oleh Fileski Walidha Tanjung
Musik di Indonesia bukan sekadar seni suara yang lahir dari ruang hiburan. Ia adalah artikulasi sejarah, proyeksi identitas, dan medan tafsir yang tak pernah final. Dari tabuhan gamelan yang bergema di keraton Jawa hingga dentuman bass pada panggung konser rock Jakarta, musik Indonesia telah menjelma menjadi naskah hidup yang mencatat segala denyut peradaban—dengan segala dinamika, kompleksitas, dan paradoksnya.
Jika kita menelusuri jejak mula, musik di Nusantara lebih menyerupai mantra ketimbang hiburan. Ia tumbuh dalam ritus, dalam sakralitas. Gamelan bukan sekadar alat musik, melainkan perangkat kosmologis. Dalam gamelan, tidak ada satu instrumen yang dominan—semuanya saling mendukung, menciptakan harmoni dalam diferensiasi. Filosofi ini menandai struktur sosial dan spiritual masyarakat tradisional. Claude Lévi-Strauss menyebut mitos sebagai “a machine for the suppression of time”—dalam konteks ini, gamelan dapat dipahami sebagai alat yang membekukan waktu, memperpanjang momen sakral menjadi narasi musikal yang menyatu dengan jagat.
Namun modernitas membawa keterputusan. Awal abad ke-20 memperkenalkan paradigma musik baru melalui kolonialisme dan globalisasi. Musik mulai dilepaskan dari fungsi ritusnya, masuk ke dalam dunia pertunjukan dan industri. Rekaman pertama yang diproduksi di Hindia Belanda bukan lagu rakyat, melainkan keroncong, genre yang lahir dari perkawinan antara musik Portugis dan lokalitas Indonesia. Keroncong menjadi paradoks: ia musik hibrida yang justru dipakai sebagai lambang nasionalisme. Dalam nyanyian keroncong, kita menyimak bagaimana kolonialisme justru menghasilkan ekspresi anti-kolonial.
Masuk ke era kemerdekaan, musik Indonesia mengalami akselerasi estetika. Genre pop, rock, jazz, dangdut, hingga indie memperkaya spektrum musikal kita. Namun, apakah keberagaman ini benar-benar menandakan kebebasan? Atau justru gejala komodifikasi masif yang menihilkan makna? Di sinilah pertanyaan kritis perlu diajukan: sejauh mana musik Indonesia hari ini masih merupakan cerminan kejujuran estetik, dan bukan sekadar salinan dari formula pasar global?
Musik pop Indonesia hari ini berada dalam situasi ambivalen. Ia mengalami kebangkitan kreativitas digital, namun juga kerap terjebak dalam polarisasi algoritma. Di satu sisi, musisi seperti Hindia, Nadin Amizah, atau Efek Rumah Kaca menyuguhkan lirik-lirik eksistensial yang menggugah. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang mengikuti pola mekanistik pasar, menciptakan karya dengan kalkulasi “clickability”, bukan keberanian artistik. Jean Baudrillard pernah menulis, “we live in a world where there is more and more information, and less and less meaning.” Apakah musik kita juga bergerak ke arah yang sama—penuh suara, namun sunyi makna?
Jazz di Indonesia menghadirkan fenomena menarik: sebuah genre yang dahulu begitu elitis kini menjadi bahasa lintas kelas dan ruang. Ia hadir di warung kopi, ruang akademik, hingga panggung festival. Namun jazz di Indonesia bukan hanya perkara teknikalitas. Ia adalah medan improvisasi, ruang subversi dari struktur yang mapan. Di tangan musisi seperti Indra Lesmana atau Dwiki Dharmawan, jazz menjadi pernyataan estetik yang membebaskan. Dalam hal ini, jazz Indonesia merepresentasikan politik suara—suatu bentuk perlawanan melalui harmoni.
Pengaruh budaya asing dalam musik Indonesia adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Namun penerimaan ini tak selalu bersifat pasif. Musik Indonesia kerap menyerap, mengolah, dan mendaur ulang pengaruh asing menjadi bentuk yang otentik. Lihatlah bagaimana dangdut menyerap irama India, Timur Tengah, dan Melayu, namun tetap memiliki distingsi yang khas. Dalam bukunya Imagined Communities, Benedict Anderson menulis bahwa bangsa adalah komunitas terbayang yang dibentuk melalui media dan narasi. Maka musik, sebagai narasi bunyi, turut memainkan peran penting dalam membayangkan keindonesiaan. Bukan keindonesiaan yang statis, melainkan keindonesiaan yang cair, kompleks, dan terus bergerak.
Namun persoalan terbesar kita bukan terletak pada jumlah genre, melainkan pada ketimpangan ruang bagi musik alternatif dan eksperimental. Di tengah dominasi label besar dan platform streaming, bagaimana nasib musik-musik yang tidak “ramah algoritma”? Musik yang politis, yang minor, yang disonan? Apakah kita telah menciptakan ruang apresiasi yang adil? Di sinilah esai ini ingin mengusulkan tafsir baru: bahwa musik Indonesia seharusnya tidak hanya dilihat sebagai hiburan atau komoditas budaya, melainkan sebagai epistemologi alternatif—cara lain memahami kenyataan, membongkar narasi dominan, dan merayakan keberagaman makna.
Apa yang bisa ditimba dari sebuah lagu? Mungkin bukan hanya kenangan, tapi juga kesadaran. Kesadaran bahwa bunyi bukanlah semata getaran fisik, tetapi juga gelombang ideologis. Dalam dunia yang kian cepat dan bising, mungkin kita perlu mendengar ulang. Bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan kesadaran penuh. Dalam konteks ini, musik Indonesia bukan hanya warisan atau produk industri, tetapi ladang kontemplasi.
Akhirnya, kita harus berani bertanya: apakah kita benar-benar mendengarkan musik, atau hanya membiarkannya menjadi latar belakang dari hidup yang semakin terputus dari kedalaman? Apakah mungkin, dalam era kecepatan dan distraksi ini, musik masih bisa menjadi jalan pulang menuju diri sendiri—sebuah ruang hening di antara kebisingan dunia? Mungkin, seperti puisi, musik tak pernah benar-benar selesai dimaknai. Ia menunggu pembacaan baru, dengan kesadaran yang lebih utuh. Dan mungkin di sanalah, letak kebebasan sejati yang bisa kita raih—melalui irama, kita menemukan kembali makna yang sempat hilang dalam hidup.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA +62 811-8860-280