005

header ads

Launching Buku “Sensasi Kopi Indonesia”dan rasan-rasan Budaya: “Ngobrol Kisah-kisah di Balik Kopi:Dari Ngopi Hingga Literasi”





Yth. 
Tuan dan Puan  Pecinta/Penggiat Literasi Budaya 
dan Pecinta K(ng)opi
Di Ngawi dan sekitarnya.

Assalamualaikum Wr. Wbr.
Salam budaya,

Kawan kawan yang budiman,
Berapa waktu lalu atas inisiatif  sdr. Budi Hantara, telah dikumpulkan tulisa-tulisan perihal kopi dari beberapa penulis Ngawi dan beberapa penulis luar kota, yang dibukukan dalam sebuah buku bertajuk Sensasi Kopi Indonesia. Buku ini memuat 23 tulisan yang gagasan dan inspirasinya bersinggungan dengan perihal kopi, 20 tulisan ditulis penulis dari Ngawi, dan 3 dari penulis luar. Buku ini diberi pengantar oleh Tjahjono Widijanto, satrawan dan alumnus program doktoral UNS.
Untuk memberi apresiasi dan penghormatan kepada para penulis buku tersebut, sekaligus dengan niatan menggairahkan semangat literasi  baca-tulis dan literasi budaya, kami Komunitas Nalar Budaya (KNB) Ngawi  bekerja sama dengan Warung Kopi Anthurium dengan kerendahan dan keriangan hati, mengundang Tuan dan Puan sekalian untuk merayakan peristiwa budaya berupa
Launching Buku “Sensasi Kopi Indonesia”dan rasan-rasan Budaya: 
“Ngobrol Kisah-kisah di Balik Kopi:Dari Ngopi Hingga Literasi”.
Tempat di Warung Kopi Anthurium, Jl. Hasanudin N0. 11 Ngawi, 
hari  Selasa, 29 Maret 2022 jam 19.30 – 22. 00
Pemantik diskusi dalam rasan-rasan budaya     ini :
Mas Ony Anwar Harsono, ST (Bupati Ngawi) *dalam proses konfirmasi
Ir. H. Kanang Budi Sulistyono (tokoh masyarakat)
Dr. Tito Setyabudi (Budayawan)
Dr. Tj. Widijanto, M.Pd. (Sastrawan, inisiator Komunitas Nalar Budaya)
Bung Tono (Owner Warung Kopi Anthurium)
Budi Hantara (Pendidik, Inisiator buku Sensasi Kopi Indonesia






Perlu kami sampaikan bahwa kegiatan ini sejatinya adalah merayakan kebersamaan, karena itu jika silakan berdiskusi, silahkan bersantai,  juga silahkan pesan kopi sendiri dan tentu silahkan membayar sendiri.
    
Terima kasih. Salam budaya.

Wassalamualaikum Wr. Wbr.


Komunitas Nalar Budaya
Kordinator


Dr. Tjahjono Widijanto, M.Pd.




 ******



Lampiran: 
Sebagai bahan awal rasan-rasan budaya, dilampirkan pengantar dalam buku Sensasi Kopi Indonesia.
KISAH-KISAH  KOPI DAN NGOPI : 
CARA MENIKMATI HIDUP HINGGA SIMBOL BUDAYA
Oleh: Tjahjono Widijanto*)
    
