudah punya pekerjaan, dan dirasa sudah bisa menghidupi rumah tangga. Aku harus putar otak, bagaimana caranya aku bisa melupakan kenangan masa lalu dan segera mendapatkan wanita yang baru, di hatiku. 


Aplikasi kencan, aku pilih sebagai solusi. Aku instal di ponselku, aku lihat berbagai jenis wanita cantik dan seksi. Sepertinya wanita seperti itu tak cocok buatku, bukan aku tak suka dengan keindahan tubuh wanita. Biasanya ngopeni wanita jenis begitu bukan membuat hidup damai dan nyaman, tapi malah sering terjadi keributan. 


Tapi aku tak menyerah, dari sekian banyak wanita, pasti bisa menemukan satu yang siap nikah, yang juga punya niat serius seperti aku untuk segera punya rumah tangga, dan membina masa depan bersama. 


“Hai, salam kenal, maaf aku mengganggumu, kulihat jarak kita hanya 100 meter, maukah kamu berteman denganku?” tanyaku.


“Maaf mas, hanya menerima BO” jawabnya singkat. 


“Maaf mbak, BO itu apa ya?” aku benar-benar tidak paham. Kemudian aku diblokirnya. 


Tak menyerah sampai di situ, aku masih berusaha. Kucari istilah BO di google, ternyata artinya boking order, yang artinya wanita BO di aplikasi kencan seperti itu menyediakan jasa layanan plus-plus. “Wah, ternyata mbaknya sedang sibuk berjualan, pantesan tidak ada waktu buat meladeni ngobrol denganku.”


“Dari sekian banyak wanita di aplikasi itu, pasti ada satu dua yang tidak jualan” yakinku dalam hati. 


Kucoba lagi untuk chat wanita yang lainnya. “Hai.”


“Hai juga.” wanita itu menjawab.


“Salam kenal ya mbak.” 


“Main santai, satu jam rasa pacar” jawab wanita itu. 


Pikirku, ini pasti wanita yang jualan lagi. Tapi aku penasaran, apa benar dia bisa memperlakukan aku seperti pacarnya beneran. Aku bilang padanya untuk segera menuju lokasinya. Kuparkir motorku di lokasi yang dekat dengan posisinya. Aku tengok kanan dan kiri, terlihat beberapa wanita menunggu. Aku tidak tau dia yang mana, lalu aku chat dia. 


“Mbaknya yang mana ya? Aku duduk di bangku taman, pakai baju hijau, celana hitam, pakai topi abu-abu” 


Tak lama kemudian ada seorang wanita datang mendekatiku. Ia sangat sexy, memakai baju ketat berwarna merah. Ketika ia duduk, tak berani aku melihat ke bawah, tepatnya ke arah pahanya, sebab tadi dari kejauhan roknya begitu pendek. 


“Jadi gimana, masuk sekarang?” tanya dia tiba-tiba. 


“Bentar mbak, santai dulu.” Aku mengajaknya untuk ngobrol. Berkenalan lebih dalam, tentang asalnya dari mana, sudah berapa lama ia buka jasa. Namun ia tidak punya banyak waktu. Bisa saja aku membeli waktunya, namun aku khawatir dengan diriku. Jujur aku lelaki normal, nanti kalau sudah masuk ke room, gimana jika aku tak bisa mengendalikan diri.


“Sorry, aku tinggal ya. Sudah ada panggilan.” ia berlalu pergi tanpa salaman. 


Sudah puluhan cewek aku hubungi. Semua sama, niatnya jualan. Sepertinya sudah tak mungkin lagi aku mendapatkan calon istri dari aplikasi ini. Aku menyerah, mungkin aku ditakdirkan untuk hidup sendirian, selamanya memeluk kenangan yang tak bisa kulupakan. Aku telusuri Surabaya, ku ikuti jejak-jejaknya yang masih terasa di dada. Kunikmati kenangan di setiap tempat ketika aku dan dia masih bersama. Gerimis pun memaksaku untuk menutup mata. 


Hujan semakin deras, aku berlari dan berteduh. Duduk di bangku taman yang tak terkena hujan. Sesaat kemudian, ada seorang wanita berlari ke arahku. Ia mencari tempat berteduh, duduk di bangku yang ada di depanku. Aku melihat wajahnya, tak begitu jelas karena memakai masker. Aku cuek saja, walau sebenarnya sangat ingin menyapa. Feelingku ia wanita yang cantik, terlihat dari kedua matanya.


Sambil memangkas waktu, menunggu hujan reda. Aku buka aplikasi, terlihat ada orang dengan jarak yang begitu dekat, 2 meter. Fotonya sangat mirip dengan mantanku. Akun itu bernama Jasmin. (*)  


Posting Komentar

0 Komentar