KELO MRICO
Sungguh, tak dimengertinya keinginan yang menggebu, hasrat yang menetes serupa liur yang tak kunjung kering, sementara yang diingatnya hanyalah rasa serupa api, membakar lidah, kerongkongan dan perut, seakan ribuan semut merah menusukkan taji
"Terus saja di jalanan lurus ini, tidak usah mengingat kelok yang tak bisa kau tandai, sedang ladang dan gubuk-gubuk garam, serupa sama di matamu"
Kuah kuning tempat kepala sembilang timbul tenggelam, dan tubuh gemuk rawit setan berseliweran itu, serupa benar dengan masakan Ibu berabad lalu, ketika setiap orang masih mengelilingi meja, dan Bapak tertawa di kursi kayu, sibuk menyeka hidung dan keringat yang berjatuhan di keningnya
"Di menara kincir ke tujuh, dari bantaran yang bisa kau hitung, ke arah tenggara pondok dhahar itu berada, cumi, sembilang dan kepiting kelo mrico"
Sungguh, siapa yang mampu mengibas hasrat meski kau pun jatuh serupa pesakitan, ke dalam nyeri yang kau anggap nikmat yang tak tertahan, pedas yang membakar lasak, dan tukak lambung yang memburumu hingga lelap
Di jalanan lurus menuju Rembang, kuburu semangkuk kelo mrico, dan kepala sembilang yang timbul tenggelam, meski pedas membakar serupa bara, atau mungkin aku hanyalah pengumbar rindu masakan ibu
Semarang, 2022
Yuliani Kumudaswari, penulis tinggal di kota Semarang bersama suami dan dua orang anak. Antologi terbaru Kembang Belukar (Tonggak Pustaka, 2021)
kumudaswariyuliani@gmail.com
Facebook : Yuliani Kumudaswari
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024