005

header ads

cerpen ALIND | Khoirul Abidin

 cerpen ALIND

| Khoirul Abidin


Aku sudah menyadari apa yang akan terjadi hari ini jauh hari, saat lampu-lampu di rumahku telah dipadamkan dan hujan mulai menelan bintang-bintang, setelah sore harinya kaupinta aku mengambil kue-kue ke rumahmu untuk sebuah acara Karangtaruna sementara kau dan teman-teman yang lain menyiapkan tempat di Balaidesa. Jantungku seperti pecah dan ketenangan lenyap sama sekali. Sampai pagi tiba mataku tak terpejam; aku menatap langit-langit kamar sementara daun-daun pohon pisang di samping rumah baru mau berhenti bergesekkan.

Ya, akhirnya kau tidak aktif lagi di Karangtaruna, tinggal di pusat kota, dan benda-benda terlihat oleh mataku tidak sebagai wujud aslinya. Wajahmu menyusupi semuanya tanpa pernah bisa kucegah.

Beberapa hal, seiring waktu, memang akan berubah. Penghuni rumahmu sekarang boleh jadi kamu, Ibumu, dan Bapakmu, tapi nanti mungkin orang-orang lain yang mungkin kamu kenal atau tidak sama sekali. Pun yang menempati ruang kelas 5 SD saat ini dan setahun lagi tentu akan berbeda, berganti. Kita sebenarnya memang belum terlalu tua untuk tetap bergabung dengan Karangtaruna. Tapi pada usia kita saat itu hidup bukan lagi hanya untuk memikirkan organisasi. Ada yang lebih penting, yaitu kehidupan kita sendiri.

Lind, sedang apa kamu sekarang? Menyendiri di kamar? Memilih gaun yang indah? Atau ....

Ah, dulu kukira kesempatan untuk kita bertemu masih banyak. Jika tidak memungkinkan sekali seminggu ketika kau pulang ke rumah menyambangi Ibumu pada hari Minggu, hari liburmu, paling tidak sekali setahun saat Hari Raya, hari di mana orang-orang berkeliaran di jalan-jalan. Tapi, setelah malam itu, malam terakhir kau hadir di pertemuan rutin Karangtaruna, dunia kemudian seolah-olah menyembunyikanmu di tempat yang tak bisa kujangkau. Minggu-minggu berlalu tanpa kita pernah bertemu. Bulan-bulan berganti nama, tiga kali Hari Raya, kita tetap tak berjumpa sekali pun. Kenyataan bahwa kita pernah berjuang bersama dalam mengurusi Karangtaruna tak membantu apa-apa. Rasanya seperti kabut pada suatu pagi, sekali menghilang, selamanya kau tak bisa kulihat lagi.

Andai kau tahu, Lind, sepergianmu dunia menjadi tempat yang paling menyiksa bagiku. Segalanya terasa berat dan sulit. Hari-hari berjalan lambat dan benar-benar hambar. Malam-malamku selalu hadir sebagai iring-iringan penguburan. Jika ada yang bisa membuatku sekadar tersenyum, maka itu adalah pekerjaan. Sialnya aku lebih sering menganggur daripada bekerja, karena tidak setiap hari ada orang yang membangun rumah. Sebagai tamatan SMA yang sejak tamat langsung berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan bagunan dan seterusnya hanya berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan bangunan, tak ada bakat lain yang kumiliki selain mengaduk-aduk semen dan pasir dan kerikil.

Lind, apakah kau masih ingat kalau dalam beberapa pertemuan rutin Karangtaruna kita cukup sering mengenakan baju yang warnya sama? Ah, andai kau tahu, Lind, hal yang betul-betul sepele itu teramat berarti untukku. Selalu muncul begitu banyak ‘apakah’, ‘mungkinkah’, dan ‘jangan-jangan’ dalam kepalaku selepas peristiwa itu terjadi.

Aku tak akan melupakan itu sampai mati, sungguh, termasuk guyon-guyonan teman kita yang membesarkan hatiku, entah hatimu. Aku masih ingat, saat-saat seperti itu biasanya kita selalu tersenyum, saling memandang sejenak, benar-benar sejenak saja, kemudian menunduk seperti mencari sesuatu yang hilang atau mengalihkan perhatian mereka dengan hal-hal lain yang ada di sekitar atau pikiran-pikiran yang tetiba muncul di kepala, ada setitik kemerah-merahan yang perlahan-lahan membesar di pipimu, tentu juga pipiku. Sayangnya itu ternyata sama halnya dengan cara kita menggenggam sendok, selera kita pada pop ice cokelat, letak salah satu tahi lalat kita yang persis di bawah lubang hidung kiri, dan bagaimana kita merespon hal yang mengejutkan, sama sekali tak berarti apa-apa. Itu bukan tanda bahwa kita berjodoh, sebagaimana yang dikatakan teman-teman pada kita.

Alind, perempuan yang kuku-kukunya tak pernah putih. Terhitung tiga tahun sudah kita berpisah dan wajar saja bila kau tak mengingat itu lagi. Tiga tahun sudah, Lind, kita berpisah dan sama sekai tak pernah lagi bertatap mata dan aku masih saja memikirkanmu setiap saat. Tiap luang, saat tak ada orang yang membutuhkan tenagaku, aku selalu menghabiskan sepenuh hariku dengan duduk di bawah pohon pepaya atau lainnya di tepi kali kecil yang membelah jalan dan sawah-sawah, ditemani sebungkus rokok dan selonjor pancing dari bambu yang mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhannya. Harapanku sederhana, kita akan berjumpa sebagaimana tahun-tahun ketika kau masih jadi mahasiswa dan aku mulai terbiasa menata batu bata. Memanglah hanya sekedip mata dan itu bagiku cukup sudah.

