005

header ads

Ema Dan Rencana Kematian Yang Digagalkan | Munawir Muluk. Z

 Ema Dan Rencana Kematian Yang Digagalkan

Munawir Muluk. Z


Beberapa waktu belakangan ini, Ema dan kekasihnya sudah sering kali terlibat dalam banyak pertengkaran hebat. Pertikaian yang diwarnai dengan perdebatan, jual-beli argumen yang tak berkesudahan, ego yang sama-sama enggan untuk mengalah, hingga diakhiri dengan kekeran verbal maupun fisik yang terpaksa harus diterima oleh Ema. 


Semua pertengkaran itu terjadi sebagai imbas dari berbagai macam alasan, dan tak tahu siapa yang harus bertanggung jawab kemudian. Sebab dalam kejadian ini, tak ada yang benar-benar pantas untuk menjadi sebuah kepastian, atas siapa yang berperan sebagai korban dan siapa pula yang berlakon sebagai pelaku.


Satu siang yang begitu cerah, di dalam sebuah kamar sewa, Ema justru merasakan sebuah situasi yang jauh berbeda, dimana pada kenyataanya siang ini adalah hari yang begitu mendung untuk perasaan Ema. Ema merasa bahwa kesunyian sedang memeluknya dalam dekapan yang begitu erat, dan kesepian menghantui perasaanya dari hari kehari tiada henti, lalu kesedihan membuat semuanya menjadi semakin terasa lengkap. 


Sesekali Ema berteriak dalam bungkam, dan teriakannya bergema kencang direlung hati yang paling dalam, ia persembahkan pekik yang lengking itu untuk menyumpahi kehidupan dengan sumpah serapah yang bahkan tak pernah terpikir untuk terucapkan. Saat itu Ema merasa bahwa kehidupan ini begitu sulit untuk diterjemahkan dengan cara dan bahasa apapun.


Dalam ketidak berterimaannya, kini pikiran Ema mulai menggila, kenangan-kenangan masalalu mulai berkeliaran, berputar-putar dan melitas kencang sekilas lalu dalam ingatan. Di dalam hati, perlahan rasa sesak mulai muncul sebagai respon penolakan untuk memori-memori yang tak pernah ia harapkan singgah dalam ingatannya. Semakin Ema berusaha untuk menolak kenangan-kenangan itu, semakin ingatan itu terkesan angkuh dan enggan untuk berlalu meninggalkan Ema dalam kesendirian yang menenangkan.


Ema berusaha untuk menepi, mengambil tempat yang palig sunyi, tepat pada salah satu sudut dalam ruang kamar sewa itu. Ema berusaha dengan begitu keras untuk memejamkan matanya sebagai wujud dari rasa takut, lalu kepalanya menggeleng-geleng sebagai penjelmaan dari ketidak sanggupan diri Ema terhadap semua kenangan yang tersa menyesaki kepalanya saat ini. 


Dalam pejam mata itu, Ema melihat sesosok laki-laki tua dan besar sedang memukulinya, lalu menjewer dan mencubitinya berkali-kali. Semakin lama, Ema merasakan pukalan, jeweran, dan cubitan itu semakin terasa nyata menghujam disekujur tubuhnya.


“Untuk apa kau hidup di dunia ini, kau hanya akan menjadi beban bagiku, membuat malu keluarga, dan tak ada satupun yang bisa kuharapkan dari seorang anak perempuan seperti kau”.

 

Kini suara-suara sumbang mulai terdengar berbisik lirih ditelinganya, Ema sendiri bahkan tak tahu suara-suara itu berasal dari penjuru yang mana. Semakin lama, suara-suara itu terdengar semakin nyaring, berteriak dan terasa sesak memenuhi relung telinganya. Ema berusaha dengan begitu keras untuk menahan desakan dari suara-suara itu, namun uapayanya kini sudah tak ada artinya lagi, semua sudah terlambat, tak mampu untuk terbendung. Suara-suara sumbang itu kini telah menjelma menjadi aliran air yang mengalir deras dari kelopak matanya, diiringi oleh isak yang sesekali tersangkut-sangkut di tenggorokannya, lalu menciptakan genangan tepat diatas lantai dimana sebelumnya Ema menepikan dirinya dalam sebuah perenungan pada salah satu sudut kamar sewa itu.


