Alina, Pendongeng dan Rasa Kesepian yang Menggerogoti
Cerpen Kak Ian
Alina kembali menemui Pendongeng itu lagi di sanggarnya—sesuai kartu nama yang diberikan kepadanya tempo hari. Padahal kemarin ia sudah menemuinya. Mungkin ia tertarik dengan cerita yang didengarnya kemarin lalu—dan ingin kembali mendengar sambungannya.
Walaupun Pendongeng itu sudah mengatakannya jika cerita yang ia terakan untuk Alina itu tidak ada kelanjutannya lagi. Namun karena penasaran dengan cerita itu Alina masih belum benar-benar yakin jika cerita itu sudah tamat. Akhirnya, Alina hari itu kembali menemuinya.
Tidak menunggu lama Alina pun bertemu dengan Pendongeng itu di sanggarnya. Tempat di mana Pendongeng itu mengajar mendongeng. Kebetulan sanggar itu sepi. Atau, mungkin tutup sementara waktu selama pandemi belum usai. Entah.
Di dekatilah Pendongeng itu ketika sudah bertemu. Alina kini sudah berubah posisi. Ia sudah duduk di hadapannya. Sudah bersiap mendengarkan apa yang diceritakan oleh Pendongeng itu.
“Ayolah, lanjutkan sambungan cerita kemarin tentang kesedihan?” Alina langsung mengungkapkan maksud kedatangannya pada Pendongeng itu.
“Maaf, cerita itu sudah tamat! Tidak ada sambungannya lagi. Jika kau mau aku punya cerita baru. Cerita ini tentang kesepian,” kata Pendongeng itu kembali pada Alina.
“Baiklah! Berceritalah tentang kesepian itu,” Alina pun mengiyakan.
Maka Pendongeng itu pun mulai mengisahkannya.
***
Seperti yang sudah-sudah bila musim dingin tiba di Nagaro, dinginnya sampai menjalari ke seluruh tubuh, bahkan sampai ke tulang sum-sum. Bukan hanya itu saja sampai-sampai ada bagian tubuh yang tidak bisa digerakkan, seketika langsung membeku.
Tapi bukan hanya dingin saja yang dirasakan di desa itu. Sunyi pun sering membersamai hingga menggelayutinya pula. Karena dalam cuaca seperti itu, siapa pun tidak ada yang berani keluar rumah, terlebih dalam keadaan menggigil.
Maka dari itu, Nagaro janganlah disamakan dengan desa-desa lainnya, apalagi Tokyo sebagai ibukotanya. Nagaro hanyalah desa miskin yang penduduknya sedikit. Karena sedikitnya, bisa dihitung dengan jemari saja. Mungkin lebih tepatnya disebut nyaris tidak ada penduduknya.
Ya, biasanya bila musim dingin seperti itu, penduduk desa setempat, lebih banyak berdiam diri saja di minka¹. Maka dari itu untuk menghindari rasa dingin yang amat begitu menggigil, mereka pun menghangatkan diri di depan irori.²
Begitupun dengan bunga-bunga yang tumbuh di Nagaro, disaat musim dingin, biasanya sulit bermekaran pada musim itu. Tapi ada beberapa bunga cantik yang justru bermekaran di musim itu. Salah satu di antaranya adalah bunga plum. Bunga itu biasanya bermekaran begitu indah dengan berbagai warna ketika sedang mengepakkan kelopaknya.
Seperti hal dirinya. Ia tinggal sebatang kara, tinggal seorang diri di minka yang sebagian perkarangannya sudah dirambati perdu-perdu dan sulur-sulur liar.
Ia adalah Nenek Miyako. Pekerjaannya adalah membuat boneka. Ia membuat boneka untuk mengusir rasa kesepiannya. Ia selalu membuat boneka setiap hari. Semua ia lakukan penuh dengan suka cita. Seusai itu ia menaruh boneka-boneka di berbagai tempat dan penjuru di desa itu. Semua itu ia lakukan agar desa yang ditinggalinya tidak sepi. Tidak seperti desa mati.
Biasanya jika musim dingin seperti itu, Nenek Miyako selalu bersama suaminya, Kakek Haruki, yang sudah lima tahun tiada karena kolera. Mereka biasanya selalu duduk berdua di depan irori sambil memanjatkan doa. Itu dilakukan jika di antara mereka ada yang sedang berulang tahun.
Dan di musim dingin itu, bertepatan Nenek Miyako berulang tahun yang ke 80 dan bersamaan saat bunga plum tumbuh bermekaran dengan dipenuhi warna-warni yang begitu indah di setiap penjuru Nagaro.
