005

header ads

Semoga Kau Tak Merindukanku | Munawir Muluk. Z

 Semoga Kau Tak Merindukan ku

Munawir Muluk. Z

Meski esok adalah hari dimana aku akan pergi meninggalkan warsito dalam kesendirian di tengah keramaian kota yang semu, tapi warsito masih tetap saja bertahan dalam raut muka penuh ceria. Tak kulihat sedikitpun lamunan berlafaz duka yang menyeruak dari balik air mukanya, bahkan hingga malam semakin gelap diguyur hujan yang tak kunjung reda sejak sore tadi. 

Begitu lah warsito, ia begitu pandai untuk bersembunyi dalam perasaannya sendiri; sulit untuk ditebak apa yang menjadi kemauannya, juga rumit untuk diterka apa rencana yang ada dalam benaknya. Bukanlah suatu hal yang mengherankan, jika aku sama sekali tak mengetahui apapun tentang dirinya, jangankan aku yang pada dasarnya hanyalah orang baru dalam kehidupan warsito, bahkan teman-teman terbaik yang ia miliki sekalipun tak pernah tahu perihal kesedihannya.

Seketika terlintas dipikiran, bahwa pada sebuah kesempatan aku pernah sempat bertanya kepada warsito tentang perkara ini.

***

“Kenapa kau tak pernah sudi untuk menceritakan kesedihanmu kepada orang lain?”

Pertanyaan itu kemudian menjelma jadi sebuah jawaban, yang pada akhirnya membuat aku sedikit memahami tentang cara warsito dalam berpikir. Dia percaya bahwa disaat-saat terpuruk dalam kehidupan ini, akan ada dua jenis manusia yang datang menghampiri. Jenis pertama adalah manusia yang datang dengan membawa maksud untuk sekedar ingin tahu saja tentang apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita, sementara jenis kedua adalah manusia yang memang benar-benar menaruh kepedulian atas apa yang sedang menimpa kehidupan kita.

“Lalu Mengapa kepada teman-teman terdekat pun kau tak menceritakannya?” Lanjutku bertanya.

“Jamilah, Di dalam diri manusia terdapat sebuah karunia luar biasa dari sang pencipta, karunia tersebut bernama hati dan perasaan. Jika karunia itu dipergunakan dengan cara yang baik, maka ia akan menjadikan manusia hidup dengan berbelas kasih, sementara jika dipergunakan dengan cara sebaliknya, maka manusia akan hidup dalam dendam dan amarah. Dan sebagai pemiliknya, Tuhan memiliki kemampuan yang mutlak untuk membolak-balikkan hati dan perasaan manusia, meski tanpa campur tangan waktu sekalipun. Itulah sebabnya Jamilah, dalam kehidupan, tak jarang kawan menjadi lawan dan lawan menjadi kawan. Hati manusia ini penuh dengan misteri Jamilah, dan hanya Tuhanlah yang memang benar-benar mengetahui apa yang sesungguhnya tersimpan dalam sebuah hati, meskipun tersembunyi. Sebab Tuhan maha mengetahui. dan kita tak pernah tahu bahwa seseorang yang tengah hadir dalam kehidupan kita saat ini adalah jenis pertama atau jenis kedua”. Jawab warsito dengan tenag.

“Aku mengerti, tapi mereka adalah teman-teman terbaik yang kau miliki. Apa kau meragukan kepedulian mereka terhadapmu Warsito?”. Tanyaku kembali belum puas.

“Justru karena mereka adalah teman-teman terbaik yang aku miliki Jamilah, itulah sebabnya kenapa aku enggan menceritakan perihal kesedihanku kepada mereka. Mereka juga punya kesedihannya sendiri, dan aku tak ingin menambahkan beban atas kesedihan yang sedang merek lalui. Karena mereka adalah teman-teman terbaikku Jamilah, maka aku ingin selalu menebarkan kebahagiaan untuk mereka. Apa kau tahu perasaanku Jamilah, ketika aku melihat senyuman dan kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, aku bisa merasakan kehidupan yang begitu menyenangkan, sebab di sekitarku  saat itu sedang bertebaran kebahagiaan yang nyata.”