Ditengah isak dan tangis yang tak berkesudahan, perlahan Ema mulai bangkit dari sudut ruang itu. Dengan menggunakan lengan baju miliknya, Ema berupaya begitu keras untuk menyumbat aliran air mata yang sedari tadi tak henti-hentinya mengalir. Ema lalu menggeserkan langkah kakinya dengan tergesa-tergesa, berlari menuju pada sebuah lemari, dari dalam laci lemari, Ema mengambil sebuah kotak, di dalamnya berisi beberapa butir obat yang dengan cepat ditelannya sembari meneguk segelas air. Setelahnya Ema berjalan menuju pada sebuah pembaringan, lalu dengan perlahan membaringakan dirinya diatas pembaringan itu. Ema mencoba untuk mengatur tarikan dan hembusan napasnya dengan perlahan, tak lama waktu berselang, Ema kemudian merasakan perasaan yang sedikit lebih tenang dari sebelumnya, dan mampu menghantarkannya untuk sejenak terlelap.


Ketika Ema terjaga kembali, ia melihat jam dinding pada kamar sewanya telah menunjukkan pukul 19:00 Malam. Ema sempat berdiam diri beberapa waktu, mengumpulkan sisa-sisa ruh yang mungkin masih tertinggal dalam mimpi-mimpinya barusan tadi. Setelah dirasa semua berhasil ia kumpulkan kembali, dengan gegas Ema lalu mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di atas sebuah meja lengkap dengan asbaknya, lalu berjalan kembali kepada tempat semula. Ema kemudian membakar rokoknya, dan perlahan menghisap rokok itu dengan begitu dalam, Ema merasakan kepulan asap secara diam-diam menyelinap di tenggorokannya, ia izinkan mereka untuk mengisi ruang-ruang kosong pada paru-parunya, sembari mengingat dan menyesali apa yang baru saja telah terjadi. Sambil tersenyum lebar kemudian Ema menghembuskan asap rokok itu dengan menengadahkan kepalanya mengarah ke atas langit-langit kamar, seolah mengiklaskan semua yang sudah terjadi, dan membiarkan asap itu berterbangan, meninggalkan ruang-ruang pada paru-parunya yang baru saja terisi untuk kosong kembali, ia izinkan kepulan asap itu untuk mengisi dan memenuhi ruang kamar sewanya.


“Bukankah kehidupan selayaknya begitu, Datang untuk mengisi kekosongan lalu kemudian pergi begitu saja tanpa aba-aba dan kabar berita,  dengan tega dibiarkannya sesuatu menjadi kosong kembali, bahkan dalam kekosonganpun masih sempat meninggalkan bekas goresan luka diantaranya” sebuah pemikiran tersangkut dikepalanya.


Sebatang-duabatang rokok kini telah musnah dari jari jemari Ema, kini tinggalah puntung dan bongkahan abu yang tersisa dari batang rokok itu, telah dibiarkannya mereka untuk bersemayam pada semangkuk asbak sambil menantikan takdir atas nasib berikutnya. Lalu kesekian kalinya, Ema kembali menggeserkan langkah untuk mengambil selembar handuk, sembari berjalan, Ema menanggalkan satu-persatu helai pakaian yang menutupi lekuk tubuhnya yang indah. Sebelum memasuki kamar mandi, Ema menyempatkan waktu sejenak untuk berdiri dengan bertelanjang bebas dihadapan sebuah cermin, sembari melihat dan menikmati keindahan lekuk tubuhnya sendiri. 


Sembari menggenggam, Ema melihat bongkahan buah dada yang kencang dengan puting yang tegap miliknya, sedikit turun kebawah, Ema mengelus-elus perutnya yang rata dan memutarkan jari-jemarinya pada lingkaran ceruk pusar yang menggoda, dengan kuku-kukunya kemudian Ema geserkan gerakan itu mengikuti lengkung garis pinggangnya, hingga berujung pada panggulnya yang besar. Semua kegiatan itu ia hentikan ketika ekplolari yang dilakukan Ema pada dirinya sendiri berujung tepat pada kemaluannya yang di penuhi oleh rambut-rambut tipis, dan itu menjijikkan untuknya. Namun entah mengapa, setelahnya Ema justru tesenyum dengan puas, dan kini dikepalanya mencuat sebuah pertanyan. “tidakkah laki-laki bodoh hanya menginginkan ini?”.

