005

header ads

KELAS SENI BUDAYA BERSAMA FILESKI MEMANG BEDA

Suasana penuh tawa ceria dan lantunan lagu dan gerak tari dari para siswa di siang itu. Tak ada anak yang terlihat murung atau pusing karena lelah menerima pelajaran di kelas, salah satu siswa kelas 12  sedang menulis  tentang fenomena budaya yang terjadi di lingkungannya, tentang kesenian tradisi yang sudah tak lagi dimainkan oleh masyarakat di desanya. Semester ini ia memilih riset mengenai kesenian tradisi yang mulai punah. Semester lalu aku riset soal teknik melukis menggunakan tangan tanpa kuas. Duduk di sampingnya, satu siswa tengah meriset soal Tari kontemporer, ia sedang membuat sketsa seorang penari berkostum futuristik. Ada juga yang belajar soal teknik bernyanyi, dan teman-teman lain yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak ada komando dari guru untuk wajib mempelajari kesenian tertentu yang diseragamkan, begitulah rutinitas sehari-hari dalam pembelajaran seni budaya yang diampu Walidha Tanjung Files, di SMAN 2 Madiun. 

 


Pelajaran seni budaya yang dilakukan Tanjung Files,  ini membalik tatanan pembelajaran seni budaya yang selama ini kita tahu. Tanjung Files (akrab disapa dengan nama beken Fileski), memulai pembelajaran dengan cara yang berbeda, yaitu berbasis riset. Jika di sekolah-sekolah pada umumnya, tiap semester anak-anak wajib mengikuti pelajaran seni yang diseragamkan oleh gurunya, sesuai bakat dan minat gurunya, di sini mereka memilih sendiri cabang seni dan topik riset mereka, baru mengembangkan risetnya ke pengetahuan lain. Misalnya, dari riset soal lukisan Davinci,   ia jadi harus belajar juga soal sejarah renaissance, hingga revolusi industri, bahkan soal roda ekonomi yang bergulir di isu soal misteri di balik karya lukisan Monalisa. Dari satu topik, pengetahuan meluas meliputi berbagai macam hal. Dengan metode seperti ini, pengetahuan yang muncul adalah pengetahuan yang benar-benar dibutuhkan oleh siswa. Tak akan ada pertanyaan galau macam “Kemaren itu susah-susah latihan musik gunanya buat apa ya, toh hasilnya tidak maksimal jika tidak sesuai bakat dan minat siswa”. 

 

Menurut Fileski, dengan riset, anak-anak jadi punya pemikiran kritis dan punya solusi. Karena mereka memilih sendiri topiknya, jadi tidak ada pengetahuan yang dipaksakan. Bahkan banyak dari mereka yang sudah punya penghasilan sendiri, misalnya yang berbakat menyanyi bisa meraih juara dan mendapat hadiah uang yang lumayan besar, yang bisa melukis sudah bisa memasarkan produk karya lukisannya sendiri.  Setiap akhir tahun pelajaran ada kegiatan bernama Pekan Apresiasi di mana siswa-siswanya boleh menjual produk hasil buatan mereka sendiri, dan unjuk kebolehan mereka di bidang seni pertunjukan. Dengan harapan para wali murid mengapresiasi dan membeli produk para siswa dengan harga yang relatif terjangkau karena langsung dari produsen ke konsumen tangan pertama. 

 

Menurut Fileski, kurikulum seni budaya yang ada justru dianggap seperti kotak yang membatasi insting eksplorasi siswa. Tak cukup dengan diberi batas, siswa dipaksa memenuhi beban nilai yang sangat berat, karena harus menuruti kemampuan guru, bukan mengikuti bakat dan minatnya sendiri. MIsalnya harus belajar tari karena gurunya hanya bisa nari,  itu ngapain? Untuk apa? Harusnya kan mereka belajar soal diri sendiri, potensi diri, misal bakatnya di musik ya memperdalam musik, bukan buang-buang waktu belajar tari, sesuai kebutuhan dasar masing-masing,” ujar Fileski. 

 

Kesadaran Fileski soal model pendidikan seni budaya yang tidak efektif pertama kali muncul saat ia masih duduk di bangku SMP hingga SMA,  Saat itu ia menjadi salah satu siswa yang terpaksa harus membuat karya seni rupa yang baginya cukup sulit karena potensinya di bidang seni pertunjukan teater dan musik. Meskipun sering menang lomba, tetap nilai pelajaran keseniannya tidak mendapatkan angka yang memuaskan karena bakat dan potensinya dalam berkesenian tidak dihitung sebagai nilai rapor, hanya dianggap sebagai prestasi non akademis. Padahal kita tahu segala yang terkait mapel seni budaya itu akademis, bukan non akademis.  Akhirnya, pada 2019 ketika ia mulai menjadi guru seni budaya, iya lakukan pembelajaran seni budaya yang merdeka, diferensiasi sesuai minat dan bakat masing-masing siswa.  