Saat itulah Nenek Miyako berkeinginan sekali di musim itu, ia bisa merayakan ulang tahun seperti tahun-tahun yang silam. Mendapatkan kado dan juga ucapan ulang tahun dari orang-orang terkasih.
Tapi itu mana mungkin terlaksana. Apalagi terbukti sampai saat ini, ia masih tetap hidup seorang diri. Tak ada seorang pun yang berada bersamanya. Akhirnya ia hanya bisa menatap nanar ke arah kayu-kayu yang sudah terlalap oleh api di irori.
Biasanya jika musim dingin seperti itu, Nenek Miyako selalu bersama-sama dengan Kakek Haruki, saling menghamgatkan. Tapi itu dahulu, sebelum kolera merenggut nyawa Kakek Haruki. Mereka selalu duduk berdua di depan irori sambil memanjatkan doa.
Hal itu sering dilakukan jika di antara mereka ada yang sedang berulang tahun. Mereka begitu romantis seperti sepasang muda-mudi yang sedang di mabuk kasmaran. Mereka akan saling bertukar kado.
Begitulah adanya, bukan hanya yang berulangtahun saja yang mendapatkan kado. Tapi yang memberikan kado juga mendapatkannya pula. Apalagi di musim itu bertepatan pada hari ulang tahun Nenek Miyako yang ke 80. Ia ingin sekali merayakan ulang tahunnya seperti tahun-tahun silam. Mendapatkan kado dan juga ucapan ulang tahun dari orang-orang terdekat.
Tapi itu mungkin hanyalah bunga tidur bagi Nenek Miyako saja. Jika hal itu tidaklah mungkin terjadi. Ia bisa merayakan ulang tahun bersama dengan orang yang ia cintai. Apalagi terbukti saat ini, ia sekarang hidup seorang diri. Tak ada seorang pun yang berada di sampingnya.
Jadi tidak mungkin Nenek Miyako memikirkan momen seindah dahulu, saat bersama mendiang suaminya itu, Kakek Haruki. Dan ia hanya bisa menatap nanar ke arah kayu-kayu yang sudah terlalap oleh api di irori Ia juga tidak segeserpun, berjauhan dari perapian itu.
***
Alina masih setia mendengar Pendongeng itu—yang sedang menceritakan seorang perempuan tua yang kesepian di saat hari ulang tahunnya.
“Bagaimana perempuan tua itu merayakan ulang tahunnya? Apakah dirayakan dengan rasa sepinya?” Alina memberondong pertanyaan pada Pendongeng itu..
“Ini mau akan aku lanjutkan!” seru Pendongeng itu.
Alina mengubah posisinya kembali.
***
Namun di malam musim dingin seperti itu, yang masih bertepatan dengan ulang tahun Nenek Miyako, dari ke jauhan sana, di mana tempat ia tinggal. Ada beberapa sosok seperti manusia sedang berkerumun di sebuah rumah tanpa tuan. Padahal rumah itu hanya dihuni beberapa boneka yang terbuat dari kapas dan kain perca bahkan pakaian yang tidak terpakai sebagai bahan bakunya. Semua itu dibuat dari tangan tua Nenek Miyako.
Maka dari itu agar desa Nagato, di mana Nenek Miyako tempati tampak terlihat ramai dengan para penduduknya. Ia selalu membuat boneka dari buah tangannya sendiri, dan setidaknya boneka yang dibuatnya nyaris sangat menyerupai manusia. Hingga tampak terlihat desa itu padat oleh penduduknya. Tapi entah kenapa malam itu boneka-boneka buatan Nenek Miyako hidup seperti layaknya manusia yang sedang merencanakan sesuatu.
Sayangnya, Nenek Miyako tidak tahu mengenai hal itu. Karena sedang meratapi hari ulang tahunnya yang semu. Tidak semeriah yang lalu-lalu.
Akhirnya karena kelelahan, dan juga kayu-kayu di _irori_ sudah mulai hampir terkikis dan lambat laun meredup kemudian mati. Nenek Miyako pun akhirnya tertidur pulas juga. Apalagi esokkan harinya ia akan mengunjungi makam suaminya. Ia ingin menemui Kakek Haruki. Walaupun hanya berupa makam bernisan nama suaminya saja.
Saat itu salju masih turun dengan lebatnya dan malam makin senyap. Ketika itulah boneka-boneka buatan Nenek Miyako melakukan di luar dugaan manusia. Di luar sepengetahuan Nenek Miyako pula.
