JURU BICARA KEGELAPAN |
AR. .Zanky
Kata rakayat dan aspirasi adalah dua jenis ungkapan yang paling pesat per-
kembangannya dalam sejarah reformasi. Dua kata ini sangat elastis. Bisa digunakan
semua kalangan sebagai basis identitas. Sangat representatif apabila seseorang ingin
menyatakan suatu niat mulia.
Seorang penganggur bisa tiba-tiba mendaftarkan diri sebagai Caleg atas desa-
kan dan aspirasi rakyat.Siapa rakyat yang dimaksud?Jawabannya akan sangat panjang
lebar. Tapi, demi menjaga perasaan rakyat lain, tentu saja kita tidak bisa memberikan
rincian. Supaya jangan ada kesan sang Caleg hanya mewakili satu golongan. Seorang
demokrat sejati harus berdiri di atas semua golongan. Lalu, seandainya terpilih, apa
hal pertama yang akan beliau lakukan? Kita lihat sajalah nanti. Tapi untuk periode
pertama tidak akan muluk-muluk dulu programnya. Misalnya, renovasi rumah, beli
tanah untuk aset, syukur bisa memberangkatkan orangtua naik haji, dan terakhir me-
renovasi pos kamling tempat beliau dulu biasa nongkrong dengan teman-teman. Be-
gitulah kalau saya coba rekonstruksikan programnya. Dalam konteks inilah kita bisa
menangkap arti kata rakyat dan aspirasi yang beliau maksudkan.
Seorang menteri umpamanya, bisa mengeluarkan peraturan yang melarang
penggunaan tas plastik gratis di mall dan pusat-pusat grosir besar, atas desakan dan
aspirasi pegiat lingkungan. Sebuah regulasi yang sangat sesuai dengan gerakan iklim
global yang oleh para pemilik mall disambut antusias. Sebab akan banyak menghe-
mat ongkos distribusi. Supaya konsumen lebih mandiri. Bawa tas belanja sendiri atau
beli tas ramah lingkungan yang disediakan pihak mall. Dalam kebijakan ini, kita da-
pat dengan gamblang melihat aspirasi siapa sebenarnya yang tersalurkan.
Interpretasi saya ini tentu saja bisa dibantah. Sebab saya terkenal sebagai ok-
num yang suka nyinyir dan banyak prasangka. Karena tidak mungkin saya bisa mem-
baca isi hati orang. Jangan-jangan hati saya sendiri yang digelapkan dosa. Seperti se-
seorang yang berdiri terlalu dekat dengan lampu sehingga menggelapkan sekeliling
dengan bayangannya. Mestinya prasangka-prasangka itu ditujukan pada diri sendiri
dulu. Biar mawas diri. Jangan sampai ikut-ikutan, general hitory, pinjam istilah Fou-
cault, sejarah umum, anggapan rata-rata, yang menstigmakan seluruh kebijakan pe-
merintah itu jelek. Ya, kita memang bangsa yang penuh imajinasi.
Kata rakyat dan aspirasi itu sendiri sudah tidak jelas ranah etimologisnya. De-
notatifkah atau konotatif? Atau dua-duanya? Atau malah bukan keduanya? Sebuah
entitas hampa makna. Maknanya baru hadir setelah dilekatkan pada obyek dan kon-
teks tertentu. Semacam bunglon gramatikal yang tak bisa lagi mengucapkan makna
ontologisnya. Tidak lagi mewakili dirinya yang azali.
Dua kata ini saja yang diperkosa, bahayanya sudah amat nyata. Bisa mengaki-
batkan sembelit demokrasi berkepanjangan. Kotoran tidak bisa dikanalisir. Kita akan
terus berputar-putar dalam paradoks dan kontradiksi nalar kita sendiri. Kebingungan
yang berasal dari, oleh, dan untuk kita sendiri . Maka kalau ada yang harus dicurigai,
itu adalah ketulusan hati kita sendiri.
Betapa sering kita ngeles, bahkan demi hal yang begitu receh. Ngutang di wa-
rung karena dompet ketinggalan. Melawan arus lalu lintas karena takut telat. Menele-
pon pinjam Hp teman karena lupa isi kouta. Lupa menghadiri sidang parlemen karena
ketiduran di rumah istri muda…Wah banyak betul akal bulus kita cadangkan. Celaka-
nya lagi, pihak yang kita akali bakal maklum sepenuhnya. Menganggapnya sebagai
tipuan kecil yang hanya patut ditertawakan. Maka menjadi-jadilah kemanjaan kita.
Ruang sidang parlemen kosong melompong, janganlah terlalu dikritisi. Mak-
lum saja. Para yang mulia terlalu banyak kerjaan. Terpidana korupsi nonton konser di
Singapura jangan terlalu dibesar-besarkan. Toh itu hanya oknum. BUMN terus me-
rugi, janganlah heboh. Orang dagang tidak selamanya untung. Ada semacam dekon-
struksi massal terhadap parameter moral konvensional. Sehingga rasa malu tidak lagi
bisa mencegah orang dari berbuat curang. Kita kehilangan modus epistemologis un-
tuk bisa mencerna keadaan sesuai dengan faktanya.
Motif-motif personal kita bungkus menggunakan simbol-simbol kolektif. Ke-
inginan dan ambisi pribadi kita selundupkan dalam transportasi lembaga-lembaga res-
mi milik publik. Bila kita tidak menyukai seseorang, sekuat daya kita akan menggu-
nakan sebuah pasal untuk melibasnya. Ketika kita tak mampu menemukan argumen-
tasi dalam debat, dengan mudah kita bisa melaporkannya, karena menghina dan me-
nyebarkan kebencian. Watak memukul lawan dengan menggunakan tangan orang la-
in ini, sebenarnya adalah cerminan gamblang adanya inferioritas mengenaskan.
Mengkonfirmasikan adanya sifat pengecut yang ingin ditutupi secara diam-diam.
Maka segala retorika yang kita kembangkan tentang pembelaan, perjuangan,
pengayoman, dan keberpihakan, tidak lain adalah, pembelaan, perjuangan, pengayo-
man dan keberpihakan terhadap diri sendiri. Segala niat baik yang kita rancang ter-
anulir oleh ketidaktulusan hati kita sendiri. Sumbernya adalah nafsu dan keserakahan
yang terus dimanjakan hingga menggelapka benak. Keterputusan dengan cahaya ini,
tersebab kita tak pernah mau mengakui dosa. Kita hanya menghadapkan hati kepada
manusia. Bukannya pada Tuhan yang Maha Esa sebagaimana tercantum dalam Pan-
casila. Dengan begitu kita telah menjadi juru bicara dari kegelapan ambisi dan nafsu
kita sendiri.
AR.Zanky alias Abdurrazzaq Zanky lahir 5 Juli 1976 di desa Tambak Sirang Laut,
Kalimantan Selatan. Sehari-hari berprofesi sebagai petani. Tapi hobi mengamati
tingkah laku orang sekeliling.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024