Pertemuan antara puisi dan musik selalu menghadirkan percakapan yang hangat sekaligus reflektif. Di sebuah kesempatan penuh keakraban, saya, Fileski Walidha Tanjung, seorang penyair, berdialog dengan Ananda Sukarlan, pianis dan komponis internasional asal Indonesia yang karya-karyanya banyak melintasi batas disiplin seni. Kami berbincang mengenai bagaimana musik dan puisi dapat saling berkelindan, saling menghidupkan, dan bahkan membuka jalan bagi identitas budaya yang lebih luas. Dari festival sastra hingga konser musik klasik, dari promosi karya penyair di media sosial hingga tantangan vokalis muda dalam memilih repertoar, percakapan ini mengalir seperti simfoni—ada harmoni, ada pertanyaan reflektif, dan tentu saja ada ruang untuk merenungkan hakikat seni dalam kehidupan sehari-hari.
Fileski: Bang Ananda, saya penasaran, bagaimana Anda melihat peluang sinergi antara dunia musik klasik dengan dunia puisi? Apakah festival dan acara sastra bisa menjadi jembatan yang baik untuk itu?
Ananda Sukarlan: Sinergi bisa dimulai dari festival dan acara-acara. Sebetulnya seperti Pertemuan Penyair Nusantara (PPN XIII) kemarin di Jakarta itu oke banget, mereka mau mengundang saya menampilkan beberapa karya dari puisi. Saya juga beberapa kali di diundang oleh Ubud Writers and Readers Festival, Makassar International Writers Festival dan sekali di Payakumbuh Poetry Festival sih, dengan konten acara yang kira-kira sama. Intinya, para penyelenggara acara dan festival memiliki mindset bahwa "ada musik di dunia puisi, dan ada karya sastra di dunia musik".
Fileski: Menarik sekali. Kalau dari sisi Anda sendiri sebagai penyelenggara konser, apakah ada ruang bagi para penyair untuk ikut hadir, sehingga puisinya juga bisa dihidupkan di panggung musik klasik?
Ananda Sukarlan: Sebaliknya, saya pribadi juga mengundang para penyair ke konser saya yang menampilkan puisi mereka, cuma sayangnya saya tidak bisa mengundang yang lain karena biasanya konser saya berbayar, dan kami menutup ongkos konser kami dari penjualan tiket. Kalaupun eksklusif undangan, biasanya tempat terbatas. Di kompetisi yang saya terlibat pun selalu ada kategori tembang puitik. Kalau saja ada sponsor yang bisa "membelikan tiket" untuk para sastrawan, bakal keren banget. Jadi mereka bisa bersosialisasi dengan para pecinta musik (klasik, dalam kasus saya) dan itu membuka kemungkinan kolaborasi yang lebih intens dan kreatif.
Fileski: Dalam konser-konser yang Anda garap, bagaimana cara Anda memilih vokalis klasik yang tepat untuk membawakan karya berbasis puisi?
Ananda Sukarlan: Di konser-konser tersebut tentu saya mengajak vokalis klasik untuk menyanyi, biasanya pemenang kompetisi saya. Selain teknik vokal dan musikalitasnya terjamin mumpuni, mereka mempunyai pengetahuan yang cukup dalam dan luas dalam menginterpretasi puisi dan segala metaforanya. Saya senang dengan dua pemenang Ananda Sukarlan Award tahun ini, Ratnaganadi Paramita dan Wirawan Cuanda; kalau dari tahun-tahun sebelumnya ada Mariska Setiawan, Pepita Salim, Nikodemus Lukas (kalau di dunia pop namanya Tenor Nick Lucas), dan beberapa lainnya yang juga masih kuliah vokal di luar negeri. Kuliah di Eropa, vokalis harus belajar beberapa bahasa, jadi harus mengerti apa yang dinyanyikan, selain juga pengetahuan dasar sastra Eropa.
Fileski: Nah, berbicara soal vokalis, banyak yang masih bingung menentukan repertoar dari penyair Indonesia. Menurut Anda, apa pentingnya vokalis memiliki identitas atau personal branding lewat pilihan repertoarnya?