 

Sebetulnya dalam lingkup yang lebih luas, banyak sekolah yang tidak sesuai dengan potensi yang ada, baik dari diri siswa dan lingkungan yang ada. Sebelum mengajar di sekolah, ia pernah merantau di berbagai pelosok Nusantara. Ia melihat, orang di desa tidak termotivasi untuk menyekolahkan anak mereka, karena biasanya ketika anak sudah jadi siswa sekolah, mereka tidak mau lagi membantu keluarga di sawah. “Kita itu negara agraris, tapi pemerintah malah bikin program cuci tangan dengan sabun, kesannya tanah itu jadi kotor dan tidak higienis. Anak jadi jauh dengan sawah. Di Papua juga, dulu kaki-kaki mereka nggak apa-apa kena duri di hutan, tapi sejak ada sekolah lalu mereka wajib pakai sepatu kaki jadi manja, malah nggak biasa masuk hutan lagi. Padahal itu lingkungan mereka. Menurut saya, sekolah justru mencabut mereka dari akarnya, menjauhkan mereka dari lingkungan dan kehidupan yang sesungguhnya,”

 

Dalam pembelajaran seni budaya bersama Fileski, ia terlihat tidak berperan sebagai guru yang selalu menggurui, namun terlihat seperti seorang fasilitator. Tugasnya hanya mendampingi riset yang dilakukan oleh siswa. Ia bahkan tak  mengatur jalannya kelas. Setiap kelas akan punya warna yang berbeda-beda meskipun mereka satu angkatan. Karena kelas berjalan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh siswanya sendiri.   Selama risetnya, anak-anak dibatasi menggunakan gadget. Buku dan narasumber dijadikan rujukan pertama, baru jika sudah benar-benar kesulitan siswa boleh menggunakan gawai berinternet. Di akhir semester, hasil riset dipresentasikan dalam berbagai bentuk seperti pameran atau pertunjukan. Dengan metode seperti ini, anak-anak dilatih untuk memerdekakan diri mereka. Belajar apa yang mereka sukai, menemukan pengetahuannya sendiri.

 

Satu-satunya batas yang diberikan ke anak adalah pemilihan topik riset, yaitu harus sesuai dengan minat dan bakatnya sendiri, dari apa yang sehari-hari mereka lihat dan lakukan “Masak iya mau riset soal tari, padahal sehari hari bermain piano di rumah.  “Di sini saya jadi menghargai proses anak-anak, ada yang cepet, ada yang lambat. Di titik itu saya mengerti anak-anak berkembang dengan cara sendiri-sendiri,” ujar Fileski.

 

Meski pembelajaran seni budaya bersama Fileski terlihat sangat sporadis, sebenarnya Fileski merancang pengetahuan pokok yang wajib ada pada siswa, yakni memaksimalkan bakat yang dimiliki, dan tidak membebani siswa yang kurang berbakat dalam bidang seni, karena setiap siswa berbakat di bidang yang beragam, tidak hanya bakat dalam bidang seni. Hal tersebut yang menopang dan berhubungan langsung dengan kehidupan keseharian kita.

 

Fileski percaya bahwa cara belajar dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh setiap anak itu berbeda. Penyeragaman dalam pembelajaran seni justru akan mematikan potensi dan kepribadian anak itu sendiri. Maka kalau anak terjebak pada sistem  tersebut, bukan tak mungkin ia hanya akan jadi seperti sekrup-sekrup di pabrik yang kapan saja bisa diganti dengan mudahnya. Pendidikan kita yang praktikal dan generik mengarahkan kita jadi produk-produk industri, seperti yang diilustrasikan Pink Floyd di lagu “Another Brick in The Wall”. Seolah antara ‘terpelajar’ dan ‘berijazah’ adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

 

“Pemerintah kita nggak mendesain pendidikan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Penyeragaman itu kan sebenarnya menodai slogan itu sendiri. Pendidikan di sini sama di Papua kan harusnya beda, tapi sekarang disamakan. Kalau standarnya dibuat satu, jadinya memarjinalkan. Itu luar biasa bahaya,” 

 

Menurutnya, harusnya pemerintah cukup menentukan capaian atau kompetensi dasar untuk pendidikan, “Cukup blueprint-nya aja, prakteknya harusnya diserahkan pada institusi pendidikan. Nah tiap sekolah harusnya punya visi misi sendiri, jadi yang daftar juga berarti sepakat dengan visi institusi itu.”

 

“Sekolah itu harus kritis, kalau enggak nanti kayak sekolah gajah. Gajah dulu kan ngamuk pas hutan mereka dirusak, eh setelah dididik, sekarang mau disuruh ngangkutin gelondongan kayu atau main sirkus. Kalau nggak kritis, kita cuma akan jadi buruh-buruh aja. Nggak punya inisiatif, nggak punya ketrampilan, nggak punya ciri khas masing-masing. Seharusnya kita menghindari penyeragaman dalam bentuk apapun.”

 

Ditulis oleh Fileski yang terinspirasi dari berbagai referensi pola pembelajaran sekolah alternatif. 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar