005

header ads

Cerpen Rumah 45 Meter Persegi, Milik Kita Oleh: DN Sarjana

 Rumah 45 Meter Persegi, Milik Kita

Oleh: DN Sarjana


Beranda rumah memang terasa sempit. Ya memang sempit. Rumah ini luasnya hanya enam puluh empat meter persegi. Orang mengenalnya rumah murah bersubsidi. Sering juga dibilang rumah burung karena orang kaya membayangkan seperti seluas sangkar burung yang ada di rumah mereka. Ukurannya hanya 45 meter persegi, dengan dua kamar tidur. Satu kamar mandi dan teras depan.

"Kita duduk disini saja sayang. Sambil menimang bayi mungil".

Manisku tersenyum sambil menyusui buah hati. Sebagai seorang ibu, Saya memintanya untuk menjadi ibuk yang baik. Selama punya balita, saya tidak membolehkan bekerja di luar rumah. Cukuplah saya sebagai seorang ayah berusaha menutupi kebutuhan rumah tangga, walau sangat pas-pasan sisa cicilan rumah.

"Pa, bayi kita mungil ya". Kata istriku, sambal memberi air susu ibu. Aku tersenyum. Saya mewajibkan dia memberi air susu ibu. Saya sangat percaya air susu ibu jauh lebih baik dari susu buatan.

"Iya ma. Dia cantik kayak ibunya". Istriku tersenyum.

Mungkin sama ingatanku, ketika aku merayu dia pertama kali dipinggiran pantai Kuta. Entah angin mana yang mempertemukan kami di pantai indah dan disukai tamu mancanegara. Saat itu tidak terlalu sore. Aku ingin menikmati sun set pantai Kuta. Aku santai duduk di pasir putih, sambil memesan es kelapa muda. Tidak di nyana, perempuan manis berambut agak ikal hadir dan memesan es kelapa muda sama dengan diriku. Kasihan menyuruh dia berdiri lama, aku memberi kesempatan lebih dulu perempuan itu. Sambil mengambil es nya dia berucap.

"Makasi mas. Sudah memberi duluan". 

"Sama-sama". Jawabku sambil memandangi

dia pergi dikejahuan. Aku tidak memberi mata ini lepas nelisik. Ternyata gadis itu berhenti dan duduk dibawah pohon waru. Tempatnya tidak jauh. Sekitar sepuluh meter diselatan. Karena hati sudah terpaut, kesempatan mengenal lebih dekat perempuan

itu tidak ku abaikan. Aku berdiri dan diam-diam mendekat. Pura-pura saja menerima telpon dan berhenti disamping perempuan manis. Aku santai saja duduk disampingnya.

Matahari merah jingga mulai tampak di kaki barat laut. Uh panorama yang indah. Siluet riak laut pantai Kuta sangat menawan. Makin malam pengunjung makin ramai dan gelap menyapu hamparan pasir putih. Suasana teramat indah bila menjalin kekasih ditempat ini. Sambil menikmati, aku tak lepas melirik perempuan tadi. Dia masih ada, tapi ada yang menemani.

Perasaanku menjadi tidak enak. Apakah dia laki-laki?

Tanya berkecamuk karena malam makin malam. 

"Sama teman ya". Aku menggodanya.

"Ya mas. Dia teman kosku. Teman sekerja di villa Canggu".

Aku melirik. Jalan napasku lega. Karena kulihat seorang perempuan. Aku jadi bingung sendiri.

Mengapa aku harus cemburu? Perempuan itu kan bukan apa-apaku. Kenal saja baru. Ah, aku tak mengerti jua. Dalam kegundahan, aku hanya sempat meminta no hp, sebelum perempuan itu menjauh, meninggalkanku sendirian. Aku kesal. Aku memukul-mukul pasir laut. Mengapa aku tidak kenalan nama. Mengapa aku tidak tanya alamat. Mengapa? Mengapa berlarian dipikiranku, sambil tinggalkan pantai Kuta yang kian gelap. Hanya gemerlap lampu dipinggiran dan di hotel yang berjajar nampak indah. Aku mengambil motor menuju rumah.

Hari terus berlalu. Bayang perempuan itu setiap saat menghampiri ingatanku. Hanya lewat telpon kami sering berbincang. Perbincangan sebatas kerja di hotel. Ingin rasanya pertemuan pertama terulang lagi. Namun sebagai pekerja hotel, mencari waktu libur bukanlah hal yang mudah.

Mungkin ini namanya jodoh, kesetian terus terpaut walau hanya seringan lewat vidio call. Kami mencurahkan rasa cinta lewat untai kata-kata.

Sesekali kami bertemu langsung. Entah mengapa juga kami lebih suka bertemu di pantai. Hingga suatu waktu, kami sepakat bertemu di pantai Seseh.

"Aku sudah disini. Agak ketimur, dekat sungai".