Sehabis mandi Ema bersegera menutupi kembali tubuhnya yang sedari tadi tak dilapisi oleh selembar kain apapun. Setelah berpakaian dengan sempurna, Ema melanjutkan untuk merias wajahnya sedemikian rupa agar terlihat lebih menarik, lalu melumuri tubuhnya dengan beberap seprot pewangi agar tidak menggangu penciuman orang lain yang ditemuinya. Kemudian Ema memasukkan dompet, handphone, dan kunci mobil kedalam tas, lalu dengan gegas berjalan keluar dari dalam kamar sewa dan tak lupa mengunci pintu. Ema berlari-lari kecil untuk keluar dari dalam rumah sewa itu Dengan tergesa-gesa, di sepanjang lorong ia sesekali menyapa satu-persatu orang yang tidak diharapkan untuk dijumpainya, dan kemudian bergegas masuk kedalam mobil, menyalakannya dan mengeluarkan mobil itu dari pekarangan rumah, lalu menginjak gas penuh dan membiarkan mobil melaju dengan begitu cepat meninggalkan rumah sewa itu.


Pelarian Ema ternyata membawa mobil itu berhenti pada sebuah tempat praktek psikolog yang telah lama menangani masalah-masalah mental yang dideritanya selama ini. Sembari  menunggu antrian, Ema lalu duduk sejenak pada sebuah bangku besi panjang, di ujung bangku Ema melihat seorang anak remaja perempuan yang duduk termenung dengan tatapan koson dan hampa, disampingnya ada kedua orang tua yang menemani sembari memeluki anak remaja perempuan itu dengan pelukan yang terlihat begitu hangat dan terkesan enggan untuk melepaskan pelukannya. 


Ditengah pengamatannya, tiba-tiba Ema dikagetkan oleh sebuah suara yang memangil namanya “Ema”, ternyata gilirannya untuk masuk dan menemui psikolog itu telah tiba. Baru saja sejenak setelah pintu ruangan peraktek itu ditutup, air mata Ema sudah tak kuasa lagi terbendung dan dengan terpaksa untuk kesekian kalinya harus tumpah ruah juga, sesaat setelah pisikolog itu menyapanya dengan sapaan yang hangat dalam ruangan itu “Hai Ema, bagaimana kabar mu?” dan ketika itulah saat dimana air mata Ema kembali mengalir dengan begitu deras dari balik dua belah bola mantanya, bahkan sembab pada kelopak matanya usai tangisan yang terakhirkalipun belum sepenuhnya pulih dan menghilang.


Kali ini Ema menagis dalam situasi yang sedikit berbeda dari sebelumnya, kesedihan Ema tak lagi diselimuti oleh perasaan kesepian dan kesunyian, setidaknya Ema merasa bahwa ada satu orang yang benar-benar mengerti tentang penderitaan yang dialaminya. Psikolog itu langsung bersegera menghampiri Ema, lalu menuntun tubuh Ema yang tak berdaya untuk duduk pada sebuah sofa, kemudian menyuguhkannya dengan segelas air dan meletakkan sekotak tisu diatas meja tepat dihadapan Ema. Psikolog itu memberika ruang sejenak kepada Ema untu melepaskan tangisannya terlebih dahulu hingga benar-benar tuntas, sembari duduk pada sebuah sofa yang berhadapan dengan Ema, psikolog itu tenggelam dalam diam, sembari melemparkan tatapan penuh perhatian untuk penderitaan yang sedang dialami oleh Ema, hingga lambat laun hujan dikelopak mata Ema perlahan mereda. 


“Aku melihat peria besar itu lagi, aku merasakan perihnya begitu nyata menghujam tepat pada tubuhku. Aku juga mendengar suara-suara sumbang itu berbisik ditelingaku lagi, semakin lama, suara-suara itu semakin terdengar begitu keras, terkesan meneriaki kehidupanku yang tak berguna”. Ema perlahan mulai angkat suara, menceritakan semua penderitaan yang baru saja dialaminya.