    Kopi dan ‘ngopi’ memiliki deret riwayat yang cukup panjang. Minuman warna hitam dengan aroma  khas yang konon berasal dari Yaman yang awal mulanya masuk di Nusantara dibawa V.O.C dan mengalami masa jaya pada era tanam paksa ini kini bisa hadir di mana saja. Kopi berikut aktivitas ngopinya saat ini bisa hadir di sisi ranjang sepasang temanten baru yang sedang hangat-hangatnya; ia juga bisa dihadir di dapur sebuah keluarga manten kawak, sepasang kakek-nenek  yang sudah puluhan tahun berumah tangga dengan pawon tanah liat dan bahan bakar kayu api; kopi dan ngopi juga bisa hadir di warung-warung angkringan beratap terpal plastik dengan cahaya teplok remang-remang; kopi dan ngopi dapat dijumpai pula dalam gerai-gerai cafe  kekinian khas millenial yang ceria dengan pancaran WiFi, di mall-mall yang serba padhang serta meriah, atau di sudut-sudut bandara dengan nama-nama asing yang perlahan menjadi biasa.
    Kopi dalam konteks perjuangan bangsa juga pernah mencatat kisah heriok yang kini mungkin sudah dilupakan orang.   Inilah sebuah kisah “heroik” di awal pergerakan nasional yang memanfaatkan kopi sebagai simbolidentitas  budaya yang diwartakan oleh wartawan Bintang Timoer, Abdul Rivai di Leiden bertitimangsa 3 Oktober 1927.
    Tersebutlah sejumlah mahasiswa dan pelajar Indonesia (Hindia Belanda) yang sedang menimba ilmu di Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia berkumpul di Leiden. Mereka tersebar dari berbagai kota di Belanda, ada yang nge-kost di Den Haag, Delft, Rotterdam, Leiden dan Wageninggen.  Angggota-anggota organisasi pelajar yang dulu bernama  Indonessische Vereeniging yang kemudian pada 1924 resmi berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia itu menggagas, berdiskusi dan berdebat dalam  upaya membebaskan diri dari cengkeraman kolonial.
    Dalam pertemuan itu sengaja mereka tonjolkan simbol-simbol budaya yang merujuk pada “identitas ke-nasionalan” atau "kenusantaraan" dan membuang segala atribut yang berbau Belanda. Mereka bahkan menyebut pertemuan itu dengan istilah “selamatan”. Istilah selamatan ini dalam konteks kebudayaan Nusantara mengandung pengertian akan sebuah pertemuan yang guyub, akrab, penuh persaudaraan bahkan mengandung unsur spiritual. Bahasa yang digunakan dalam pertemuan itu adalah bahasa Melayu dan Jawa bukan bahasa Belanda. Makanan-makanan yang disajikan semua khas Indonesia mulai dari tiwul, ketela, sagu juga rempah. Cara makan 
mereka muluk alias menggunakan tangan tidak menggunakan sendok. Mereka bergotong royong mulai dari urusan makan hingga urusan bersih-bersih. Semuanya made in Indonesia!
    Dalam tulisan reportase bertajuk “Student Indonesia di Eropa” itu, Abdul Rivai melaporkan, “Kopinja boekan kopi saringan, tetapi kopi toebroek sebab kopi ini kata mereka nationaal, goelanja goela Djawa. Soesoe tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot, dengan tjampoeran tjengkeh Noesantara. Selamatan nationaal ini teroes berlangsoeng sampai pagi”.
Pada laporan jurnalisme Rivai ini nampak bahwa kopi (tubruk), cengkeh, serta kretek klobot  dianggap  sebagai simbol budaya yang mewakili identitas kenusantaraan. Klobot rokok krerek asli Nusantara berupa daun jagung (klobot) yang di dalamnya ada rajangan mbako (tembakau Jawa) dicampur dengan cengkeh, rempah-remnpah asli Nusantara bersama kopi trubuk berfungsi tak hanya sekedar isapan, minuman, atau kenikmatan namun menjelma sebagai simbol untuk mengungkapkan perasaan nasionalisme dan solidaritas kebangsaan. 
Klobot kretek Nusantara yang di dalamnya terdapat cengkeh dihadirkan sebagai simbol pemacu kesadaran dan siprit untuk merdeka karena cengkeh dan tanaman rempah-rempah lainnya seperti pala dan lada, yang menggerakkan bangsa Barat bercokol di Nusantara dan merampasnya. Simbol klobot cengkeh  ini untuk mengingatkan bahwa kolonialisasi yang dibangun oleh kerajaan kolonial Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris, awalnya memang dibangun atas dasar pencarian tanaman rempah-rempah seperti: cengkeh, lada, kayu manis, dan bunga pala. Masa itu rempah-rempah merupakan tanaman langka dan berharga sehingga oleh bangsa Eropa disebut-sebut sebagai “tumbuhan sorga”. Nafsu akan “tumbuhan sorga” ini yang memunculkan energi dahsyat dan jahat berbentuk kolonialisasi dan imperalisme Barat di Timur hingga berabad-abad berikutnya.  
Kopi tubruk sendiri digunakan sebagai simbol identitas karena juga merupakan kopi khas Indonesia yang berbeda dengan kopi lainnya di dunia. Kopi tubruk terbuat dari bubuk kopi yang dijerang bersama dengan gula (saat itu menggunakan gula batu atau gula Jawa). Ciri khas kopi tubruk  adalah endapan kopi di dalam gelas atau cangkir. Pembuatan kopi tubruk berbeda dengan pembuatan kopi lain. Dalam kopi tubruk biji kopi yang sudah disangrai tidak dihaluskan menggunakan mesin tetapi ditumbuk dengan tangan. Di tangan para pemuda tepelajar Indonesia di Belanda itu kopi tubruk bersama klobot dari sekedar minuman dan hisapan berubah menjadi simbol yang dianggap dapat membangun komunitas imajiner bersama akan sebuah negara bangsa bernama Indonesia.
Akhirnya sejarah mencatat bagaimana identitas dan semangat nasionalisme yang pada mulanya disimbolkan dengan hal sederhana: --kopi tubruk dan kretek klobot cengkeh  ini-- menemukan jangkar teguhnya dalam pidato Soekarno 1 Juni 1945: “...Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua” Karena itu jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, Tetepi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat!”.

