005

header ads

[NOMINASI] Puisi Eko Setyawan

 MITONI

Puisi Eko Setyawan


tujuh rupa

tujuh warna

tujuh bulan usia

tujuan kian jelas

bermuara.


bulan ke tujuh

ialah waktu

di mana semua tinuju.

lain lafal,

kadang sama maknanya.

tujuh, juga dilafal pitu

ialah pitulungan

bagi ia yang hidup

dan berharap

pada Sang Hyang

lewat sembahyang.


ketika di rahim ibu

bermukim janin

tujuh bulan lamanya,

syukur diucap

dan diuraikan

dengan beragam cara.


hari dipilih.

dihitung dengan jari-jari

dan diputuskan

rabu dan sabtu sebagai suatu yang pasti.

tanggal ganjil

sebelum tengah bulan

segalanya mafhum ditentukan dan dilaksanakan.


sungkeman,

sebagai tanda

memulai segala serangkaian.

memohon doa pada kedua orang tua

adalah restu yang tak ternilai harganya.

sebab di hari-hari berikutnya,

kelak, akan jadi orang tua lainnya.


selepas sungkem,

restu diterima dan melengkapi

sekaligus melingkupi.

bakal ibu

didudukkan di atas tikar pandan

beralas daun-daun dari pekarangan

daun kluwih,

daun kara,

daun dadap,

ilalang,

juga daun-daun lainnya.

menjelma pertanda

bahwa hidup

tak luput dari kenyataan

yang ada di sekelilingnya.


setelah segalanya tersedia

selepas segalanya lengkap

jangkeplah persiapan.


lantas 

bakal ibu

dimandikan

juga keramas tak boleh dilupakan.

dibasuh air

dengan kembang tujuh rupa warna,

diurap pula dengan mangir,

daun pandan,

daun kemuning,

sebagai penguat aroma,

dibanjur dengan gayung dari batok kelapa

dan dipecah sebagai pungkasannya.


aroma yang menguar

memancarkan cahaya

ke dalam kepala

agar mampu berpikir

dan menerima

segala yang dipercayai.

sebagai wangi,

sebagai pencegah keras hati.

bersih lahirnya,

bersih pula batinnya.


demi kelancaran ke depan

diajari sedikit banyak percobaan.

telur ayam kampung digulirkan

dari sarung yang dikenakan ibu

meluncur dan pecah tak menentu.

dari sana, harapan ditanamkan

agar kelak,

bayi lahir tanpa halangan.


“laki-laki atau perempuan

tak ada beda.

asalkan selamat lahirnya.”


hidup,

selalu bertalian

dan bertaut bergantian.

kelapa gading yang disiapkan

tergambar sepasang

laki-laki dan perempuan.

antara Kamajaya-Kamaratih,

Arjuna-Sembadra

atau Panji-Candrakirana

digelindingkan melalui pakaian

yang dikenakan.


“lanang-lanang, wedok-wedok.”


jawaban bersahutan.


“lanang-lanang, wedok-wedok.”


jawaban dilafalakan

mereka yang menyaksikan.


selepas segalanya bersih

tanpa noda.

setelah menentukan laki-laki atau perempuan

bakal anaknya.

calon ibu mengenakan jarik

beberapa jenisnya:

letrek,

jingga,

bangun tulak,

sindur,

sembagi,

selendang lurik,

yuyusekandang,

dan kain putih tanpa noda pelengkapnya.

menjelma isyarat,

bahwa hidup ke depan

akan dilalui

dengan beragam rupa warna.

beragam lika-liku bentuknya.

dengan si bayi

yang kelak akan beranjak dewasa.


“pantes opo ora?”


dari kerumunan serentak bergema:

“pantes!”


“pantes opo ora pantes?”