Psikolohg itu masih juga tetap bertahan dalam diamnya, berusaha untuk masih memberi ruang kepada Ema untuk kembali bercerita lebih banyak lagi. Tapi lama waktu berselang, cerita-cerita Ema berikutnya yang dinantikan oleh psikolog itu tak juga kunjung keluar dari mulut Ema. Psikolog itu mengerti, bahwa cerita tadi adalah satu-satunya cerita yang membawa Ema dengan sangat terpaksa harus menemuinya kembali.


 “Adakah kau mengkonsumsi obat mu dengan rutin sesuai dengan saran ku Ema?” 


Psikolog itu mengajukan sebuah pertanyaan. Ema kemudian mengangkat kepalanya perlahan, melihat kearah psikolog dengan tatapan yang begitu tajam. 


“suatu ketika pernah ingin ku buang obat itu kedalam toiletku, namun aku berpikir bahwa suatu saat akan ada masa dimana aku membutuhkannya, dan kenyataanya benar. Baru saja bebera saat sebelum aku melangkahkan kakiku kemari, aku menegak beberapa butir dari mereka. Mereka membuat keadaanku sedikit membaik, dan mengantarkanku kedalam tidur yang menenagkan”. Ema menjawab


Psikolog itu kemudian berdiri dari sofanya, berjalan kearah meja, mengambil sebuah amplop dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya, lalu ia kembali duduk pada tempat semula, sembari menggunakan kaca matanya. 


“Ini adalah hasil dari tes yang kau jalani pada pertemuan kita sebelumnya Ema, aku minta agar kau memberikan waktu sejenak kepadaku untuk dapat menjelaskan beberapa hal penting kepadamu terkait dengan hasil tes ini” 


Dengan sangat hati-hati psikolog itu mencoba melakukan pendekatan awal kepada Ema. Setelah permulaan itu psikolog mengambil jeda untuk sejenak tenggelam dalam diam, sembari menumpahkan seluruh perhatiannya dengan seksama kepada Ema. namun jawaban yang diharapkan oleh psikolog itu tak kunjung ia dapatkan, bahkan sepatah katapun tak keluar dari mulut ema untuk menanggapi psikilog itu,  Setelah ia melihat Ema mengangguk, psikolog itu mengerti bahwa Ema mengizinkannya untuk meneruskan percakapan ini.


“Ema, ada sesuatu hal yang memprihatinkan terjadi pada dirimu, ini bukan perkara yang main-main Ema, ada banyak potensi yang dikemudian hari berkemungkinan untuk merugikan dirimu sendiri. Maka dari itu aku ingin kau menjadikanku sebagai teman, aku membutuhkan kerja sama darimu agar kita dapat menuntaskan perkara ini dengan bersama-sama. Apa kau mengerti Ema?”


Ema tak menangapinya, ia mengulanginya kembali, mengangkat kepalanya dan melihat tajam kearah psikolog itu, tak lama waktu berselang, barulah Ema menganggukkan kepalanya. Psikolog mengerti dengan maksud Ema, dan kemudian meneruskan percakapan itu kembali.


“Aku ingin kau terbuka kepadaku, tentang apa saja yang kau alami Ema, jika hal-hal buruk terjadi pada hari-harimu, secepatnya temui aku. Sebelum kau pulang, aku akan memberikan kepadamu beberap butir jenis obat lagi, aku minta agar kau dengan rutin mengkonsumsinya. Jangan ada yang terlambat, lebih lebih lagi dengan sengaja kau abaikan. Aku tak bermaksud apapun Ema, selain berusaha untuk membantumu agar segera pulih kembali, apa kau mengerti Ema?”. 


Psikolog itu berusaha menjelaskan kepada Ema tentang situasi yang sedang terjadi dan mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan. Dan lagi-lagi Ema hanya mengangguk, psikolog mengerti bahwa Ema mendengarkannya.


***


Lama sudah waktu berselang semenjak pertemuan terakhir yang terjadi antara Ema dan psikolog, sejak saat itu Ema bahkan sudah tidak pernah lagi mengunjungi sang psikolog. Hingga pada suatu hari sebuah situasi membawa Ema pada akhirnya terpaksa untuk kembali singgah ke tempat psikolog itu lagi. 


