Judul : Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : Noken Studio Nusantara
Terbit : 2023
Tebal : 80 Halaman
ISBN : 978-623-09-2351-7
Bagaimana seorang penyair menyikapi kerinduan? Bagaimana kepengrajinannya membawakan kerinduan dengan kebaruan, kreativitas yang segar, dan tak dikesankan begitu-begitu saja? Dua pertanyaan inilah yang segera terlintas dalam kepala saya saat membuka halaman pertama buku puisi Akhmad Idris, Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan (Noken Studio Nusantara, 2023).
Memang, tema kerinduan tidak serta-merta menjadi tema dari keseluruhan puisi di dalam buku. Akhmad membentangkan beragam tema dalam kepengrajinan puitisnya. Tapi, kalau boleh membungkusnya dalam satu tema utama, maka ihwal perempuan, cinta, dan agama tampak menjadi bungkus besar yang dominan. Sementara itu, dari ihwal cinta inilah kesan kerinduan pun saya dapatkan, sebab, manakala melihat blurb di belakang buku yang berisi nukilan puisi pertama yang bertema cinta, soal kerinduan tidak bisa dihindarkan muncul di kepala. Dan hal itu langsung disusul dua pertanyaan di paragraf pembuka tulisan ini.
Bisa dibilang, kerinduan menjadi salah satu lokus puisi dalam dapur kepengarangan Akhmad. Lokus kerinduan bisa dilacak dalam sejumlah puisi yang ia tulis: Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan, Mereka yang Kusebut Rindu, Merindui Mati, Merindui Fitri yang Tidak Seperti Ini, sampai Merindu-mu. Dari kelima puisi tersebut, kita lantas bisa merabanya lebih jauh lagi dalam dua pokok: yang memiliki sisi transendetal dan yang bukan. Berlokuskan kerinduan, Akhmad bermain-main di medan yang tidak hanya berhubungan dengan manusia, tetapi juga ketuhanan (transendetal).
Mari, kita cerap satu bait dari puisi pertama: Kulipat rindu menjadi sebuah kertas,/ Kupanggil angin, lalu kutitipkan,/ Kuramu rindu menjadi sebuah obat,/ Kuundang senja, lalu kutitipkan./ Kutenun rindu menjadi sebuah kain,/ Kubisiki bulan, lalu kutitipkan,./ Kutitipkan rindu dari sini,/ Sudahkah Kau terima?// Tampak di permukaan, kata rindu menjelma kata benda yang dibayangkan dapat diolah dan dikirimkan. Partitur kertas, angin, obat, senja, kain, dan bulan menjadi wadah sekaligus alat. Secara bergantian, pembaca bisa membayangkan si aku-penyair bekerja melipat, memanggil, meramu, mengundang, menenun, dan membisiki sebagai upaya yang tak berkeseduhan. Setiap larik menyiratkan perbedaan waktu dalam sehari, bahkan harimu itu terus berjalan sebab di larik penutup, si aku-penyair tetap tak tahu apakah kerinduannya tersampaikan atau tidak.
Rindu dikesankan sebagai sesuatu yang selalu muncul dan keberadaannya dijelmakan dengan sejumlah kata kerja. Hal itu bisa diintepretasikan bahwa sebagai bagian dari perasaan seagung cinta, kerinduan memiliki daya sedemikian kuat. Ia bisa membuat seseorang melakukan hal-hal yang di luar batasannya, bahkan di luar limitnya. Kendati, upaya itu pada akhirnya hanya membuahkan kesia-siaan. Sementara itu, kesan lain didapati dari puisi kedua yang setiap lariknya tak memiliki kata rindu sama sekali: Bisakah kita berjabat?/ Tapi tak rapat,/ Tak lekat,/ Hanya sebentar./ Lalu mengembun.// Pada puisi ini, kata rindu hanya dilekatkan dalam judul puisi. Selebihnya, dalam sepuluh larik yang menyusun satu baitnya, kata rindu sama sekali tak disisipkan.
Terang saja, pembaca makin liar meraba kedudukan ihwal rindu dalam setiap lariknya. Seperti yang dibicarakan kelima larik di atas, bahwa kerinduan dibayangkan sebagai sosok yang bisa diajak berjabat tangan. Si-aku penyair seolah menegosiasikan kedatangannya, bahwa tak perlu kelekatan dan waktu yang lama dalam jabatan tangan itu, sebab toh keduanya bakal tiba di titik pisah. Kerinduan itu pun seolah disambut dengan lapang-dada, tetapi tak dipersilakan tinggal lama-lama. Cukup beberapa jenak saja. Kita bisa menduga, ada keinginan menghindari dari sisi si aku-penyair supaya tak terlampau larut dan tenggelam dalam kerinduan yang mengungkung, sebab hal itu bisa saja menyiksanya.
