005

header ads

Cerpen : Februari | Muhamad Subchi.

 Judul: Februari

Karya: Muhamad Subchi.


Kau senantiasa mengurung tubuhmu dalam ruangan kecil, tempat di mana orang-orang bilang adalah tempat meringkuk. Di ruangan yang menghadap matahari terbit itu kau menata barang-barangmu sedemikian yang kausuka: tempat tidur ditempatkan di bawah jendela (agar kau bisa memandang puas bulan dan bintang), di samping tempat tidur sebelah utara ada sebuah meja yang dulu kaugunakan untuk belajar, dan sebelah baratnya kautempatkan lemari dengan pintu besar bercermin yang menghadap ke pintu masuk.

Kau masih dalam posisimu yang membelakangi lemari berpintu cermin itu. Di situ adalah tempat kesukaanmu, atau, lebih ke dunia kesukaanmu. Karena di situ--dari cermin--kau bisa melihatnya, perempuan yang kaucintai. Biasanya kaupandangi cermin itu, kaupeluk, dan kau juga menciuminya. Terkadang tiba-tiba kau tersadar, membuatmu merasa seperti orang gila. Namun kau menyangkalnya sendiri, bahwa itu hanya kesadaran yang tak benar, terlebih kau bisa melihatnya dengan matamu sendiri tanpa perkataan dari orang lain. Dan kau menegaskan bahwa ia hanya terperangkap dalam cermin.

"Kau masih saja tampan, seperti dulu." Suara itu muncul, tepat seperti jarak sepuluh sentimeter dari telingamu. Suaranya yang memanjakanmu; salah satu alasan yang kaugunakan untuk mencintainya selain wajahnya. Kau masih setia padanya. Walau duniamu dengannya berbeda, ia tetap di hatimu. Terbukti dari perilakumu yang tak mau keluar rumah, sekadar mengunjungi rumah tetangga, atau nongkrong bersama teman seusiamu, atau bekerja pada orang lain, itu tak kaulakukan.

"Tampan ...." Kau tersenyum. "Kau juga masih cantik seperti dulu, tak ada perubahan dari dirimu: rambutmu yang berkilau senja, iris matamu yang bening, sehingga pupil matamu tampak begitu pekat. Lalu tubuhmu ...."

"Cukup!" Perempuan dalam cermin itu menggertak. Kau kaget, kau lupa sesuatu yang ia tak suka. Lalu, telingamu mendengar lagi, "Kau pasti mau menyamakan tubuhku seperti Ariana Grande, 'kan? Perempuan yang kau idolakan itu. Ingat aku ini kekasihmu, bukan Maria yang tubuhnya seperti idolamu. Memang benar aku tidak bisa kaupeluk, sedangkan Maria bisa. Apa kau sudah punya keniatan menjadikannya sebagai penggantiku?"

Kau cengengesan mendengarnya, lalu kaubalikkan badanmu. Kau melihatnya, di dalam cermin yang nyaris tak ada pantulan dirimu. Malahan yang terpantul adalah bayangan kekasihmu, Delusi. 

Bayangan itu sama seperti yang kaulakukan sebelumnya, membelakangimu. Tapi sekarang ia memutarkan kepalanya sembilan puluh derajat, menampakkan seorang perempuan yang mempunyai muka layaknya boneka barbie. Matanya menatapmu tajam, dan bibirnya mencibir. Mungkin ia mau menanyakan alasanmu tersenyum, tapi tak kautunggu ia membuka mulut.

"Kau cemburu, Sayang?" katamu yang masih setengah cengengesan. Ia melengos, tak menjawab pertanyaanmu. Kautahu dari dulu ia tak akan menjawab pertanyaan seperti itu.

"Sebenarnya tadi aku mau mengatakan tubuhmu yang mungil, aku tak pernah mempermasalahkannya. Positifnya, jadi mudah kupeluk, rapat dan hangat. Aku tetap cinta, buktinya aku selalu di sini, di sisimu, menemanimu." Perempuan itu diam, kau berasa lega, kau menduga berhasil menenangkannya. Maka tubuhmu kembali memunggunginya.