Ananda Sukarlan: Para peserta kompetisi vokal klasik sering masih bingung memilih repertoire nya yang dari penyair Indonesia. Padahal itu penting buat memapankan identitas dan apa yang membuatnya berbeda dengan vokalis lain. Ok, mereka harus menunjukkan teknik dan musikalitasnya, tapi apa lagi? Nah, menurut saya, mereka harus mulai fokus ke repertoire mereka, mau spesialisasi dalam hal apa. Bisa saja fokus ke identitas lokalitas, misalnya vokalis Jawa Timur ya banyak eksplorasi tembang puitik dari penyair Jatim, ya seperti Fileski sendiri, atau Nanang Suryadi, Effendi Kadarisman, Tengsoe Tjahjono (Malang), Sirikit Syah almarhum (Surabaya) dll, jadi ada "personal branding" atau "positioning" yang jelas. Kalau ada festival yang mau mengetengahkan budaya Jatim, ya undang saja si vokalis ini, misalnya. Atau mau fokus ke satu penyair, misalnya Sapardi Djoko Damono, ya bisa juga.
Fileski: Dari sisi penyair sendiri, apa yang sebaiknya dilakukan agar karya puisinya bisa lebih dikenal dan sampai ke tangan para vokalis klasik?
Ananda Sukarlan: Penyair juga harus mempromosikan karyanya, ditargetkan ke para vokalis klasik. Antara lain, kalau post di social media bisa tag saya saja, jadi saya bisa repost atau retweet posting mereka. Jadi para vokalis yang follow saya jadi tahu, ini penyair (yang namanya tertera di partitur di sebelah kiri atas, kalau yang kanan atas kan nama komponisnya) siapa sih, dan kemudian bisa google nama mereka jadi bisa mengenal lebih karya mereka, termasuk di mana mereka tinggal, usia dan lainnya. Fileski contoh yang baik, intinya mendeklarasikan "Ini lho, puisi saya sekarang sudah jadi tembang puitik".
Fileski: Apakah sekolah musik lokal juga punya peran dalam memperkenalkan sastra kepada para vokalis muda? Bagaimana cara terbaik menurut Anda untuk menghubungkan penyair dengan sekolah musik?
Ananda Sukarlan: Nah, sekolah musik lokal juga harus mengajarkan soal sastra ke murid-murid vokalnya. Kalau pianis atau saxofonis sih bisa saja tidak berhubungan dengan dunia sastra, tapi vokalis kan menyanyikan teks / kata-kata? Nah, itu siapa yang bikin? Itu harus didalami, bukan hanya teknik menyanyi saja. Untuk praktisnya, kenapa tidak mengundang sastrawan / penyair yang tinggal di daerah sekelilingnya? Kalau tidak kenal, kan tinggal google saja, hari gini loh? "Penyair Madiun", misalnya, dan kalau sudah ketemu namanya, cari saja social media nya, hubungi lewat situ kan? Sang penyair bisa diundang untuk bicara 1 jam gitu tentang karyanya, proses kreatifnya .
Fileski: Saya ingin tau perspektif bang Ananda dari sisi sejarah, apakah memang sejak dulu musik dan sastra memiliki hubungan yang erat? Bisa diceritakan beberapa contohnya?
Ananda Sukarlan: Sepertinya iya, karena kalau di bidang seni itu semua saling berkaitan dan menginspirasi. Tinggal derajat ketertarikannya saja yang berbeda. Frederic Chopin, misalnya, hanya menuliskan 19 karya vokal, dan semua berdasarkan puisi Adam Mickiewicz, padahal karya untuk pianonya ada ratusan. Sang pelopor alih wahana sastra ke musik malah lebih sedikit lagi, tapi karyanya menjadi monumental, yaitu Ludwig van Beethoven dengan Simfoni ke-9 yang menggunakan puisi Friedrich Schiller. Sebelum Beethoven (1770-1827) sih fenomena ini tidak terlalu kelihatan ya, pastinya komponis suka membaca karya sastra (karena saat itu belum ada smartphone dan social media!), tapi tidak terlalu termanifestasi ke dalam karya musik mereka, karena bentuk "art song" atau tembang puitik baru mapan di zaman Franz Schubert (1797-1828).