Adapun dalam ketiga puisi berikutnya, kita bisa mengategorikannya sebagai puisi yang menjunjung cinta transendetal. Bahwa hubungan yang dimainkan oleh si aku-penyair adalah hubungannya dengan tuhannya, dan segenap aspek yang menyertainya. Pada puisi ketiga, kematian menjadi aspek yang menempati kedudukan penting, bahwa ia menjadi perwakilan dari kekuasaan Tuhan. Kita cerap lima lariknya: Mati mengintip di balik semak belukar,/ pada makhluk yang takut dikejar tapi tak/ berlari dengan benar.// Aku tak ingin berlari,/ aku ingin merindui.// Pada kelima larik ini, manusia (kita) disimbolkan dengan makhluk. Sisi yang takut dikejar kematian itu pun bisa dipahami ada dalam diri kita, bahwa sebagian besar manusia memang takut dijemput kematian. Sementara itu, si aku-penyair ingin memiliih jalan yang berbeda, bahwa alih-alih berlari menjauh menghindari kematian, ia ingin merasakan rindu atasnya. Apakah mungkin manusia tiba di titik merindui kematian? Saya mempertanyakan ini. Tapi, barangkali bakal mungkin saja apabila kita telah tiba di titik sedemikian merindukan tuhan kita dan berharap segera menemui-Nya. Kematian itulah perantara buat mewujudkannya.
Adapun dalam puisi keempat, kerinduan dialamatkan dalam situasi lebaran yang meriah. Sebab, situasi yang digambarkan di dalam puisinya menunjukkan hal yang sebaliknya: Hari raya kali ini akan sunyi./ Opor nenek; nastar ibu; dan pusara ayah/ hanya bisa kunikmati dari langit-langit kamar,/ bersama semarak letus petasan yang enggan kudengar./ Aahh,/ Bunyi tak lebih ramai dari sunyi,/ Bunyi hanya didengar, sedang sunyi/ berpendar.// Situasi itu makin diperjelas oleh larik-larik berikutnya bahwa kesunyian lebaran tercipta lantaran masa Corona yang sempat melanda. Kita lantas mengingat, betapa perayaan hari raya hanya dirayakan di ruang kamar masing-masing, seperti yang dialami si aku-penyair, sehingga ia merindukan suasana hari raya Idul Fitri yang normal.
Terakhir, dalam puisi kelima, ihwal hari raya masih menjadi pokok yang dirindukan. Kita cerap empat lariknya: Kedatanganmu menjelma terang untuk diriku,/ yang diselimuti gelap./ Sayangnya kau hanya sebentar,/ seperduabelas dalam hitungan bulan.// Pada larik-larik ini, kesan bulan Ramadhan tampak kentara. Ia dipahami sebagai hari pembebasan, hari penuh limpahan karunia, dan hari yang pas buat menggugurkan dosa; yang diwakilkan lewat larik pertama dan kedua. Lalu, kesan sebentar itu sedemikian disayangkan, sehingga kedatangannya memantik kerinduan yang seluruh. Tidak ada gugatan atas kedatangan yang sejenak itu, hanya kesan menyayangkan, tapi juga menerimanya dengan sepenuh harap.
Dari penjelasan soal kelima puisi ini, maka kita bisa diduga kelimanya berlokuskan kerinduan yang dialamatkan terhadap berbagai wujud—manusia, Tuhan dan aspek-aspeknya. Keduanya tentu bukan barang baru dalam jelajah puitis kesusastraan kita. Sudah cukup banyak penyair yang membawakan tema ini, dan menjadi kerinduan sebagai lokus puisinya. Oleh karena itu, bagi saya, tidak ada yang benar-benar baru dari puisi Akhmad Idris. Dari kelima puisi ini, cukup sulit pula diraba jati diri serta kekhasan dari dapur kepengarangannya. Hanya satu yang saya sadari, bahwa Akhmad mengesankan diri yang tumbuh, satu puisinya yang bertitingmasa tahun 2019 memiliki rasa yang berbeda ketimbang puisinya teranyarnya pada tahun 2021, sebab puisi teranyarnya mengesankan kemantapan kalimat dan pemilihan diksi yang telah dipertimbangkan masak-masak. Dengan begitu, semoga ia tak berhenti terus menjelajahi jalan kepenyairannya, dan kelak bisa memberikan kejutan-kejutan baru dalam tiap puisi yang ditulisnya.
Tentang Penulis
Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.
Akun media sosial : IG; @karaage_wahid
Nomor Telepon/ WA : 089631168911
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313