"Jeff." Suara itu terdengar berbisik. "Aku dingin di sini."

Kau mendengar itu. Telingamu menangkap seperti rintihan. Kau ingin sekali mendekatinya, dan langsung memeluknya. Namun, karena duniamu berbeda, kau tak bisa apa-apa. Hatimu berasa seperti ditusuk ribuan jarum. Kau bangkit dari tempat dudukmu, lalu melangkah setengah berlari menuju jendela. Tanganmu menyibak gorden, dan ....

Ah, cahaya matahari menembakmu. Lagi-lagi kau lupa tak menepi ke sisi jendela mengikuti gorden yang kausibak. Kau mengecilkan irismu. Dengan bodohnya otakmu lupa mengingatkan bahwa kamarmu menghadap matahari terbit.

"Bagaimana, apa kau merasa hangat?" tanyamu pada Delusi.

Hening. Telingamu tak mendapatkan suara indahnya. Kautoleh kepalamu. Matamu memandang cermin di lemarimu, tapi tak kautemukan sosoknya. Kau menepuk jidatmu--mengingat bahwa kelasihmu takut pada cahaya matahari.

Hatimu merasa tak betah di dunia nyata karena kau membiarkannya di dunia lain sendirian. Kau ingin sekali menemaninya lebih dekat, terlebih ibumu yang terus-menerus ingin menjodohkanmu denagn Maria, tetanggamu. Katanya saat ditawari menikah denganmu dengan senang hati ia mau. Kau pun menegaskan apakah cinta sudah tak ada artinya lagi dalam sebuah hubungan? Apakah dalam sebuah hubungan harus dijodohkan seperti orang zaman dahulu? Berkali-kali kau menegaskan lagi bahwa hidup dalam sebuah hubungan sama saja mengekang diri sendiri, memenjarakan hati untuk mengikuti sebuah takdir yang dipilih oleh orang yang kauikuti.

Tanganmu kembali meraih gorden dan menarik ke asalnya. Kemudian kau berbalik duduk di depan lemari. Lebih tepatnya di depan cermin. Perempuan itu belum terlihat lagi, apakah ia sudah pergi? pikirmu. Persis seperti sebelumnya, punggungmu kaumanjakan bersandar di depan cermin. Di menit berikutnya kaubergumam, "Maafkan aku."

Tiba-tiba ada sesuatu yang bergetar di saku celanamu. Oh, sebuah ponselmu ternyata. Kau baru ingat benda pipih itu tertidur di sana.

"Aku sudah di depan rumahmu," katamu saat membaca pesan singkat yang muncul pada layar ponselmu. Kau malas setelah itu. Tombol daya kaupencet lama, membuat benda pipih yang semula menyala itu meredup dengan sendirinya. Dengan cepat kaulempar begitu saja benda itu ke tempat tidur.

"Kenapa tidak kaubalas pesannya." Suara itu muncul lagi. Delusi sudah ada di belakangmu. Bibir hitammu, kautarik ujungnya setelah kautengok ke cermin. Kau mendapat balasan dari balik cermin itu.

"Dari Maria," jawabmu, "dia datang."

"Sepertinya dia serius denganmu. Apa kau tidak ada niat bersamanya?"

"Tidak perlu. Bersamamu aku sudah bahagia."

"Setelah kupikir mungkin kau harus menerimanya, mengikhlaskanku pergi, Jefri."

"Itu tidak akan terjadi. Kaulah satu-satunya."

"Beberapa hari--atau mungkin besok, aku akan dijemput malaikat. Menghadap-Nya. Itu pasti terjadi."

"Kau akan meninggalkanku?"

"Itu pasti terjadi. Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, tapi ketetapan Tuhan tidak bisa dihindari. Aku ingin lari, aku ingin hilang dari-Nya tapi tidak bisa. Aku hanyalah makhluk kecil di tangan-Nya. Bahkan sangat kecil. Tapi bagaimanapun Tuhan tetap menyayangiku. Mau bagaimana tubuhku, mau wajahku jelek ataupun cantik ... dan berapa banyak amalku. Entah nanti aku berada dalam surga atau neraka, yang pasti aku ada di salah satunya. Dan Tuhan tidak akan membuangku, Dia tetap menganggapku makhluk-Nya."

