005

header ads

Purnama Sastra Bojonegoro #62 Persembahkan Tanda Cinta Dari Bojonegoro

 


BOJONEGORO - Malam itu jalanan basah. Hujan baru saja mengguyur kota kecil Bojonegoro. Jalanan yang licin membuat para pengendara motor memperlambat laju kendaraanya. Suasana malam pun kian berbeda dari biasanya. Sendu yang candu.

Dan malam itu, Jumat 18 Februari 2022, saat rembulan bersinar sempurna, beberapa penyair berkumpul di bawah pohon sawo pada sebidang halaman rumah di Desa Kedaton, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

Ya, di halaman rumah sederhana milik Imron Nasir, seorang penulis muda Bojonegoro ini Purnama Sastra Bojonegoro (PSB) ke 62 yang bertajuk "Tanda Cinta Dari Bojonegoro" para pegiat sastra tampak khusuk menderas karya sastra puisi, geguritan dan dramatisasi puisi yang diekspresikan oleh teater "AWU" SMK Negeri 2 Bojonegoro yang membawakan puisi berjudul Hikayat Surosentiko, karya Agus Sighro Budiono.


"Purnama Sastra Bojonegoro adalah ruang terbuka bagi siapapun. Para pegiat sastra, baik itu, pelaku, peminat maupun hanya penikmat bisa hadir. Entah itu dari Surabaya, Lamongan, Tuban dan juga dari berbagai kalangan usia," terang Imron Nasir.

Selain pembacaan karya sastra puisi, geguritan, permainan perkuisi maupun musikalisasi puisi dan dramatisasi puisi dari para penyair yang hadir, pada gelaran kali ini juga tampil dalang Ki Ompong Soedharsono dari Temanggung Jawa Tengah yang memperkenalkan wayang Blang bleng.

Selain para penyair, hadir juga spiritualis Gus Lukman Rohmatulloh dari Lamongan dan Gus Munib Al Salim, peneliti makam makam tua dari Gresik.

Mengapa harus memilih tema Tanda Cinta Dari Bojonegoro? Sebenarnya apa yang terjadi dengan kabupaten Bojonegoro, sehingga memantik para pegiat PSB mempersoalkan hal itu?

Ada beberapa alasan yang cukup menggelitik. Yang pertama alangkah pelik mempertahankan rasa cinta dan dengan keras kepala memperjuangkannya. Kerja-kerja sastra, yang bukan hanya semata menulis dengan segenap kemampuan. Melampaui jalan-jalan puisi yang selalu lengang, papa, jauh dari hasrat memetik pujian dan dihindari banyak orang.

Kedua, penyair, sastrawan penulis, pelaku sastra (atau apa pun sebutannya) adalah seseorang yang bekerja dengan bahasa, ide, kepekaan dan rasa pirasa, beserta gagasan estetiknya.

Puisi dan karya-karya sastra yang lain tidak berdiri sendiri. Puisi dan karya-karya sastra yang lain tidak berdiri di atas kekosongan. Karya yang besar sesungguhnya selalu berangkat dari problem-problem yang begitu dekat.



Mungkin begitulah cara bahasa memeluk tubuhnya dan merumuskan takdirnya, sepanjang pintu-pintu perlu dibuka dan pembaca ideal masih terdapat di luar sana.

Gemuruh jaman beserta segenap gejala yang dibawanya, realitas sosial dan politik, juga kebudayaan yang carut marut, amoral dan _cenderung_ brengsek tentu juga tak lepas dari perhatian penyair.

Bisa apa puisi di tengah dera jaman meluluhlantakkan nilai yang seperti sekarang ini? Apakah puisi masih bisa kita percaya?

Puisi, barangkali tak mampu untuk menjawab rasa lapar.  Puisi dan karya-karya sastra yang lain tentu tak punya cukup kemampuan untuk menyembuhkan epilepsi jiwa bangsa.





Tapi, percayalah, cinta yang megah dan tak pernah bisa dirumuskan terdapat di dalamnya. Mungkin inilah sebab mengapa puisi mampu mengilhami perubahan, seperti bagaimana karya-karya besar di dunia mendudukkan dirinya pada setiap perjalanan sejarah.




Tanda Cinta dari Bojonegoro, sebagai tema Purnama Sastra kali ini juga diniatkan menjadi judul buku edisi pertama yang akan diupayakan penerbitannya, merupakan kado kecil untuk peristiwa kesastraan di Bojonegoro. (*)


Posting Komentar

0 Komentar