JATUH HATI (5)
Oleh: Dyah Kurniawati
Mendadak redup wajah cerah dan percaya diri Pak RT. Beliau terkulai lemas tanpa daya setelah mendengar penjelasan pakdhe bahwa Sekar Kinasih tadi siang juga telah dilamar Bagaskara, kembaran Prabaswara. Bahasa tubuh tak bisa berbohong bahwa sesungguhnya beliau benar-benar patah hati. Tak terduga sama sekali, bisa jadi lamaran kali ini tertolak.
Padahal sudah jadi rahasia umum, banyak yang mengantri cinta Pak RT yang tampan dan sangat tajir ini. Wanita mana pun akan silau dengan pesona beliau. Disamping rajin olahraga juga pada dasarnya memiliki postur tubuh yang sangat proporsional. Orangnya humble sangat ramah, walau berusia muda tapi begitu dewasa dalam mengatasi setiap masalah. Maka dipilihlah untuk menjadi ketua RT oleh warga sekitar. Hanya satu kelemahannya, kehidupan rumah tangganya tidak semulus karirnya.
Kulirik Sekar Kinasih masih menunduk, jarinya memilin ujung jilbab hitamnya. Ada tahi lalat di pipi kirinya menambah indah dunia ini. Kacamata ovalnya masih bertengger melindungi mata indahnya. Ups..., rasa ini kembali ngelantur. Baru sekarang bisa melirik pujaan hati dari dekat, mencuri dengan hati.
Dulu waktu dia datang titip kunci ke rumah juga sedekat ini namun diri ini tak mampu meliriknya, apalagi menatap. Karena aku orang yang pemalu, apalagi dengan makhluk yang disebut perempuan. Dulu menikah saja dijodohkan oleh orang tua dengan putri teman masa kecilnya, karena sudah sama-sama akrab dan ingin menjalin silaturahmi makin erat. Tapi takdir lebih menyayangi istriku sebelum menghadiahkan cucu bagi mereka.
Lamunan terhenti kala budhe menyuguhkan kopi hitam berteman pisang goreng yang masih hangat. Aromanya menggoda ketabahan air liur .
“Silakan diminum Pak RT, Mas Gilar, mumpung masih hangat.”
“Terima kasih, Budhe.” jawabku seraya mengambil cangkir bergambar mawar merah lalu menyeruput isinya. Kulirik Pak RT juga meminum kopi sepertiku. Rasa hati beliau pasti seperti rasaku tadi pagi kala aku mau berangkat melamar ke sini, eh Pak RT datang meminta menemani melamar yang akan aku lamar.
Sesaat hening, setiap diri meresapi nikmatnya kopi berduet dengan pisang goreng yang lezat. Hangatnya tegukan kopi mengaliri setiap penjuru tubuh yang sesaat menegang. Sekar Kinasih pamit ke belakang diiringi tatapan Pak RT yang penuh arti. Walau dalam hati aku ingin Sekar tetap di sini, tapi sisi kalbuku yang lain mengatakan bahwa dia sebaiknya bersembunyi saja. Seakan tak rela terus dipandangi Pak RT beserta hasrat memilikinya, aku tak sanggup karena merasa dia sudah jadi milikku. Halu ini sungguh terlalu.
“Mas Gilar sudah kerasan ya menetap di kampung yang sepi ini, hehe....” pakdhe memecah kesunyian.
“Sangat nyaman dan tenang, Pakdhe. Apalagi Pak RT-nya sangat ramah, hehe....” kucoba mencolek Pak RT yang sedari tadi diam membisu.
“Hem....” jawab Pak RT sambil mengedipkan sebelah matanya padaku dengan genit, tapi masih kulihat sisa kesedihannya.
“Siapa tahu nanti bisa menetap di sini selamanya, ketemu jodoh di kampung ini ya Mas Gilar hehe..., “ ucapan pakdhe membuat rasa tidak enak dengan Pak RT.
“Semoga saja Pakde, minta doanya nggih. Berharap Pak RT juga segera mendapatkan pelabuhan hati secepatnya. Apakah enaknya kita menikah bareng saja Pak RT?” kelakar untuk mencairkan suasana, mengembalikan keceriaan Pak RT yang masih agak mendung.
“Haha.....boleh, boleh.”
“Hahahhaa...,”. yang ada di ruangan tertawa bareng. Alhamdulillah ketegangan mulai mencair.
“Mas Gilar saudaranya ada berapa? Dan maaf anak nomor berapa ya?” lanjut pakde menyelidik.
“Saya anak nomor tiga Pakdhe, terakhir.”
“Oh gitu ya...,” pakdhe menjawab agak terkesiap. Seperti ada yang disembunyikannya.