 Matanya berkaca-kaca. Ada getaran di hatimu ketika kaulihat matanya, kau pun seolah-olah merasakan apa yang Delusi rasakan. Kau tidak membalas omongannya.

"Kautahu, Sayang ...." telingamu menangkap suaranya bergetar. "Di kala kau tidak bersamaku, aku selalu membayangkanmu: matamu, senyummu, dan tubuhmu yang dulu kekar. Sekarang kau kurus, rambutmu gondrong, tapi hanya kulitmu yang tidak berubah; putih. Keadaanmu sekarang semua gara-gara aku, yang tidak bisa kausentuh. Semua berawal pada hari itu ...."

"Cukup!" Kau yang menggertak kali ini, perempuan itu diam. "Sudah kubilang jangan menyalahkan seolah-olah kau yang salah, dan jangan lagi mengungkit kejadian itu!"

Keadaan hening kembali. Kau jadi teringat kejadian itu. Kejadian nahas yang kaulihat sendiri sewaktu kencan dengannya. Itu adalah kencan terakhirmu. Pada waktu itu kau mengajaknya pergi ke suatu tempat. Sesaat pulang kau mampir ke angkringan membeli lauk untuk dibawa pulang. Saat kau mengamati penjual menyiapkan apa yang kaubeli, Delusi menginginkan tahu krispi yang berada di seberang jalan. Kau sempat melarangnya, kaubilang agar membeli bersama supaya kaubisa membayarkannya. Namun, Delusi bertekad membeli dengan uangnya sendiri.

Saat ia mendapatkannya, ia terlihat begitu senang dan langsung berlari menyeberang ke arahmu. Sebuah mobil menabraknya. Delusi tak sempat menghindar. Nyawanya tak tertolong, ia mengembuskan napas terakhir sesaat sebelum sampai ke rumah sakit.

Dari kejadian itu kau tak lagi keluar rumah. Kau mengutuk dirimu tak akan menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain. Sejak saat itu, saat kau mematikan lampu kamar, kaulihat ia di cermin lemarimu.

"Maaf aku menggertak," katamu menyesal. Tak ada jawaban yang kaudengar.

Kau berbalik ke arahnya, ia pun berbalik menghadapmu. Mata kalian beradu pandang. Kaulihat matanya mulai mengembun. Lalu kau menempelkan dahimu pada cermin, ia pun mengikutimu. Seolah-olah tak ada cermin antara kau dengannya, menempel satu sama lain. Kemudian bibir kalian bertautan. Datar, juga keras kau rasakan itu. Tanganmu merentang dan melingkar pada sisi lemari. Kau berusaha memeluknya.

"Apa saja yang kaulakukan? Maria menunggumu di ruang tamu, Jeff," teriak ibumu dari luar kamar.

Suara ibumu tak kauacuhkan, kau masih menempelkan bibirmu pada cermin. Tiba-tiba pintu terbuka, matamu menangkap sosokmya dari cermin. Kepala ibumu geleng-geleng melihat tingkahmu yang memeluk lemari. Wanita tua itu melangkah masuk dan langsung menggeretmu paksa. Delusi menatapmu. Kau semakin menjauh darinya. Kau pun bergumam:

"Mungkin kisah cinta kita tak bisa bersatu. Tapi percayalah. Cinta kita seperti bulan Februari: bulan istimewa. Di mana dalam bahasa Finlandia disebut bulan mutiara. Seperti itulah cinta kita. Di mana bulan Februari datang, salju akan mencair di cabang-cabamg pohon, kemudian membentuk tetesan, dan akhirnya membeku lagi; seperti mutiara es."[]


 

Muhamad Subchi., lahir di Kebumen pada tahun 1994. Pernah mengikuti kelas menulis cerpen online WR Academy.

HP: 083128752257

No. Rekening: BRI 0032-01-086905-50-6 (Muhamad Subchi)

Alamat: Desa Sidomoro, RT 01 RW 02, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen

Facebook: M S Subuh

Instagram: @subuh_77






Posting Komentar

0 Komentar