Untuk kesekian kalinya, itu lah warsito yang menyebalkan. Dia selalu mampu mengubah pertanyaan-pertanyaanku menjadi buah pemikiran yang secara diam-diam menyelinap masuk dalam keyakinan. Dunia warsito terbentang begitu luas, melintasi batas-batas kemampuannya untuk melihat keadaan dari sudut pandang yang berbeda. Dari warsito jugalah yang membuat aku kini mulai mampu untuk melihat dunia dengan perspektif yang begitu luas dan tak terbatas.

“Kau kenapa Jamilah? Kok Bengong?”. Tetiba sebuah suara membuyarkan ingatanku sekilas lalu.

“Hah…, Tidak!, aku baik-baik saja”. Menghindar dari pertanyaan warsito yang mencekam.

***

Suatu ketika aku terjebak dalam sebuah perkumpulan malam yang tercipta dari rasa kebosanan. Waktu terus juga berlalu, berjalan menggantikan satu momen kepada momen yang lainnya. Sementara, kulihat semua orang dalam lingkaran perkumpulan ini tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Sama sekali tak kurasakan esensi berkumpul turut hadir meramaikan keadaan ditengah-tengah kami. 

Empat orang pemuda di pojok sebelah utara sedang asik dengan game yang ada dalam gawai merek. Pada sisi sebelah timur sepasang insan sedang sibuk bercanda gurau dan berkasih sayang tanpa peduli dengan perasaan orang-orang di sekitarnya. Sebelah barat, satu orang remaja putri sedang fokus mendengarkan curahan hati dari dua orang sahabatnya yang terpaksa harus tenggelam dalam perasaan yang bertepuk sebelah tangan, sementara tersangka atas perih yang dirasakan oleh dua remaja putri tersebut juga turut hadir dalam perkumpulan ini dengan bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa, yang satu sibuk menyenandungkan lagu dengan petikan gitarnya, dan yang satunya lagi sedang menoleh kesana-kemari dalam kebingungan harus ikut serta dalam perkumpulan yang mana. Aku tak tahu apakah jika warsito disini ia juga akan merasakan sesuatu yang sama dengan apa yang aku rasakan saat ini?. Tapi aku yakin bahwa warsito juga merasakannya.

Sudah sejak tadi aku tidak melihat keberadaan warsito, aku tak menyadari bahwa ia telah dengan begitu teganya meninggalkanku sendiri diantara suasana perkumpulan yang membosankan, bersama orang-orang yang sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Mereka sama sekali tak menunjukkan perhatian kepadaku sedikitpun, setidaknya dengan menanyakan prihal kepergianku esok hari. 

Tak hanya mereka, bahkan warsito pun begitu. Mungkin memang tak ada yang pernah benar-benar perduli kepadaku, persis seperti apa yang dahulu pernah warsito katakan. Belum sempat aku tuntaskan renunganku, aku dikagetkan dengan kedatangan warsito secara tiba-tiba, di tangannya menenteng sebuah bangku yang ia bawa entah dari mana, dan dengan lancangnya Warsito lantas meletakkan bangku itu tepat berdampingan denganku, lalu tanpa meminta izin ia langsung duduk di sebelahku dan mulai meledekiku.

Diantara keramaian tongkrongan di sebuah sudut kota, warsito tetap jadi satu-satunya titik dimana dua belah bola mataku bermuara. Perhatian semakin lama semakin ku pertajam mengarah tepat pada diri Warsito yang kini sedang tenggelam dalam gelak dan tawa tak ada henti bersama teman-temannya. Sesekali Warsito melirik ke arahku, sesekali pula aku memalingkan pandanganku dari arahnya. Aku tak pernah suka dengan tatapan warsito, sebab dalam tatapanya selalu penuh dengan makna abstrak yang tak terdefinisikan.