Mereka itu ternyata sedang merencanakan sesuatu. Sedang menyusun sebuah kejutan untuk orang yang sudah menciptakan diri mereka. Ya, mereka ingin membuat kejutan di hari ulang tahun Nenek Miyako! Tuan mereka, orang yang menciptakan diri mereka.
Itu pun semua karena lantaran permohonan sosok-sosok itu pada Tuhan, agar bisa membahagiakan Nenek Miyako di hari ulang tahunnya. Akhirnya doa mereka pun dikabulkan. Mereka bisa bergerak layaknya manusia.
Di malam itu, di malam musim dingin akhirnya para boneka buatan Nenek Miyako sedang berjibaku. Mereka sedang membuat perencanaan untuk tuannya yang berulang tahun itu.
"Besok, tuan kita berulang tahun. Apa kalian punya sesuatu untuk kita rencanakan?" usul Boneka Berpita Besar.
Ramailah rumah tanpa tuan itu. Dengan hiruk-pikuk para boneka buatan Nenek Misako sedang membicarakan rencana untuk memberi kejutan di hari ulang tahun tuannya itu, Nenek Miyako.
"Maksudmu, perempuan tua yang tinggal seorang diri itu!" pungkas Boneka Berdasi Kupu-kupu.
"Iya, kamu pikir siapa! Dia itu yang menciptakan kita!"
"Oh, ya, ya! Aku minta maaf!"
"Ya, sudah siapa yang punya ide menarik untuk hari ulang tahun tuan kita itu?" ulang Boneka Berpita Besar memberi suara kembali dengan penuh semangat.
"Coba kamu tanyakan saja pada Boneka Sawah itu yang sedang asyik sendiri menatap keluar jendela. Kita lagi sibuk memikirkan rencana apa. Dia hanya asyik sendirian!" akhirnya Boneka Berdasi Kupu-kupu itu mengarahkan matanya dengan sinis ke arah Boneka Sawah.
Akhirnya Boneka Berpita Besar pun membolakan matanya. Ia mengarahkan pandangnya ke arah Boneka Sawah. Ia pun menyetujui ucapan Boneka Berdasi Kupu-kupu.
"Siapa tahu Boneka Sawah itu punya gagasan yang bagus di hari ulang tahun Nenek Miyako?" pikir Boneka Berpita Besar.
Ya, Boneka Sawah adalah boneka yang pertama kali diciptakan oleh Nenek Miyako. Jadi mereka beranggapan Boneka Sawah itu tahu banyak tentang hal Nenek Miyako.
Akhirnya Boneka Berpita Besar itu menghampiri Boneka Sawah yang sedang asyik memandang keluar. Walaupun yang terlihat hanyalah kunang-kunang yang berterbangan.
"A-apa! Aa-pa?" Boneka Sawah pun berjingkat kaget saat Boneka Berpita Besar itu sudah di hadapannya. Boneka Berpita Besar itu menghampiri Boneka Sawah untuk mengetahui tentang semua perihal Nenek Miyako.
Usai itu Boneka Berpita Besar pun mencari tahu banyak pada Boneka Sawah tentang apa yang sangat disukai Nenek Miyako. Atau, mempunyai rencana yang brilian di hari ulang tahun Nenek Miyako.
"Kami harap kamu bisa sumbang suara atau memberitahukan kejutan apa yang baik untuk tuan kita yang sedang berulang tahun saat ini," Boneka Berpita Besar pun kembali menjelaskan lagi pada Boneka Sawah.
Boneka Sawah yang ditanyakan seperti itu seketika diam sejenak. Ia sedang memikirkan sesuatu. Lebih tepatnya apa yang selama ini Nenek Miyako, tuan mereka inginkan. Jadi mungkin saja hal itu yang cocok untuk diberikan pada Nenek Miyako disaat hari ulang tahunnya yang ke 80 itu.
Saat itu suasana di rumah tanpa tuan, yang sedang dijadikan sebagai tempat perundingan merencanakan kejutan ulang tahun untuk Nenek Miyako tetiba senyap. Mereka sedang merencanakan sesuatu yang istimewa untuk Nenek Miyako.
"Bagaimana jika kita kumpulkan poto-poto mendiang Kakek Haruki saat bersama Nenek Miyako. Kita kumpulkan lalu kita jadikan mozaik-mozaik hingga membentuk wajah Kakek Haruki. Setelah itu kita taruh di depan pintu rumahnya. Pasti Nenek Miyako akan terharu. Karena di hari ulang tahunnya ada yang memberikan ia sebuah kado terindah," akhirnya Boneka Sawah pun menemukan ide untuk merencanakan hari ulang tahun tuannya itu.
