005

header ads

JURU BICARA KEGELAPAN | AR. .Zanky

      JURU BICARA KEGELAPAN |

                                AR. .Zanky


Kata rakayat  dan  aspirasi  adalah dua jenis  ungkapan yang paling pesat per- 

kembangannya dalam sejarah reformasi.   Dua kata ini sangat elastis.  Bisa digunakan 

semua kalangan sebagai basis identitas.   Sangat representatif apabila seseorang ingin 

menyatakan suatu niat mulia.

Seorang  penganggur bisa tiba-tiba mendaftarkan diri sebagai Caleg atas desa-

kan dan aspirasi rakyat.Siapa rakyat yang dimaksud?Jawabannya akan sangat panjang

lebar. Tapi, demi menjaga perasaan rakyat lain,  tentu saja kita tidak bisa memberikan

rincian. Supaya jangan ada kesan sang Caleg hanya mewakili satu golongan.  Seorang

demokrat  sejati  harus berdiri di atas semua golongan.  Lalu, seandainya terpilih,  apa 

hal  pertama  yang akan beliau lakukan?  Kita lihat sajalah nanti.   Tapi untuk periode 

pertama  tidak akan muluk-muluk  dulu programnya.  Misalnya, renovasi rumah, beli

tanah untuk aset,  syukur bisa memberangkatkan orangtua naik haji, dan terakhir me-

renovasi pos kamling tempat beliau dulu biasa nongkrong dengan teman-teman.  Be-

gitulah kalau saya coba rekonstruksikan programnya. Dalam konteks inilah kita bisa

menangkap arti kata rakyat dan aspirasi yang beliau maksudkan.

Seorang menteri umpamanya,   bisa mengeluarkan peraturan yang melarang

penggunaan tas plastik gratis di mall dan pusat-pusat grosir besar,  atas desakan dan

aspirasi pegiat lingkungan. Sebuah regulasi yang sangat sesuai dengan gerakan iklim

global  yang  oleh para pemilik mall disambut antusias.   Sebab akan banyak menghe-

mat ongkos distribusi. Supaya konsumen lebih mandiri. Bawa tas belanja sendiri atau

beli tas ramah lingkungan yang disediakan pihak mall.   Dalam kebijakan ini,  kita da-

pat dengan gamblang melihat aspirasi siapa sebenarnya yang tersalurkan.

Interpretasi saya ini tentu saja bisa dibantah.   Sebab saya terkenal sebagai ok-

num yang suka nyinyir dan banyak prasangka. Karena tidak mungkin saya bisa mem-

baca isi hati orang. Jangan-jangan hati saya sendiri yang digelapkan dosa.  Seperti se-

seorang  yang  berdiri terlalu dekat dengan lampu  sehingga menggelapkan sekeliling 

dengan bayangannya.   Mestinya  prasangka-prasangka itu ditujukan pada diri sendiri 

dulu. Biar mawas diri. Jangan sampai ikut-ikutan, general hitory, pinjam istilah  Fou-

cault, sejarah umum,  anggapan rata-rata,  yang  menstigmakan seluruh kebijakan pe-

merintah itu jelek. Ya, kita memang bangsa yang penuh imajinasi.

Kata rakyat dan aspirasi itu sendiri sudah tidak jelas ranah etimologisnya. De-

notatifkah atau konotatif?  Atau dua-duanya?   Atau malah bukan keduanya?  Sebuah

entitas hampa makna.  Maknanya  baru  hadir setelah dilekatkan pada obyek dan kon-

teks tertentu.  Semacam  bunglon  gramatikal yang tak bisa lagi mengucapkan makna

ontologisnya. Tidak lagi mewakili dirinya yang azali.

Dua kata ini saja yang diperkosa, bahayanya sudah amat nyata. Bisa mengaki-

batkan sembelit demokrasi berkepanjangan. Kotoran tidak bisa dikanalisir. Kita akan

terus berputar-putar dalam paradoks dan kontradiksi nalar kita sendiri.  Kebingungan

yang berasal dari, oleh, dan untuk kita sendiri . Maka kalau ada yang harus dicurigai,

 itu adalah ketulusan hati kita sendiri.

Betapa sering kita ngeles, bahkan demi hal yang begitu receh. Ngutang di wa-

rung karena dompet ketinggalan. Melawan arus lalu lintas karena takut telat. Menele-

pon pinjam Hp teman karena lupa isi kouta. Lupa menghadiri sidang parlemen karena

ketiduran di rumah istri muda…Wah banyak betul akal bulus kita cadangkan. Celaka-

nya lagi,  pihak yang  kita akali bakal maklum sepenuhnya.  Menganggapnya sebagai 

tipuan kecil yang hanya patut ditertawakan. Maka menjadi-jadilah kemanjaan kita.

Ruang  sidang parlemen kosong melompong,  janganlah terlalu dikritisi. Mak-

lum saja. Para yang mulia terlalu banyak kerjaan. Terpidana korupsi nonton konser di

Singapura  jangan terlalu dibesar-besarkan.  Toh itu hanya oknum.  BUMN  terus me-

rugi, janganlah heboh. Orang dagang tidak selamanya untung.   Ada semacam dekon-

struksi massal terhadap parameter moral konvensional. Sehingga rasa malu tidak lagi

bisa  mencegah orang dari berbuat curang.   Kita kehilangan modus epistemologis un-

tuk bisa mencerna keadaan sesuai dengan faktanya.

Motif-motif personal kita bungkus menggunakan simbol-simbol kolektif.  Ke-

inginan dan ambisi pribadi kita selundupkan dalam transportasi lembaga-lembaga res-

mi milik publik.  Bila kita tidak menyukai seseorang,   sekuat daya kita akan menggu-

nakan sebuah pasal untuk melibasnya.  Ketika  kita tak mampu menemukan argumen-

tasi dalam debat,  dengan mudah kita bisa melaporkannya,  karena menghina dan me-

nyebarkan kebencian. Watak memukul lawan dengan menggunakan tangan orang la-

in  ini,  sebenarnya  adalah  cerminan  gamblang  adanya  inferioritas  mengenaskan.

Mengkonfirmasikan adanya sifat pengecut yang ingin ditutupi secara diam-diam. 

Maka  segala retorika yang kita kembangkan tentang pembelaan,  perjuangan,

pengayoman, dan keberpihakan, tidak lain adalah,  pembelaan, perjuangan,  pengayo-

man dan keberpihakan terhadap diri sendiri.   Segala  niat baik  yang kita rancang ter-

anulir oleh ketidaktulusan hati kita sendiri. Sumbernya adalah nafsu dan keserakahan

yang terus dimanjakan hingga menggelapka benak. Keterputusan dengan cahaya ini,

tersebab kita tak pernah mau mengakui dosa.  Kita hanya menghadapkan hati kepada

manusia.  Bukannya pada Tuhan yang Maha Esa  sebagaimana tercantum dalam Pan-

casila.  Dengan begitu kita telah menjadi juru bicara dari kegelapan ambisi dan nafsu

kita sendiri.



AR.Zanky alias Abdurrazzaq Zanky lahir 5 Juli 1976 di desa Tambak Sirang Laut,

Kalimantan Selatan. Sehari-hari berprofesi sebagai petani.   Tapi hobi mengamati

tingkah laku orang sekeliling.


 


Posting Komentar

0 Komentar