Itu sms yg dia kirim. Aku bergegas berjalan ke arah itu. Dari jauh kulihat dia sendiri. Rambutnya tergerai hempasan angin.

"Hai, sudah tadi?.

"Nggak mas". Jawabnya singkat. Tangannya lincah menerbangkan pasir putih. Aku duduk

disampingnya, sambil menjulurkan botol minuman. Tangan halus putih, tiada ragu mengambil. Seiring deburan ombak, perbincangan kami tiada terputus. Hingga batas kata terakhir.

"Sinta, aku mencintaimu". Berbarengan dengan jari saling terpaut kata itu terucap. Santi menatap mataku. Ada buliran air mata yang tampak tersimpan. Tiada kusangka Sinta merebahkan kepala dibahuku. Desiran di dada menjalar, melebihi desir ombak di pantai. Hari terus berlalu. Bunga-bunga cinta kami pupuk, hingga pernikahan kami lalui dengan bahagia.

"Pa, teras ini nanti isi tirai ya. Biar aku bisa duduk di

pagi hari sambil berjemur sebentar dengan si kecil".

 "Ya, ma. Kita tunggu gajian bulan depan. Kita

isi tanaman gantung, biar suasana terasa santai". Istriku mengangguk, sambil menghentikan tangis si kecil. Rupanya dia merasa tidak enak basah, karena baru habis pipis.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tidak terasa dua tahun sudah usia putriku. Istriku mulai merengek minta bekerja lagi. Dia merasa jenuh tinggal di rumah. Masuk akal juga, dia tidak sempat menikmati suasana di luar rumah. Aku tidak tega juga mengurung istriku di rumah. Syukur ada bibi dari keluarga ibu tidak punya pekerjaan, sehingga dia kujadikan pengasuh di rumah.Seiring berjalannya waktu. Cerita indah berumah tangga kami lalui. Tawa dan tangis si kecil mewarnai rumah ini. Namun suatu saat ada hal yang berubah pada istriku. Dia mulai sering mangkel di rumah. Apalagi lepas kerja. Aku memaklumi. Dia pasti lelah setelah kerja. Punggungnya membelakangi tidurku sambil menyusui. Itu dia lakukan sering kali. Sebagai lelaki, rasa cemburuku tiada bisa disembunyikan.

Hingga suatu saat sambil duduk di teras. 

"Ma, rasanya kok mama beda sekarang". 

"Beda apanya. Kan bapak memulai. Sambil

menyodorkan, sms yang dia simpan, istriku berdiri dan langsung masuk ruangan. Sepintas sms itu ku baca. Ada satu kata, sayang yang tertulis dari teman kerjaku. Padahal itu kata hanya candaan melepas lelah dipengat kerja. Tapi aku merasa bersalah.

Esok hari aku duluan memulai. Tak ingin istriku menanggung beban. Aku ajak istriku menikmati pagi nan cerah di beranda.

"Ma, ni susu. Sudah bapak buatkan.

"Taruh diteras rumah. Aku menyusui". Jawab istriku kecut. Aku sabar menunggu hingga.

"Ma, beri kesempatan aku menjelaskan". Begitu aku memulai. Aku jelaskan dengan sejujurnya. Aku perlihatkan siapa temanku itu. Semua postingannya aku perlihatkan. Sampai aku beri dia kesempatan untuk menelpon. Malam pun tiba. Si kecil menikmati tidur malam. Malam ini cuaca agak dingin karena rintik hujan membasahi bumi. Perlahan aku tidur disebelah istriku. Aku memeluknya. Tapi tak sedikitpun berkata-kata. Tiba-tiba istriku berbalik, dan memelukku erat-erat, sambil berucap maafkan istrimu salah menepatkan cemburu padamu. Kesempatan baik tak ku sia-siakan. Aku memeluk dan membelai rambutnya. Dalam diam aku merenung. Syukur rumah mungilku tidak menjadi ajang prahara mahligai rumah tangga yang baru saja ku rintis. Hingga kami terbangun di ujung malam dalam pelukan.


Tabanan, 4-10-22



 


Nama : Drs. I Dewa Nyoman Sarjana, M.Pd

Alamat : Perum Griya Multi Jadi, Eksklusif IV nomor 24A, Desa Banjar Anyar, Kec.   

                          Kediri, Kab. Tabanan, Prov. Bali

Kode Pos : 82123

Nomor HP : 081338747756

Email : dewanyomansarjana@gmail.com


C:\Users\admin\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\20220622_182426.jpg


 

Cerpen ini menceritakan tentang seseorang yang baru membangun rumah tangga (berkeluarga). Mereka berusaha membangun ikatan rumah tangga, memulai membeli rumah kecil untuk berteduh. Suatu saat ada prahara kecil yang mengancam, karena kecemburuan. Namun setelah ada keterbukaan akhirnya mereka rukun kembali.


Posting Komentar

0 Komentar