Kopi  ada pula yang menafsirnya dari  guyonan  othak-athik basa,  dari kata “kopen”  yng dalam bahasa Jawa berarti merawat, menjaga, dan memelihara secara hati-hati. Hanya satu tujuannya, mereka bisa menumbuhkan kopi berkualitas dari segi rasa dan aroma. Tak hanya sekadar harum, tetapi kopi beraroma surga sebagai harta karun berlimpah di tanah Nusantara, the Aroma of Heaven. Bagi sebagian masyarakat di tanah air, kopi bukan sekadar minuman. Tapi, kopi adalah sumber kehidupan. Mereka mendedikasikan hidupnya demi kopi agar dapur terus mengepul dan anak-anak bisa bersekolah.
     Konon kabar beritanya, sekitar 1602, Belanda dengan kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bersiasat dagang di Jawa sembari membawa kopi Malabar dari India. Kopi Arabika ini lantas diuji coba tanam di Batavia (Jakarta). Sayangnya, faktor alam membuat penanaman kopi ini gagal. Belanda lantas menanam ulang di daerah Sumatera, Bali, Timor Timur, Sulawesi dan beberapa pulau lain. Penanaman ini sukses besar. Bahkan, pada 1700-an, VOC memonopoli perdagangan kopi di Eropa dan seluruh dunia. Muncul lahan kopi terluas di Asia Tenggara, Dataran Tinggi Gayo dengan kopi Gayo. Sedang, di Jawa, lebih populer dengan kopi Java. 
Dalam jagat literasi, kopi juga disinggung-singgung sedikit dalam novel Max Havelaar Douwes Dekker. Novel lawas berwibawa ini bersetting  banyak dengan sisi terselubung sistem tanam paksa di Indonesia yang mencerminkan ketidakadilan dan kekejaman Belanda terhadap petani Indonesia termasuk petani kopi. Kemudian pada era 2000-an, kopi Indonesia mulai bersinar di kancah Internasional. Bahkan, sukses menempati posisi keempat produsen kopi terbesar sejagat, di bawah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Beragam jenis cita rasa kopi Indonesia yang berkualitas dan nikmat, membawa reputasi harum kopi Indonesia di mata dunia. Seiring waktu, masyarakat global baik di belahan Eropa maupun Asia menjadikan minum kopi sebagai budaya. Menurut Wrecking Trish Rothgeb dalam artikel Ball Coffee Roasters  yang ditulis tahun 2002, sedikitnya ada 3 pergerakan dalam perkopian atau lebih dikenal sebagai Waves Coffee.
Gelombang perubahan perk(ng)opian pertama adalah  First Waves Wave Coffee yang ditengarai terjadi kira-kira era 1800-an. Pada era ini kopi mu disajikan dalam kemasan praktis dan instan. Bahkan, pada Perang Dunia I (1917), tentara disajikan kopi sebagai minuman setiap hari. Kopi berikut cara ngopi mulai ditampilkan dengan cara praktis dalam kemasan mungil. Ini mungkin dapat diartikan sebagi embrio dari kopi model sanset,kemasan atau instan. 
Gelombang perbahan kedua terkenal dengan istilah Second Wave Coffee.Pada gelombang perubahan kedua ini, ngopi dengan cara instan meski praktis dan simpel dianggap kurang nikmat. Para pengopi menginginkan lebih dari yang bisa mereka minum, maka pada era 1960-an, muncul berbagai varian kopi baru seperti latte, espresso, mochaccino, cappuccino, frappuccino, americano, dan masih banyak lagi yang higga kini menjelma branding kopi yang mahsyur seantero jagat. Pada gelombang ini mulai muncul berbagai coffee shop tematik yang lebih nyaman dan modern. Sembari minum kopi, mereka bisa mengobrol santai hingga diskusi bisnis dengan kolega. Di Nusantara fenomena ini didukung dengan kebiasaan orang-orang Nusantara yang gemar berkomunikasi dalam kedai-kedai dan budaya komunal yang bercirikan paguyuban, patembayan  dan musyawarah yang mensyaratkan suasana berkelompok, kebersamaan, dan perjamuaan. Kopi selalu hadir dalam situasi ini.
Gelombang ketiga yang disebut sebagai Third Wave Coffee  hadir tahun 2000-an. Pada masa milleneal ini masyarakat luas menyadari ada perjalanan panjang demi secangkir kopi nikmat. Mulai dari proses penanaman, pengolahan biji kopi, hingga penyajian. Dari sini muncul istilah “origin”, yaitu pemberian identitas kopi sesuai lokasi tanamnya. Pasalnya, rasa kopi akan berbeda apabila ditanam di daerah tertentu. Pecinta kopi lebih detail dalam menikmati kualitas dan rasa kopinya. Istilah barista, pengolah dan penyaji menjadi tersohor dan menjadi “kelas pekerjaan” terpandang yang digandrungi kaum muda. Barista menjadi serupa chief resto-resto kelas atas yang memiliki gengsi (prestise) sekaligus membutuhkan seperangkat pengetahuan yang detial tentang perkopian .