"Tapi bagaimana caranya untuk mendapatkan poto-poto mendiang suami Nenek Miyako itu? Sedangkan kita tidak mungkin ke rumahnya untuk mencari poto-poto yang kita butuhkan untuk dijadikan mozaik sebagai hadiah ulang tahun Nenek Miyako," tukas Boneka Berpita Besar.
"Iya, kamu ada-ada saja. Masa kita harus mengendap-endap ke rumah Nenek Miyako untuk mengambil poto-poto Kakek Haruki. Kamu pikir saja jika saat kita mencari poto-poto itu lalu Nenek Miyako melihat kita bisa bergerak dan bicara. Apa itu tidak membuatnya terkejut. Kalau aku tidak akan setuju dengan idemu itu," timpal Boneka Berdasi Kupu-kupu.
"Ya, sudahlah jika kalian tidak mau aku saja yang melakukannya. Semoga apa yang aku lakukan nanti berhasil," Boneka Sawah itu akhirnya pun memotong semua percakapan. Ia yang akhirnya ke rumah Nenek Miyako untuk mencari poto-poto Kakek Haruki, mendiang suami Nenek Miyako.
Akhirnya di malam yang begitu amat dingin dan salju perlahan-lahan turun Boneka Sawah itu menuju rumah Nenek Miyako untuk mencari poto-poto Kakek Haruki dijadikan mozaik sebagai hadiah ulang tahun Nenek Miyako. Boneka Sawah itu pun berharap semoga apa yang ia lakukan bisa membuat tuannya itu bahagia di hari tahunnya nanti.
"Sempurna! Mari kita taruh pigura ini di depan rumah Nenek Miyako sebelum pagi tiba," Boneka Berpita Besar pun membuka suara saat semua berbagai gambar poto Kakek Haruki dan Nenek Miyako yang sudah membentuk mozaik wajah Kakek Haruki. Ia memulai meramaikan suasana yang sejak tadi hening.
"Ayo, cepat kawan-kawan kita gotong royong mengangkat pigura ini hingga sampai di depan pintu rumah Nenek Miyako sebelum pagi tiba," Boneka Sawah pun menimpali.
Malam itu, masih di musim dingin, semua para boneka menuju ke rumah Nenek Miyako. Tidak lain menaruh pigura berukuran besar sebagai hadiah ulang tahun Nenek Miyako. Semua terlihat bersuka cita karena mereka bisa memberikan hadiah istimewa untuk tuannya itu.
Esokkan paginya, seperti yang Nenek Miyako inginkan disaat malam bertepatan di hari ulang tahunnya ia ingin pergi ke makam Kakek Haruki, suaminya itu. Dengan berjalan kaki ia menuju ke tempat pemakaman umum yang usianya sudah tua sekali.
Keadaan pemakaman itu tampak begitu lebat dengan berbagai tanaman perdu dan dirambati sulur-sulur liar menambah kebisuan yang panjang. Tidak lama kemudian Nenek Miyako tiba di satu pusara. Ia menunduk dan memejamkan mata. Dinginnya salju yang turun sangat lebat membuat wajah Nenek Miyako begitu pucat.
Tidak lama kemudian doa-doa yang keluar dari mulut tua Nenek Miyako pun terucap. Kemudian diambilnya bunga plum di letakkannya pada nisan Kakek Miyako.
“Aku tidak lama mengunjungi kamu! Lagi pula tubuhku sudah tidak mampu lagi menahan dinginnya salju. Aku datang mengunjungimu agar kau merasakan terus kehadiranku. Aku juga ingin di hari ulang tahunku merasakan kehadiranmu pula. Ternyata aku juga lelah hidup sendiri tanpamu. Aku ingin sekali bersamamu.”
Tidak ada jawaban apa pun selain angin bercampur salju yang berterbangan lalu hinggap di bunga sakura dan plum. Nenek Miyako dengan gontai meninggalkan pemakanan itu tanpa menoleh ke belakang lagi. Karena jika menoleh ke belakang lagi ia takut kakinya tidak sanggup meninggalkan makan suaminya itu.
Tidak lama kemudian Nenek Miyako tiba di rumahnya. Dan betapa ia terkejut saat melihat ada pigura besar bergambar wajah Kakek Haruki mendiang suaminya itu, berdiri tegak di hadapannya. Apalagi di saat itu tergeletak sepucuk surat ucapan selamat ulang tahun untuk Nenek Miyako. Dan ia membacanya.