Sesaat hening lagi, kupandangi rumah ini. Walau termasuk bangunan tua tapi masih bagus dan kokoh. Sepertinya almarhum Pak Rudi pemilik rumah ini, bapak Sekar Kinasih adalah orang yang mencintai budaya Jawa. Di pojok timur samping rak buku banyak koleksi pusaka dan pernak-pernik berbau Jawa. Ada juga beberapa lukisan dan foto menggunakan busana kejawen.
Kualihkan pandangan ke luar jendela. Terlihat pohon sawo di halaman depan rumah ini. Terbayang lagi sosok Sekar Kinasih waktu itu bermain biola di sela-sela tarian jemari lentiknya diatas keyboard laptop, mengetik novel. Angin sepoi mengantar angan ini menghadirkan kembali gesekan lembut biola bersenandung Jatuh Hati-nya Fileski, mendayu-dayu menciptakan suasana pilu.
JATUH HATI
rindu bukan perkara jarak
bukan soal bertemu atau tidak
kamu adalah cahaya
nampak tapi berjuta jarak
dalam gelap aku diam
mengintip kau yang bersinar di sana
aku selalu rindu kamu
meski kau tak pernah menganggapku
aku tak sanggup untuk katakan sayang
meski dalam hati ku ingin kau tau
mungkinkah aku sanggup menghadapimu
untuk mengaku aku jatuh hati
Lamunan buyar kala tanganku disentuh Pak RT diajak pamitan. Rasanya enggan beranjak dari tempat ternyaman ini. Pikiran haluku kembali membumbung tinggi. Membayangkan aku menetap di rumah ini selamanya.
“Hahai, bangun Gilar. Jangan terlalu tinggi terbangnya, nanti kalau jatuh sakit hlo...,” batinku berkecamuk
Akhirnya kami pamit pulang tanpa membawa hasil jawaban, ini yang kuharapkan. Walau sedikit ketar-ketir tapi yakin Sekar Kinasih akan memilihku. Allah akan berbuat sesuai persangkaan hamba-Nya, hiburku untuk diriku sendiri. Kala kami pamit, hanya budhe dan pakdhe saja karena sejak masuk tadi Sekar tidak keluar lagi. Pak RT celingukan seperti mencari Sekar sepertinya mau modus pamitan.
“Nanti saya sampaikan Sekar, dia lagi istirahat karena akhir-akhir ini kurang enak badan. Mungkin belum siap kehilangan suaminya yang meninggal secara tiba-tiba. Makanya saya dan istri menetap disini sampai Sekar ada yang mendampingi lagi. Karena saya juga masih punya tanggungan di kampung halaman, secepatnya lah cari pasangan hidup untuk Sekar. Gak tau siapa nanti pilihan Sekar, tapi berharap keputusan yang diambilnya terbaik bagi semuanya. Bisa saja Sekar memilih Bagaskara, Pak RT atau mungkin Mas Gilar. Hehehe....” Pakde berbicara panjang kali lebar.
“Ups, Pakde bisa aja..hehe.” jawabku sambil menepuk pundak Pak RT yang agak terperanjat mendengar kelakar Pakdhe. Aku juga tak enak hati, disaat Pak RT lagi sedih karena lamaran belum ada ada jawaban, kok pakdhe semakin menporak-porandakan perasaan beliau dengan memasukkan namaku dalam daftar kandidat memperebutkan Sekar. Dalam hati sebenarnya bersorak bahkan mengaminkan, tapi kok rasanya tidak pas suasananya. Berharap jodoh Sekar adalah diriku. Hem.
Pak RT langkahnya gontai, lunglai seperti kalah perang. Kebalikan dengan semangat membaranya ketika menuju ke mari tadi.
Ketika sampai depan pintu pakdhe menyalami serta merangkul Pak RT kemudian aku, semakin mengharu biru. Saat merangkulku pakdhe berbisik lirih yang membuat terkesima, jantung terasa copot dari ragaku,
“Sebenarnya saya berharap Mas Gilar yang melamar Sekar”.
Duarrrrr....
*****
Madiun, 3 Oktober 2022
# teks Jatuh Hati adalah lirik dan lagu karya Fileski.
Dyah Kurniawati lahir dan bermukim di Madiun. Menggilai fiksi sejak berseragam putih merah. Lulusan Pend. Bahasa dan Sastra Jawa ini mencoba selingkuh ke sastra Indonesia, tapi tak kuasa lepas dari hangat pelukan sastra Jawa. Menulis geguritan, cerkak, esai, cerita lucu juga menulis puisi dan cerpen. Bisa disapa di https://www.facebook.com/dyah.kurniawati.948.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024