Esai karya Fileski Walidha Tanjung
Di tengah lanskap sosial yang kian mendesak kecepatan sebagai nilai mutlak, JNE muncul bukan hanya sebagai entitas bisnis pengiriman barang, tetapi sebagai laku budaya yang menyimpan makna lebih dalam tentang relasi, ruang, dan waktu. Tema “JNE Melesat SAT SET: Inspirasi Tanpa Batas” sejatinya bukan sekadar slogan korporat, melainkan jendela menuju tafsir baru atas dunia yang terus bergerak—tentang bagaimana sesuatu yang kita anggap sederhana seperti “paket sampai tujuan” ternyata menyimpan narasi panjang tentang perjuangan, harapan, dan bahkan eksistensi.
JNE tidak sekadar mengantarkan paket. Ia mengantarkan harapan seorang ibu yang menitipkan sebotol jamu tradisional kepada anaknya di kota besar. Ia menjembatani penjual kecil di pelosok Papua dengan pembeli di Jakarta. Di balik kode resi dan estimasi waktu, ada denyut kehidupan yang bergetar pelan namun pasti. Mengutip Paul Virilio, filsuf Prancis yang menelaah kecepatan dalam konteks teknologi dan logistik, “to invent the ship is to invent the shipwreck.” Dengan kata lain, setiap inovasi transportasi atau pengiriman selalu membawa konsekuensi dan ketegangan sosial tersendiri. Maka, kecepatan yang dijanjikan JNE bukan semata tentang “secepat mungkin,” tetapi juga tentang bagaimana membangun kepercayaan sosial dalam konteks keterpisahan geografis yang ekstrem.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk dan terfragmentasi secara geografis, peran JNE menjadi semacam jembatan kultural. Sebuah perusahaan logistik, dalam pengertian ini, bertransformasi menjadi institusi pemakna: bukan hanya pengantar barang, tetapi penghubung sejarah. Apa yang disebut sebagai “JNE Reguler” atau “JNE YES” bukan hanya klasifikasi layanan, melainkan cermin dari kompleksitas kebutuhan manusia dalam menjangkau satu sama lain. Seperti kata Martin Heidegger dalam Being and Time, kita adalah makhluk yang “selalu berada dalam dunia” (being-in-the-world), dan dalam dunia yang penuh sekat ini, JNE mengambil peran sebagai agen eksistensial yang membantu manusia tetap terhubung.
Namun demikian, dalam dunia logistik yang dipenuhi jargon efisiensi, seringkali kita lupa bahwa di balik sistem algoritmik yang mengatur rute dan waktu pengiriman, ada manusia—kurir-kurir yang melintasi hujan dan panas, menempuh jalan berlumpur atau terjal, demi sebuah “tiba”. Di sinilah narasi menjadi penting. JNE adalah tempat di mana narasi-narasi kecil—yang sering tak terdengar dalam wacana besar pembangunan—dapat bersuara. Bahwa SAT SET bukan hanya tentang bergerak cepat, tapi tentang keberanian menghadapi medan, merayakan kerja keras, dan mempertahankan nilai-nilai komunal.
Kita hidup dalam zaman yang digambarkan Zygmunt Bauman sebagai “masyarakat cair” (liquid society), di mana segala bentuk kepastian menjadi rapuh dan sementara. Di tengah derasnya disrupsi digital, JNE tetap berdiri sebagai institusi yang menyatukan nilai lama dan baru. Ia memanfaatkan teknologi tanpa menanggalkan kemanusiaan. Keberadaan lebih dari 8.000 titik layanan JNE di seluruh Indonesia menunjukkan semangat untuk tidak meninggalkan siapapun di belakang. Inilah bentuk konkret dari prinsip keadilan spasial—sebuah prinsip yang jarang dibahas dalam diskursus pembangunan—bahwa distribusi layanan harus merata, dari pusat kota hingga pulau terluar.
Inspirasi tanpa batas bukanlah klaim utopis jika kita memahami keterhubungan sebagai sebuah etika. Dalam hal ini, JNE menjadi institusi yang bekerja dalam ranah etika keruangan: ia tidak hanya hadir di ruang, tetapi juga menghidupkan ruang. Kantor JNE di sebuah desa terpencil bukan hanya tempat menerima paket, tetapi juga titik temu sosial, tempat warga berbincang, bertukar kabar, bahkan membangun ikatan yang selama ini retak oleh waktu dan jarak. Di sini, kita melihat paket sebagai artefak: benda yang mengandung cerita dan relasi.
Seorang anak yang menerima buku dari kakaknya yang merantau bisa memaknai pengiriman itu sebagai bentuk cinta. Seorang suami yang mengirimkan selimut hangat kepada istrinya di pegunungan bisa memaknai paket itu sebagai bentuk kehadiran dalam ketiadaan. Dalam esai ini, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat JNE sebagai lebih dari sekadar perusahaan pengiriman. Ia adalah metafora dari sebuah janji yang ditepati, sebuah proses yang melibatkan iman kepada waktu.
Namun tentu, tidak semua berjalan mulus. Kritik atas ketidaktepatan waktu kirim, barang rusak, adalah bagian dari narasi besar ini. Justru dalam pengakuan akan kekuranganlah, JNE bisa tumbuh dan mempertajam orientasi etiknya. Transparansi dan keberanian untuk terus berinovasi adalah kunci dari semangat SAT SET. Dalam diskursus logistik global, perusahaan yang berhasil bukan hanya yang tercepat, tetapi yang paling dipercaya. Kepercayaan itu bukan dibangun dengan iklan, tetapi dengan konsistensi dalam kerja-kerja kecil yang tak terlihat.
Dalam dunia yang semakin virtual, kehadiran fisik—baik manusia maupun benda—menjadi langka dan karenanya sangat berarti. JNE menjadi pengingat bahwa dalam banyak hal, hidup adalah tentang menunggu sesuatu tiba. Kita menunggu kabar, menunggu jawaban, menunggu perubahan. Dalam setiap paket yang datang, terkandung simbol bahwa harapan itu nyata dan bisa disentuh. Sebagaimana yang dikatakan Hannah Arendt, “The essence of human rights is the right to appear, to be seen, to be heard.” Maka dalam setiap pengiriman, JNE membantu seseorang untuk ‘muncul kembali’ dalam kehidupan orang lain.
Apakah mungkin kita memaknai ulang logistik bukan sekadar rantai distribusi, melainkan sebagai jaringan naratif? Apakah mungkin kita membayangkan kurir bukan hanya sebagai pekerja, tetapi sebagai penyampai cerita, sebagai penjaga kepercayaan antar manusia? Dalam bayangan saya, SAT SET bukan hanya tentang cepat, tetapi tentang sigap—dan lebih dari itu, tentang hadir. Hadir dengan segenap makna, dengan segenap tanggung jawab, dan dengan segenap cinta.
Sebagai penutup, saya ingin mengajukan satu pertanyaan reflektif: dalam dunia yang semakin cepat dan terhubung ini, apakah kita benar-benar sudah saling sampai? Ataukah kita hanya mengirimkan benda-benda tanpa pernah benar-benar hadir satu sama lain? JNE, dalam seluruh denyut operasionalnya, memberi kita peluang untuk kembali bertanya: bukan hanya “sampai di mana,” tapi juga “sampai membawa makna.” (*)
Fileski Walidha Tanjung adalah seorang penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis puisi, esai, dan cerpen di berbagai media nasional.
#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280