"SELAMAT ULANG TAHUN TERUNTUK TUANKU NENEK MIYAKO. BAHAGIA SELALU SELAMANYA. DAN TERIMA KASIH SUDAH MENCIPTAKAN KAMI UNTUK SELALU MENEMANIMU DI DESA NAGARO INI."
Seketika itu mata tua Nenek Mysako berkaca-kaca. Ia lalu memeluk pigura bergambar mendiang suaminya itu, beserta sepucuk surat selamat ulang tahun dengan penuh keharuan.
Begitupun yang dirasakan oleh Boneka Berpita Besar, Boneka Berdasi Kupu-kupu dan Boneka Sawah beserta yang lainnya. Mereka sedang mengendap-endap di balik pohoh sakura dan pohon plum saat melihat tuannya yang sedang bersuka cita di hari ulang tahunnya. Mereka akhirnya bisa membahagiakan tuannya itu. Walaupun hanya sebuah pigura besar bergambar mendiang Kakek Haruki, berbagai suasana saat Nenek Miyako dan Kakek Haruki masih bersama-sama. Mereka (boneka-boneka buatan Nenek Miyako) begitu bahagia melihat tuannya itu bisa tersenyum kembali.
***
“Sampai di sini sajakah? Akhir cerita tentang kesepian?” potong Alina saat sedang berjeda dikarenakan Pendongeng itu kehausan.
“Tidak! Tunggu sebentar aku minum dulu!” kata Pendongeng itu menghentikan sejenak ceritanya. Ia lalu mengambil botol mineral di hadapannya.
“Terus bagaimana perempuan tua itu untuk mengusir rasa kesepiannya?” lanjut Alina.
Dan kembalilah Pendongeng itu mengakhiri cerita tentang kesepian.
***
Sesudah Nenek Miyako mendapatkan hadiah ulang tahun berupa figura Kakek Haruki. Ia pun lantas mengambil perlatan dan perlengkapan boneka. Ternyata ia ingin membuat miniatur boneka yang mirip Kakek Haruki untuk dijadikan sebagai teman hidup selamanya. Sungguh Nenek Miyako belum bisa melupakan Kakek Haruki.
***
“Tamat!”
Seusai mengakhiri cerita Pendongeng itu melihat ke arah Alina. Tampak di sudut netra Alina berkaca-kaca.
“Apakah kamu baik-baik saja?”
“Iya, aku baik-baik,” ucap Alina menyembunyikan sesuatu. “Terima kasih atas ceritanya. Saya balik dulu. Maaf ini ada rezeki sedikit. Mohon di terima.”
Usai itu Alina meninggalkan Pendongeng itu—yang penuh keheranan. Karena di tangannya ada uang bernominal seratus ribu berjumlah sepuluh lembar. Padahal ia menceritakan itu kepada Alina tidak perlu dibayar maupun minta bayaran. Apalagi tidak lain cerita itu tentang kehidupannya. Ia selalu kesepian. Tapi ia bisa menutupi kesepiannya itu dengan cara menceritakan dongeng-dongeng kehidupannya pada orang-orang yang mau mendengarkannya.
Seperti halnya yang dilakukan Alina yang ternyata sama-sama kesepian. Sebagai wanita karier yang sukses tapi ia selalu dirundung persoalan cintanya ia selalu rumit dan gagal. Tidak ada yang bisa bertahan lama untuk bisa membersamai dengannya. Alina selalu kesepian.[]
KAK IAN, menulis apa saja selagi bisa menulis, aktifis anak dan penikmat sastra. Bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya sudah termaktub di koran nasional dan lokal. Karya-karyanya telah termaktub di Koran Tempo, Kompas Minggu Nusantara Bertututr, Solopos, Suara Merdeka, Merapi, Fajar, Riau Pos, Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Madiun, Sinar Indonesia Baru, Pontianak Post, Medan Post, Malang Post, Majalah Balai Bahasa Lampung Kelasa, Majalah Utusan, Majalah Ummi, Majalah Anak Kiddo, dll. Karya terakhirnya, “Kumpulan Cerita Remaja : Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama. Penerbit Mecca, Desember 2019.” “Kumpulan Cerpen : Hikayat Kota Lockdown, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.”
Keterangan :
1. Minka : rumah tradisional Jepang.
2. Irori : tungku api tradisional yang terbuat dari batu dan umum terdapat di rumah-rumah orang Jepang zaman dahulu.
0 Komentar
Kirimkan Artikel dan Berita seputar Sastra dan Seni Budaya ke WA 08888710313