Di awal telah tersebutkan bahwa dalam konteks budaya kopi pernah dipakai sebagai simbol identitas nasional. Kopi bersanding klobot dan cengkeh  dianggap sebagai kekayaan sekaligus kekhasan Nusantara yang tidak ditemui di belahan jagat lain. Amerika boleh punya starbucks tapi Nusantara juga punya cara lain dan bangga dengan kopi tubruk, kopi bathok, kopi paron (separo kopi separo beras), atau kopi nggereng  yang lekat dengan warna hitamnya. Ngopi bagi orang Indonesia terlebih lagi Jawa, tidak sekedar meminum sesuatu untuk mendapatkan rasa nikmat akan minuman itu, tetapi ngopi adalah cara khas orang Jawa menikmati dan menghayati hidupnya. Kopi dan ngopi tidak sekedar urusan cecap mencecap lidah dan  selera indera rasa, lebih dari itu kopi dan ngopi adalah cara orang Jawa menikmati, menghayati dan berkontemplasi tentang hidup dan kehidupannya. Dalam konteks ini ngopi dan kopi hadir seperti halnya kebiasaan udut orang Jawa yang tidak hanya sekedar menghisap tembakau dan cengkeh semata.
Ngopi dan ngudut (merokok) dalam sebagaian penikmat kopi merupakan aktivitas bersama yang seiring dan sejalan degan ngopi. ---Sekali lagi sebagain tidak semuanya karena banyak pula pengopi yang tidak perokok---. Seperti halnya kopi dan ngopi, bisa juga ada pertanyaan muncul: sejak kapan masyarakat Nusantara mengenal kebiasan merokok? Di masyarakat Jawa pedesaan  merokok biasa di sebut dengan udut. Tentu saja yang dimaksud dengan udut atawa rokok jaman jadul  bentuknya bukan seperti saat ini. Dahulu udud bentuknya adalah lintingan daun tembakau (mbako) atau daun jagung yang biasa disebut  klobot. Para penghisap udud  itu meracik sendiri racangan tembakau yang dicampur cengkeh dan acap kali di beri rempah-rempah lain dan menggulungnya dalam klobot jagung.
    Adalah seorang Thomas Stamford Rafles dalam bukunya yang amat legendaris,: History of Java yang diterbitkan pada tahun 1817 menyebutkan bahwa kebiasaan udud telah mulai ada di Jawa pada lebih-kurang tahun 1601. Selain Rafles, seorang bernama De Candolle yang dikutip oleh Van Der Reijden dalam bukunya Rapport Betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids Toestanden In De Industrie Van Sttrootjes En Inheemsche Sigaretten Op Java Jilid 1 (1934) juga menyebutkan tanaman tembakau telah di bawa ke Pulau Jawa sekitaran tahun 1600. Laporan lain menyebutkan bahwa pada tahun-tahun pertama abad XVII, mengisap tembakau telah dikenal di Jawa.
    Dalam pustaka-pustaka atau karya sastra klasik Jawa, kebiasaan udud pun digambarkan. Salah satu di antaranya ialah naskah Jawa bertajuk Babad Ing Sangkala. Pustaka klasik ini berbentuk tembang, yang menceritakan bahwa bersamaan dengan meninggalnya pendiri dan Raja Mataram Islam, Panembahan Senopati yang masa kecilnya bernama Raden Sutawijaya ayah Sultan Agung, masuklah tembakau ke Jawa dan setahun berikutnya mulailah orang Jawa udud. 
Beginilah cuplikan larik tembang Babad Ing Sangkala yang bercerita tentang udud itu:
    “Kala séda Panêmbahan syargi
    ing  Kajênar pan anunggal warsa
    purwa sata sawiyosé
    milaning wong ngaudud”
    
Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya kurang lebih sebagai berikut:
    “Waktu mendiang Panembahan (Senopati) meninggal
    di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya
    dengan awal munculnya tembakau, setelah itu
    mulailah orang merokok”

    Dua peristiwa penting itu, yakni meninggalnya Panembahan Senapati dan masuknya tembakau sekaligus kebiasaan udud itu, oleh penggubah babad Ing Sangkala itu diberi titimangsa dengan candra sengkala: “Geni Mati Tumibeng Siti”, yang apabila diangkakan dengan tahun Masehi adalah tahun 1601-1602.
    Di Jawa  udud atau merokok seperti halnya k(ng)opi  ternyata bukan semata-mata kesenangan pribadi, tetapi juga menjadi simbol menghormati tamu karena itu menjadi hidangan penting yang harus ada seperti halnya buah pinang dan suruh (sirih). Saat itu masyarakat Jawa tidak saja hanya menyajikan secangkir wedang kopi, tetapi juga tembakau untuk dilinting oleh tamunya, sekaligus juga menyediakan lintingan udud dalam bentuk jadi hasil tangan si empunya rumah.
    Gambaran ini nampak dan direkam dalam Serat Centini yang merupakan kitab “babon” Sastra Jawa yang amat mahsyur yang disusun pada tahun 1814 atas perintah Sunan Pakubuwono V.  Inilah penggalan lariknya:
    “Sira dhéwé ngladénana nyai
    lan anakmu dhénok
    gantén êsês wédang daharane
    mêngko bagda ngisa wissa ngrakit
    dahar kang prayogi
dhayohmu linuhung”

“Hai dinda, hendaknya engkau
sendiri yang melayani
bersama anakmu si upik
dengan sirih, rokok, minuman dan makanan
usai isya nanti seyogyanya engkau
telah selesai menyiapkan
makanan yang pantas
oleh karena tamumu orang yang mulia”

Di dalam dua teks sastra klasik itu jelas ditunjukkan bahwa masyarakat Jawa  masa Mataram Islam sudah mengenal fenomena “rokok”. Dan aktivitas merokok itu disebut dengan udud atau sês (ngêsês). Dalam kakawin yang jauh  lebih tua yakni Smaradahana yang ditulis oleh Empu Darmaja di era kerajaan Kediri, udut disebut dengan mangudud : “.. saksat guguh makêmilan mangudud kapundung..” (tampak orang tua tak bergigi dengan kantong pipi menonjol mengisap dengan nikmat semangat). Ditemukan juga kata “ududan” yang bermakna bahan-bahan untuk rokok dalam kitab Sri Tanjung: “...wong anglampit saududan...” (orang membawa gulungan untuk bahan udud).
    Sebelum bahan baku rokok yakni tembakau, masyarakat Jawa jauh-jauh hari memang sudah mengenal aktvitas “membakar” dan menikmati asapnya. Salah satu bahan yang digemari masyarakat Jawa untuk dibakar dan dinikmati sebelum tembakau adalah dupa (dhupa) atau kemenyan.Dhupa atau dupa ini merupakan wangi-wangian berasal dari getah atau damar. Pemakain dhupa ini menurut Zoetmulder (1995) disebut-sebut dalam berbagai kitab, a.l: ramayana, Wirataparwa, Agstyaparwa, Sutosama, Gatotkacasraya, Ramaparasuwijaya, Harisraya, dan lain-lain. Nah,  pada akhirnya kelak kemudian hari hingga saat ini di beberapa daerah di Jawa Tengah dikenal rokok yang sebut dengan rokok klebak menyan, rokok dengan bahan baku utama tembakau yang dicambur dengan dupa atau kemenyan.
    Begitulah, ngopi dan udut bagi orang Jawa adalah upaya menikmati dan menghayati hidup sekaligus upaya untuk “membersamai” dan menghormati siapa saja. Dalam bahasa millenalnya bisa dikatakan bahwa ngopi dan udut adalah cara elegant untuk kita dapat bersanding dengan orang lain sekaligus menghayati kehidupan personal kita sendiri. Dan bukankah dalam era milleneal ini kita sangat butuh bersanding bukan hanya bersaing?