Dan memang harapan itu tak pernah jadi kenyataan karena kau sudah jadi guru di sebuah sekolah yang besar di mana pamanmu mengajar, seperti kata Ibumu, dan tak pernah lagi dan tak akan pernah lagi melewati jalan kecil ini. Apa yang kutemukan di sini hanyalah kekosongan.

Alind yang selalu melipat bibirnya ke dalam ketika salah berucap. Tentu, sebagaimana pada jauh hari saat kita masih sering bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan Karangtaruna, beberapa kali aku sempat akan mengirimimu sebuah pesan sebagai langkah awal kedekatan kita, seperti cara murahan yang dilakukan oleh banyak lelaki untuk mendekati perempuannya.

Seringnya berbicara, kurasa, akan menumbuhkan keakraban. Kemudian perlahan-lahan rasa nyaman akan terbentuk dengan sendirinya, seiring pembicaraan yang makin meluas, makin mendalam, makin berani. Sialnya ingatan akan perkataan Ibumu sore itu selalu muncul tepat saat jempolku akan menekan tombol send, membuat niatku bukan hanya surut, tapi jadi embun di siang hari.

Seperti menjejalkan barang-barang ke dalam karung dalam keadaan tergesa, dalam waktu yang tidak banyak itu Ibumu bercerita panjang lebar perihal akan jadi apa kau nanti setelah selesai kuliah, bagaimana hidupmu selanjutnya, laki-laki macam apa yang diharapkannya menjadi pendampingmu, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya.

Aku tidak tahu untuk apa Ibumu bicara begitu padaku. Apakah dia membaca sesuatu yang lain dariku padakau anaknya? Rasanya sulit dipercaya karena kita sendiri terlihat tak lebih sekadar teman, bahkan hanya dua orang yang saling mengenal nama, lebih tidak. Dan aku pun tak pernah menunjukkan sikap-sikap yang lebih dari sikap seorang teman, bahkan dalam pertemuan-pertemuan kita aku tak pernah tampak berusaha menarik perhatianmu, menunjukkan perhatianku kepadamu, menunjukkan ketertarikanku padamu, layaknya seorang yang tak cinta. Tapi mungkin karena dia Ibumu, jadinya dia tahu.

Cerita Ibumu itu terdengar bukan sebagai cerita belaka atau sekadar basi-basi untuk mengisi pertemuan dua orang yang saling mengenal, melainkan sebuah pesan yang sungguh-sungguh, sebenar-benarnya peringatan agar aku tidak mendekatimu lebih dari waktu itu, bahkan mungkin menjauhimu supaya perasaan-perasaan lain terhadapmu tidak tumbuh di hatiku dan apabila sudah telanjur tumbuh jangan dibiarkan berkembang, segera bunuh, karena kita memang tak sepadan, tak sebanding, tak boleh bersama.

Kemudian aku seperti mengerti mengapa ada orang yang ditakdirkan kaya dan miskin, mengapa ada orang yang ditakdirkan terpandang, biasa-biasa saja, rendah, dan hina. Yaitu apalagi kalau bukan untuk tidak bersama. Beberapa orang mungkin bisa menembus batas itu, tapi aku tidak. Tahu dirilah aku ini siapa.

Lind, aku tahu ini pasti terjadi, akhirnya kau menemukan seseorang yang menggenapkanmu, seseorang yang dilihat dari segi mana pun cocok denganmu. Kabar itu telah disiarkan Ibumu ke seluruh penjuru desa, lengkap dengan tanggal pernikahan kalian, kau dan Dosen pintar dan kaya raya itu, dan orang-orang menyambungnya dari mulut ke mulut sampai masuk di telingaku hari ini.

Kesadaranku akan hal itu pada jauh hari tenyata tetap tak bisa membuatku bersikap biasa-biasa saja. Hatiku tetap tak enak. Akhirnya kuputuskan menulis surat ini untuk mengatakan semua-muanya, seakan-akan ada yang perlu kuselamatkan sebelum akhirnya benar-benar terlambat. Berbicara langsung denganmu dari dulu bukan hal yang mudah bagiku, Lind, dan aku merasa tulisan tangan akan memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang mampu diberikan ketikan.

Maka, untuk membebaskan diriku menumpahkan seluruh perasaanku padamu melalui kata-kata, terlebih dahulu aku menengak berbotol-botol arak. Dalam keadaan mabuk, kurasa tidak akan ada lagi yang kusembunyi-sembunyikan. Namun tak kusangka sesuatu yang aneh merasukiku. Tepat di sini, dalam pengaruh arak, hatiku berkata bahwa surat ini sama sekali tak penting untukmu, begitu juga perasaanku ini.

Aku hanya berharap kau tak pernah mencintaiku karena jika kenyataannya begitu aku tak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri, karena jika cinta tidak dikatakan adalah sebuah kesalahan, maka cukup aku yang merasakan akibatnya.

Jika akhirnya surat ini tak pernah sampai di tanganmu, kuharap kaumengerti.(*) 




 


IMG_20200726_190553.jpg

Khoirul Abidin, lahir di Lamongan, 1998. Beberapa karyanya termuat di media cetak lokal dan media digital.

 


Posting Komentar

0 Komentar