“pantes!”


pertanyaan dan jawaban

diulang tujuh kali lamanya.


kepantasan,

sebenarnya tak berwujud.

sesekali melintas di kepala

dan lebih sering ada di hati.

tapi, kepantasan

bukan datang dari diri sendiri

melainkan dari pandangan liyan.


lalu akhirnya,

pilihan ditentukan.

jarik terpilih dikenakan.


setelahnya,

janur dililitkan diperut ibu

tanda bahwa tali pusar

terhubung antara ibu

dan janin

menyambung takdir

dan kelak, di kemudian hari

akan hidup sendiri-sendiri.


lilitan janur,

dipotong bapak

sebagai tanda

bahwa kelak

bayi akan lahir

dengan lancar

tanpa halangan apa-apa.


janur menjelma tanda

pusar dari ibu

tersambung ke jabang bayi

kelak akan lahir

tanpa halangan,

tanpa ketakutan,

semua demi kelancaran.


ibu lantas meminum jamu

yang ditiup doa-doa

dari pinisepuh

sebagai tanda perantara

dari pemilik semesta.

doa-doa dilafal,

jamu diminum

dan mempermudah kelahiran nantinya.


ibu juga dodol rujak

dari campuran ragam buah

rupa warna, rupa rasa.

mereka yang tiba

membeli dengan kreweng

sebagai penebusnya.

kelak selepas jabang bayi lahir

rezeki akan terbagi

datang dan pergi.


bapak juga tak kalah gelisah

ia curi uleg-uleg dan telur ayam

dari dapur dan petarangan

dengan harapan

kelak kelahiran lancar

seperti pencuri

yang berusaha pergi

menghindari sergapan.


lantas,

seluruhnya kembali dipahami

bahwa hidup ialah persoalan menentukan.

laki-laki atau perempuan adalah pilihan

ketika parang terayun

memecah degan gadhing kuning

bergambar sosok laki-laki dan perempuan.


tak lupa

dirapalkan pula sabda

atau barangkali harapan

dari bapak ke calon anak

: lahirlah tanpa halangan apa-apa.


jika laki-laki,

turunlah tabiat dan perangai

Kamajaya, Arjuna, atau Panji.


jika ia kelak perempuan,

kelak ia ialah titisan

Kamaratih, Sembrada, atau juga Candra Kirana.


sabda,

juga harapan,

selesai dilafalkan

dan menunggu takdir

dari kelahiran

yang sudah dekat

waktunya.


sejak saat itu

tiap berganti waktu

akan selalu ditunggu.


bapak penuh harap

dan ibu

mengandung dengan haru.


tujuh bulan sudah

janin tumbuh

di rahim ibu.

mitoni

adalah jangka waktu

yang tercatat

dalam garis takdir

dalam hidup

dalam perhitungan-perhitungan

yang diturunkan dari langit

dan dipercayai

hingga kini.

sebab tujuh

ialah tujuan hidup

tujuh adalah petunjuk

dan pembuka jalan

sebermula dari penciptaan

dan dipercaya

sebagai tingkat

kehidupan.


akhirnya,

semua dipungkasi.

semua yang diawali

harus pula diakhiri.

dengan kondhangan

atau bancakan

seluruhnya, kelak

akan dimudahkan.


dibuatlah tumpeng

di atas tampah.

lambang hidup

harus berserah

pada-nya, yang maha kuasa.


di sekeliling,

disusun lauk

: ayam ingkung (disuwir),

telur (dibelah 8 bagian),

ikan asin,

rempeyek,

juga kerupuk ditumpuk.

sayur-mayur disertakan

: entah dinamai kuluban,

gudangan,

urap,

atau nama-nama lain

sesuai kesepakatan.

tak lupa jajanan pasar,

juga bubur

: merah, putih, dan procot.

dilengkapi rupa warna

tumpeng tujuh rupa

untuk membangun

hidup yang teratur

dan seluruhnya dibagi

ke tetangga

dan yang tiba

mengikuti

prosesi.


hidup

sejatinya ialah berbagi

untuk mereka

yang ada di sekitar.

sebab hidup

ialah menghidupi

untuk hari ini

untuk kemudian hari.

hidup adalah mekar kembang

semerbak dan dicium

entah wangi atau bacin

dihidu mereka

yang ada di sekeliling.


hidup

dimulai

di hari-hari mendatang

menunggu waktu

yang tepat

ketika jabang bayi

telah meninggalkan kandang.

dari dalam sana

dari rahim ibu

menjelma hidup

lewat kelahiran.


EKO SETYAWAN, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di Antara Kita (2020), & Mengunjungi Janabijana (2020). Buku Mengunjungi Janabijana meraih Penghargaan Prasidatama 2021 Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah kategori Buku Puisi Terbaik.




Posting Komentar

0 Komentar