Ide penulis-penulis Ngawi mengumpulkan bunga rampai tulisan yang berbicara tentang kopi dan ngopi ini barangkali terinspirasi dengan lintas dan kelebat ingatan tentang lintasan perdagangan rempah dan kopi yangmewarnai perjalanan bangsa ini. Jalur rempah dan kopi yang mulai kawentar di abad ke-17, saat ketika  Indonesia atau sebut saja Nusantara, adalah sebuah negara bangsa yang diperebutkan oleh kolonial-kolonial Eropa untuk meraup keuntungan ekonomi sekaligus menggenggam kuasa politik. Sejarah telah rancak bercerita bagaimana tanah-tanah sepanjang  Nusantara ini telah dijadikan palagan persaingan negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda.
Ngawi, --barangkali oleh penulis-penulis buku perihal kopi ini--- karena posisinya di tengah sebagai penghubung Jawa bagian timur ke arah Jawa bagian barat, menganggap dan mengimajikan Ngawi  sebagai “selat Malaka kecil’ yang menghubungkan jalur dari timur ke barat meski sekarang sudah diterabas dengan bangunan jalan tol. Ngawi bisa jadi karena dia terletak di simpang jalan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang juga kemudian akses ke Jawa Barat, dapat dijadikan sebagai gambaran kecil fenomena budaya  yang dapat ditemui di tempat lain.Karena itu pula mungkin edtor buku ini cukup gagah dan berani memakai label “Indonesia”, yakni Sensasi Kopi Indonesia.
Tajuk buku kecil ini tentunya segera mengabarkan pada calon pembacanya bahwa tulisan-tulisannya di dalamnya dapat berupa teroka, analisis, respon, bahkan mungkin sekedar kesan selintas tentang kopi dan mengopi yang nampaknya menjadi memori kolektif para penulis di buku ini. Berbagai ragam gaya dan sudut pandang pun bebas tersalurkan. Ada yang yang berstyle serius, sekedar mencatat guyonan, bergaya cerpenis, bergaya milleneal, bersudut pandang penikmat kopi profesional, ada pula yang mencatat sebagagai “penggembira” kopi semata. Ada yang mencoba menukik ke arah di balik fenomena kopi dan ngopi, ada yang mencoba berfilosofi melalui kopi, tetapi ada juga yang hanya menulis kopi sebagai kopi dan ngopi sebagi minum semata, dan sebagainya. Semuanya itu tentu sah-sah saja adanya dan diikat dengan satu tambang: kopi dan ngopi, suka atau tak suka adalah kekayaan dan milik bersama!
Tulisan-tulisan ringan dalam buku  ini apapun bentuknya saya senang membacainya, karena saya dapat menjumpai  spirit arena ngopi dan warung kopi, di mana  ini setiap orang merasa nyaman, betah untuk nongkrong  dalam suasana yang ringan, akrab, familiar dan demokratis. Spirit warung kopi adalah arena yang menghindarkan prestise dan eklusif, arena yang memberikan ruang dialog dengan gaya akrab, seenaknya, apa adanya tanpa beban basa basi atau beban aturan yang terlampau ketat. Perbicangan dan pertemuan yang terjadi dalam warung kopi adalah bertumpu atau didasarkan pada rasa atau perasaan kebersamaan.
Kopi, dan ngopi serta juga warung kopi dalam tulisan-tulisan di buku ini,  dipandang sebagai sebuah subkultur,  dapat dipandang sebagai discursive practice yang khas dimana rasa dan perasaan kebersamaan menjadi faktor penting untuk memahami hakikat realitas dalam arenanya. Rasa dan perasaan kebersamaan dalam satu arena sosial  ini dalam pandangan filsuf dan sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, dapat dipahami sebagi proses produksi dan reproduksi wacana-wacana yang menghadirkan format eksistensi dan reproduksi sosial. Karena itu dalam spirit arena warung kopi  akan senantiasa dapat didengar dan ditemukan perbincangan tentang beragam tema, beragam isu sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik yang berlangsung demikian cair, bebas, enjoy dan penuh keakraban.. Sebuah perbincangan rakyat kecil, masyarakat bawah yang bahkan mungkin saja dapat terlihat dan terdengar nyleneh karena lahir dari logika masyarakat kecil yang jauh dari kehendak eklusif dan gaya elitis.
Akhirnya, buku ini memang tak berniatan berbicara ndakik-ndakik  perihal kopi. Spirit ngopi yang nyantai, akrab,  serta kebersamaan, sengaja diusung dengan gaya bebas, santai, akrab dan terbuka sehingga orang dapat keluar dan membebaskan diri dari sekat-sekat ideologis, sekat sosial, dan bersama membebaskan diri dari kepenatan dan rutinitas hidup, bahkan dengan cara meratapi sekaligus menertawai nasib secara personal sekaligus bersama-sama.
  Buku ini adalah lebih sebagai upaya bersama untuk merayakan kebersukacitaan tentang sesuatu yang dianggap milik bersama. Merayakan sesuatu yang dianggggap merupakan kekayaan bersama, merayakan sesuatu yang dianggap sebagi nikmat bersama. Tanpa pretensi apapun buku ini lahir untuk merayakan suatu kebersamaan, merayakan kebersaudaraan, merayakan kebersandingan. Urip mung mampir ngopi. Mangga ngopi!  
*******
*)Penulis adalah sastrawan nasional dan alumnus program Doktor Pendidikan Bahasa sastra Indonesia, UNS Surakarta.Tinggal di Ngawi Jawa Timur.
 