Fileski: Menarik juga kalau kita tarik ke era sebelum Schubert. Apakah benar karya sastra panjang lebih sering dijadikan opera, sementara puisi pendek jadi art song? Dan bagaimana pandangan Anda melihat perbandingan apresiasi seni di masa itu dan masa kini?
Ananda Sukarlan: Biasanya di zaman sebelum Schubert, karya sastra yang panjang lah yang dijadikan opera yang panjangnya lebih dari 1 jam, bukan tipe art song yang bisa bahkan sependek 2 menit, atau rata-rata 3-6 menit. Bayangkan, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) berkata "Man sollte alle Tage wenigstens ein kleines Lied hören, ein gutes Gedicht lesen, ein treffliches Gemälde sehen, und, wenn es möglich zu machen wäre, einige vernünftige Worte sprechen" (Manusia setidaknya harus mendengarkan sedikit musik setiap hari, membaca puisi yang bagus, melihat lukisan yang indah, dan, jika memungkinkan, mengucapkan beberapa kata yang bijak." Ini di era sebelum ada internet bahkan rekaman lho, jadi kalau mendengarkan musik dan melihat lukisan harus keluar rumah, ke gedung konser dan galeri lukisan! Bisa dibayangkan betapa mundurnya masyarakat kita, kan? Bahkan tinggal angkat handphone saja ada yang malas membaca!
Ananda Sukarlan: Fileski sendiri, apakah terinspirasi dari musik (genre apapun) dalam menulis?
Fileski: Tentu, bang Ananda, musik sangat berperan dalam proses kreatif saya menulis puisi. Saya sering terinspirasi dari musik klasik karena struktur dan kedalaman emosinya memberi ruang bagi imajinasi saya untuk menafsirkan rasa dengan lebih subtil, tetapi di saat yang sama saya juga akrab dengan jazz yang improvisatif serta musik tradisi Nusantara yang kaya ritme dan warna lokal. Semua itu kadang hadir secara sadar, kadang hanya jadi gema yang samar, tapi tetap mengalir ke dalam diksi dan metafora. Jadi bisa dibilang, puisi saya tumbuh dari pertemuan berbagai bunyi: ada yang teratur seperti simfoni, ada yang cair seperti jazz, dan ada pula yang berakar pada getar gamelan atau tembang Jawa yang biasa saya dengarkan dari akar budaya lokal saya.
*****
Percakapan saya dengan Ananda Sukarlan membuka mata bahwa seni tidak pernah berdiri sendiri. Musik dan puisi, sebagaimana ditegaskan olehnya, memiliki urat nadi yang sama: getar emosi manusia. Ketika sebuah puisi dihidupkan kembali melalui suara vokalis atau denting piano, maka lahirlah pengalaman estetis yang bukan hanya milik penyair atau komponis, melainkan milik siapa saja yang mendengarnya.
Saya pun bertanya pada diri sendiri, dan semoga juga pada pembaca: sejauh mana kita, manusia modern yang sibuk dengan gawai dan rutinitas, masih mampu membuka ruang dalam diri untuk mendengarkan getaran halus itu? Apakah kita masih rela memberi waktu untuk membaca satu puisi, atau mendengar satu komposisi musik dengan sungguh-sungguh, tanpa terburu-buru? Apa yang akan hilang dari hidup kita jika seni absen?
Goethe pernah mengingatkan bahwa manusia setidaknya harus mendengar musik, membaca puisi, melihat lukisan indah, dan mengucapkan kata-kata bijak setiap hari. Itu bukan sekadar nasihat estetis, melainkan panggilan untuk merawat jiwa. Dan saya percaya, jiwa hanya bisa diberi makan oleh keindahan.
Akhirnya, saya sampai pada refleksi sederhana namun mendalam: puisi mengajarkan kita kata-kata, musik mengajarkan kita keheningan; keduanya bersama-sama mengajarkan kita arti menjadi manusia. (*)
Via Daring: Jakarta-Madiun, 6 Oktober 2025
0 Komentar
Lingkar literasi, sastra, dan seni budaya Asia Tenggara serumpun Bahasa.