Aku tak tahu tatapan dari Warsito kali ini bermakna apa, dan aku benci ketidaktahuan ku ini. Aku berusaha untuk selalu menghindar dari lirikan warsito, agar bau-bau pengintaian yang sedang aku lakukan tak begitu tercium olehnya. semakin banyak lirikan yang warsito berikan, semakin besar kecemasan bersemayam dalam perasaanku. “Menyebalkan kau warsito!”.

“Jamilah, Kau kenapa?”. Raut muka dengan senyum tipisnya yang menyebalkan.

“Enggak ada…, aku baik-baik aja kok!”. Berusaha untuk bersikap main aman.

Warsito sama sekali tak menanggapi pernyataanku dengan kata-kata, yang ada hanya muka menyebalkan dan tatapannya yang penuh dengan makna. Berulang kali telah ku katakan kepada warsito bahwa aku benci itu, namun iya selalu saja mengulanginya, “Dasar warsito!”. Teriaku dalam hati. 

Setelahnya cukup lama warsito terdiam tanpa kata di sampingku. Namun diamnya warsito justru selalu menimbulkan banyak prasangka di kepalaku, tentang apa selanjutnya yang akan ia lakukan. Tiba-tiba warsito buka suara.

“Kau akan berangkat besok bukan?”. Tanya warsito tanpa aba-aba

“Ya!”. Jawabku ketus

“Kalau begitu hati-hati”. Warsito menatapku sambil tersenyum

“Ya”. Timpaluk kembali

“Semangat, jangan lupa senyum, dan Have Fun ya”. Lagi-lagi warsito tersenyum.

Dalam pikiranku bergema suara-suara sumbang, menciptakan berbagai macam praduga atas apa yang kini sedang terjadi dalam diri warsito. Berbagai macam rupa prasangka berubah jadi telunjuk yang seolah menyudutkan warsito dengan berbagai tuduhan; Warsito tidak benar-benar mencintaiku, tak ada satupun kesedihan dari diri Warsito melepas kepergianku, apakah Warsito akan merindukanku?.

Meski pada dasarnya aku begitu memahami bahwa Warsito adalah orang yang periang, sesulit apapun keadaan yang sedang dihadapinya, Warsito tak akan pernah meninggalkan senyumannya. Warsito akan selalu membawa senyuman itu kemampuan ia pergi, karena warsito pernah berkata kepadaku bahwa “jika kita tidak mampu memberikan banyak hal kepada orang lain untuk meringankan beban orang lain, setidaknya kita sempatkan untuk memberikan senyuman kepada siapapun, semoga saja dengan itu masalah mereka sedikit mereda”. 

Tapi kali ini sedikit berbeda, entah mengapa aku sedang tidak membutuh senyuman dari Warsito, yang aku butuhkan adalah wujud kesedihan terpancar dari raut wajahnya, setidaknya dari kesedihan itu aku mampu untuk mengetahui perasaan Warsito, bahwa setelah banyak hari yang kami lalui bersama, bukanlah sesuatu yang mudah untuknya melanjutkan hari-hari itu tanpa kehadiranku di sisinya untuk waktu yang cukup lama.

Tapi disisi yang lain, aku justru turut bersuka cita atas pertanyaan yang baru saja di lontarkan oleh warsito. Walaupun Warsito tak bersikap seperti apa yang aku inginkan, dan walaupun aku tahu bahwa ia akan bersikap sesuai dengan apa yang ia yakini sendiri, dan tak akan pernah menjadi seperti apa yang orang lain inginkan atas dirinya. Setidaknya pertanyaan itu sedikit banyak telah mampu untuk membuat perasaanku menjadi lebih lega, sebab pradugaku sebelumnya bahwa warsito tak perduli dengan kepergianku esok hari adalah sebuah kekeliruan. Ternyata Warsito cukup peduli kepadaku, walau ia sedikit gengsi saja untuk mengakuinya dan memperlihatkannya.