 

























TENTANG KOMUNITAS NALAR BUDAYA (KNB) NGAWI

Komunitas Nalar Budaya adalah komunitas budaya yang nirlaba, indepeden, tidak berpolitik dan bercorak "patembayan", kekeluargaan  dan kebersamaan. Komunitas Nalar Budaya (KNB) memiliki perhatian pada persoalan-persoalan budaya secara umum. Berfokus pada kegiatan kegiatan menggerakan aktivitas literasi  baca tulis (kepenulisan sastra maupun non sastra) ; literasi budaya (persoalan sejarah, tradisi, local wisdom, sastra, kesenian dan sosial budaya lainnya). Kegiatannya dapat berupa produksi atau penerbitan buku sastra/sosial budaya, kajian buku, diskusi sastra, launching buku, kajian budaya, kajian seni, pameran seni - budaya dan sebagainya. Semua kegiatan yang dilakukan KNB bersifat nirlaba dan terutama dibiayai dengan partisipasi (patungan) bersama meski tidak tertutup untuk menerima donatur yang tidak mengikat. 

Komunitas Nalar Budaya dicikal bakali oleh 4 serangkai:  Tjahjono Widijanto Sastrawan dan Pendidik), Budi Hantara (Guru dan Penulis), Sriyanto dan Sugeng Susanto (Guru). Kemudian bergabung tiga nama lagi yakni:   Susetyo (Pelukis), Agus Maus (Pengusaha), dan Tito Setyobudi (Budayawan), sehingga komunitas ini beranggota 7 (tujuh) orang dan tidak memiliki pengurus, hanya ada kordinator, yang berdasarkan kesepakatan ditunjuk Tjahjono Widijanto sebagai kordinator.  

Setelah kegiatan Launching buku dan rasan-rasan budaya ini telah dipersiapkan pula penerbitan antologi esai budaya perihal gunung dengan tajuk Suluk Gunung. Selanjutnya telah dipersiapkan pula Rasan-rasan Budaya jilid 2 yang akan membahas hal ihwal Keroncong dengan narasumber pakar keroncong dan penggiat Keroncong di Ngawi.
 

Posting Komentar

0 Komentar