Seperti biasa, sesampainya disana, Ema langsung mengambil daftar antrian, lalu duduk pada sebuah bangku besi panjang yang telah disediakan sembari menunggu panggilan. Di ujung bangku ia kembali melihat seorang anak remaja perempuan yang sama sedang termenung dengan tatapan kosong dan hampa, ditemani dengan kedua orang tuanya seperti biasa. Entah kenapa kini Ema tidak lagi merasa terganggu dengan pemandangan yang sedang dilihatnya sama seperti waktu yang lalu, ia merasa tak ada yang aneh dan biasa saja dalam merespon kejadian tersebut.

 

“Ema” sebuah suara bergema dari balik pintu ruang psikolog, ia tahu bahwa ini adalah waktunya untuk masuk, dengan segera ia beranjak dari bangku dan memasuki ruangan psikolog. Ketika pintu ditutup, psikolog langsung menyapanya.

 

“Hai Ema, bagaimana kabarmu?” Sapa Psikolog.


 “Syukurnya, Sangat baik!” Dengan penuh kecerian Ema meresponya.


Psikolog tersenyum dengan sangat bahagia mendengar jawaban yang baru saja keluar dari mulut Ema, ia merasa bahwa ini merupakan awalan pertemuan yang sangat luar biasa, sebab tak ada lagi air mata yang tumpah ruah dari balik dua belah bola mata Ema seperti biasanya. Psikolog bersegera mempersilakan Ema untuk menempatkan dirinya pada sebuah sofa tepat dihadapan psikolog itu, kemudian meyuguhkan Ema dengan segelah air tanpa tisu, sebab Ema sudah tidak lagi menangis. 


Tanpa banyak basa-basi, Ema langsung mulai menceritakan tentang keadan yang di laluinya belakan ini, ia bercerita tentang kondisi perasaan yang dialaminya baru-baru ini. 


“bayang-bayang laki-laki besar dan suara-suara sumbang yang sering kali menghantuiku sudah tidak pernah lagi datang!”. 


Psikolog merasa cukup kaget sekaligus bahagia mendengar pernyataan Ema tersebut, lalu kemudian ia mengajukan sebuah pertanyaan untuk mempertegas realita yang baru saja ia dengarkan 


“Apakah obat yang kuberikan kepadamu sudah kau habiskan seluruhnya Ema?”. 


“Satupun tak ada yang kusentuh!”. Jawab Ema sambil tersenyum.


Mendengar hal itu, psikolog semakin terheran-heran dengan apa yang baru saja ia dengarkan dari pernyataan Ema. Kemudian psikolog itu kembali mengajukan sebuah pertanyaan untuk mencari pembenaran atas apa yang menjadi praduga dari analisanya.


“Apakah ada hal lain yang kau alami beberapa waktu belakangan ini Ema?”. 


Ema tiba-tiba menggambil secarik kertas yang terlipat dari dalam tasnya, lalu kemudian memberikan secarik kertas tersebut kepada psikolog. 


“Aku menulis semuanya di sini sebelum datang kemari, sulit bagiku untuk menjelaskannya kepadamu, bacalah dan semoga tulisan itu sedikit banyaknya dapat membuat kau mengerti tentang apa yang baru saja terjadi dalam kehidupanku”.


Psikolog mengambil secarik kertas tersebut dari tangan Ema, dan dengan perlahan membuka lipatan kertas tersebut, kemudian ia membaca isi dari kertas itu dengan sangat perlahan dan hati-hati, ia berupaya untuk mengerti dan memahami setiap kalimat demi kalimat yang berusaha untuk diterangkan oleh Ema kepadanya.




Surat


Malam itu, kutuliskan sepenggal surat kematian pada secarik kertas ini, selembar untuk ibuku, selembar yang lainnya untuk ayahku, dan seterusnya untuk orang-orang yang menginginkan atau pun tidak mengingankan kehidupanku. 


Ku ucapkan cinta diawala paragraf, ucapan trimakasih telah menjadi bagian dalam kehidupan, ku letakkan ditengah paragraf, dan salam perpisahan sebagai penutup. Tak lupa ku tuliskan sandi semua sosial mediaku, agar ketika ketiadaanku nanti, ada seseorang yang mungkin merindukanku bisa berkunjung kesana. 


Surat-surat itu kulipat rapi, ku masukkan kedalam sebuah amplop putih, ku letakkan pada sebuah tempat yang berkemungkinan besar akan ditemukan oleh orang lain, karna memang surat itu ku tuliskan agar ketika kematianku tiba, akan ada seseorang yang menemukannya.