Sebenarnya aku cukup benci dengan sikap warsito yang satu ini, tapi disisi yang lain, semakin kesini, aku justru semakin menyadari bahwa ini lah Warsito. Warsito punya caranya sendiri untuk menunjukkan kepeduliannya kepadaku dan juga kepada orang-orang di sekitarnya. Walupun terkadang ia terlihat acuh dan terkesan tak perduli, tapi sebenarnya warsito menaruh kepedulian yang tinggi untuk orang-orang di sekitarnya, yang ia perlihatkan dengan cara nya sendiri. Sulit memang untuk dipahami oleh orang lain, termasuk aku.

“Hei…, Besok jamilah mau berangkat”. Teriak Warsito 

Tiba-tiba warsito kembali memecah keheningan, melalui pernyataan yang ia teriakan di tengah perkumpulan kami. Warsito memang tukang rusuh, tapi terkadang kerusuhannya ini malah membuat suasana menjadi terasa berbeda. Kini ku lihat semua pasang mata tertuju kepadaku, dan aku tak tahu kejadian seperti apa yang akan terjadi setelahnya.

“Jam Berapa kak Jamilah Berangkat besok kak?”. Empat Orang Pemuda Bertanya.

“Jam 06:00 pagi”. Jawabku senang.

“Pakai bus atau teravel kak Jamilah berangkat?”. Satu orang pemuda kebingungan bertanya.

“Pakai bus”. Lanjutku

“Berapa Jam Perjalanan dari sini kesana kak?”. Satu orang pemuda bergitar bertanya.

“Sekitar 8 jam perjalanan”

“Jadi sama temanku atau berangkat sendiri kamu jamilah?”. Perempuan kasmaran bertanya.

“Sendiri saja sepertinya”

“Hati-hati ya jamilah!”. Kekasih perempuan itu menegaskan dengan pernyataan.

Sementara warsito tak bertanya dan tak menanggapi apa-apa, kulihat ia hanya tenggelam dalam suasana yang baru saja terjadi. Bersama senyumannya, perlahan ia melirik kearahku, dan untuk kesekian kalinya aku tak mengerti lirikan itu bermakna apa, untuk kesekian kalinya pula aku pertegas bahwa aku begitu benci dengan lirikannya yang penuh dengan makna, sementara aku sama sekali tak mengetahuinya.

Cukup lama aku termenung, memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi. Lihat!, seperti apa yang aku katakan sebelumnya, terkadang kerusuhan yang Warsito munculkan, justru menjelma bagai sihir yang mengubah suasana.

Betapa tidak, seketika aku merasakan esensi dari sebuah perkumpulan yang sebelumnya tak kurasakan, perlahan kini mulai hadir diantara kami, semua mulai meninggalkan kepentingan mereka masing-masing. Empat orang pemuda dengan game di tangannya kini mematikan gawai mereka dan ikut serta dalam perbincangan, Dua orang insan yang sedang memadu kasih mulai sadar bahwa perkumpulan ini bukan hanya milik mereka saja, melainkan milik bersama. Tiga orang remaja perempuan perlahan meninggalkan obrolan antar merek dan masuk kedalam obrolan bersama dan sejenak melupakan bahwa hati merek sedang terluka. Satu orang tersangka yang bermain gitar meletakkan gitarnya pada sebuah sudut tak bernama, sementara satu orang tersangka lainnya yang sebelumnya kebingungan kini telah menemukan tempat pada perkumpulan yang mana ia harus berlabuh dan turut ambil bagian. 

Lihatlah, apa yang baru saja Warsito lakukan. Ia membalikkan keadaan yang membosankan jadi begitu menyenangkan, dan ia membuat aku seketika menjadi merasa berarti hanya dengan kerusuhan kecil yang ia ciptakan.

Ku kira tak ada yang benar-benar perduli dengan kepergianku esok hari, dan tak ada yang mencemaskan kepergianku esok hari, bahkan warsito sekalipun. Tapi dari kejadian ini, aku melihat Warsito seperti berusaha memberikan jawaban tanpa kata kepadaku. Warsito memang kerap sekali begitu, ia adalah manusia yang sulit sekali untuk berkata To the Point, ia lebih senang melihat orang lain kebingungan dengan maksud yang terselubung dari balik kata maupun tingkah lakunya.