Sejenak ku lupakan tentang kematian itu, tentang semua rencana yang telah kupersiapakan sebagai skenario bagaimana aku akan mengakhiri kehidupanku sendiri. Aku basuh tubuh ku dengan seember besar air, aku tak ingin mati dalam keadaan bernoda.


Aku seka air yang menetes perlahan dengan selembar handuk, kurapikan raut muka yang tak karu-karuan, ku hiasi dengan berbagaimacam bedak dari berbagaimacam merek. Ku sissir rambutku dengan begitu rapi, ku siapkan sebuah tas kecil sebagai tempat meletakkan segala barang. Ku langkahkan kaki perlahan kearah pintu rumah, membukanya, lalu pergi kesuatu tempat, merayakan malam terakhirku di bumi bersama kehidupanku yang menyesakkan.


Tempat ini begitu ramai, disana sini semua kursi terisi penuh dengan orang-orang yang entah berasala darimana, tak satupun meja yang kosong, semua penuh dengan benda-benda dan makanan atau minuman yang mereka pesan dan disediakan oleh tempt itu.


Tepat di hadapanku, sebuah panggung kecil sedang mempertunjukkan senandung nyanyian rindu dengan irama akustik yang mendayu, semakin kuraksan malam ini adalah malam terkahir yang indah. Andai saja aku tak ingin mati, sepertinya aku hanya ingin berada di sini saja.


Ku lihat semua orang sedang tenggelam dalam perbincangan, dan aku berusaha untuk menerka perbincangan itu entah tentang apa, semua terpaku dalam gelak dan tawa lalu kembali aku bertanya, “gelak tawa itu untuk siapa?”.


Semua orang bercanda dan beberapa yang lainnya terpana, lalu aku bertanya untuk kesekian kalianya. “Yang bercanda untuk apa dan yang terpana sedang merenungkan apa?, Apakah mereka jugan ingin mati seperti aku malam ini?”.


Dari kejauhan ku lihat seorang laki-laki terdiam duduk bersama teman-temannya, mereka duduk pada sebuah meja di pojokan tempat itu. Sesekali aku memandangi kearahnya, laki-laku itu bertubuh besar seperti bayang-bayang yang sering muncul di pikiranku seperti biasanya, namun ia sedikit berbulu, pada dagu dan sekeliling mukanya di tumbuhi dengan rambut yang rapi, dan dia tidak memukuliku, mencubitku, lebih-lebih menghinaku. 


Seketika laki-laki itu dengan tidak sengaja menatap kearahku, sepertinya dia mulai menyadari bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Semakin lama aku memandanginya aku melihat laki-laki itu seperti sedang memangil-manggilku, aku merasa sedang tenggelam dalam dekapannya, aku merasakan dalam dekapan itu ia mengelus-elus rambutku yang baru saja sebelum berangkat tadi telah ku rapikan, sembari berbisik lirih di telingaku, bisikannya terdengar tidak seperti bisikan yang sering kali menghantuiku. “Hentikan niatmu untuk mati malam ini, aku akan menemanimu dalam kehidupan ini” aku merasakan bisikan itu masuk di telingaku dengan begitu lembut. Hingga sejak saat itu kuputuskan untuk tidak melanjutkan rencana kematianku, dan memutuskan untuk hidup bersamanya bagaimanapun caranya.


Setelah membaca surat dari Ema. pisikolog langsung menatap mata Ema dengan penuh binar dimatanya. Ia merasa bahwa ada satu kekuatan besar sedang menyembuhkan Ema, dan itu bukan dari obat-obat kimia yang diberikannya, melainkan sebuah kekuatan yang disebut dengan “CINTA” dan sulit untuk dianalisa dengan sains maupun logika, ini lebih kepada perihal perasaan, dan sudah sepantasnya pula hanya bisa diterjemahkan dengan bahasa yang bersumber dari hati.


Bangko, 14 Juni 2022














DATA DIRI

: Munawir Muluk. Z

Penikmat buku, penggiat literas, Penulis lepas dan mandiri. Mahasiswa Teknik Sipil di Univrsitas Eka Sakti Padang.



Posting Komentar

0 Komentar