Tapi aku cukup memahami sikap warsito yang satu ini, Warsito percaya bahwa setiap manusia berhak atas pilihan dan jalan hidupnya sendiri. Sebab itulah ia tak pernah mau memberikan jawaban secara gamblang kepada orang lain, ia lebih senang memberikan kebebasan kepada siapapun untuk menemukan jawaban dan jalan atas permasalahan hidupnya sendiri sebagai manusia yang merdeka.

Terkadang menyebalkan memang, tapi di sisi lain, aku menyadari niat baik Warsito. Karena dengan begitu, orang-orang disekitarnya akan lebih percaya diri dengan kemampuannya sendiri dalam memecahkan permasalahan kehidupan mereka masing-masing, dan tidak lagi bergantung kepada orang lain. Dan jika suatu saat masalah serupa terjadi lagi pada kehidupan mereka, mereka akan lebih siap dalam menghadapinya, sebab mereka pernah berhasil menghadapi masalah tersebut dengan cara mereka sendiri. 

Kurasa hal tersebut dilakukan warsito juga dengan alasan untuk membebaskan orang-orang dari rasa hutang budi kepadanya, sebab warsito tak pernah menginginkan orang-orang berada di sekitarnya hanya karena rasa hutang budi saja. Ia menginginkan orang-orang tetap tinggal di sekitarnya atas rasa pertemanan dan cinta yang tulus, bukan dengan alasan kepentingan lain. Warsito percaya, bahwa jika bukan diri sendiri, siapa lagi yang bisa diharapkan untuk percaya akan kemampuan diri sendiri. Karena semua akan hilang dan meninggalkan pada waktunya, bahkan nyawa sekalipun.

Diam-diam Aku dan Warsito kemudian terjebak dalam sebuah percakapan yang berbisik-bisik, hal ini kami maksudkan agar orang lain tak mendengarkan apa yang kami bicarakan.

“kenapa kau melakukan itu?, Malu-maluin aja!”. Cetusku kepada Warsito dengan kesal

“Hati manusia itu misterius Jamilah, cuman tuhan yang tahu persis. Membuat prasangka dangkal atas hati manusia adalah perbuat mendahului kehendak tuhan, dari pada kita berdosa, kalau kita tidak coba kita tak akan pernah tahu bukan?” Warsito menjawab dengan senyuman yang semakin lebar dan menjijikkan

“Iya!”. Jawabku semakin Kesal

“Sekarang sudah tahu?”. Warsito mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum penuh makna, sembari ibu jari tangannya mengacung kearah ku.

“Kenapa kamu mengedipkan mata?, Genit Banget” aku merespon kelakuan Warsitu yang menjijikkan itu. 

Tanpa ku sadari bahwa aku baru saja telah berbicara kepada Warsito dengan berteriak. Dan kini semua mata kembali tertuju kearah kami.

“Eittsss…., Kamu lupa aku ketua umum Ikatan Kanji Indonesia (IKI)” Masih dengan senyumannya. Dan warsito ikut-ikutan berteriak untuk memperkeruh suasana

“Terserah kamu” pada akhirnya aku, warsito, dan kami semua tenggelam dalam gelak tawa bersama.

Sulit untuk dipungkiri memang, Warsito adalah sosok yang aneh. Sikap-sikapnya yang menyebalkan namun selalu saja bisa menjelma jadi lentera diantara gelap, jadi telaga disaat dahaga, jadi telinga disaat hampa.

“Warsito, Tetap lah jadi sosok sederhana yang aku kenal. Aku pamit. Aku pergi dulu, sampai jumpa. Semoga kau tak merindukan aku!”. 

Tanpa kusadari, sebuah doa telah tersenandungkan begitu saja didalam hatiku.










DATA DIRI

Munawir Muluk.

Penikmat buku, penggiat literas, Penulis lepas dan mandiri. Mahasiswa Teknik Sipil di Univrsitas Eka Sakti Padang.





Posting Komentar

0 Komentar