005

header ads

Cerpen: STEP BY STEP | Yin Ude

 






Tak ada perjuangan paling berat selain perjuangan merebut hati cewek idaman. Inilah keyakinan Bram, seorang cowok tak ganteng.

Bagaimana tidak, sejak mulai tertarik pada kaum Hawa, pemuda itu telah menaksir tujuh belas gadis, dan baru satu yang bersedia menerimanya. Itu pun karena Bram menembaknya saat si gadis kebelet pipis.

Bram memegang lengannya, tak mau melepaskannya sebelum si gadis berkata ‘iya’. Ketimbang ngompol, si gadis pun berteriak, “Oke, Abang kuterima!” Begitu keluar dari toilet, gadis itu langsung berseru, “kita putus!”

Bulan Februari ini Bram kepincut dengan perempuan yang ke-18. Seperti yang sudah-sudah, orangnya cantik. Kualitas wajah dan seluruh fisiknya jauh di atas kualitas Bram, pastinya. Namanya Selomita.

Bram tak mau mengulang pengalaman terjatuh ke lubang yang sama: mencinta dan ditolak! Maka sekarang ia pun tak mau gegabah. Ia akan mendekati Selomita dengan perencanaan matang, eksekusinya pun step by step.

***


“Step pertama!” serunya pada diri sendiri saat siang ini ia menyalakan mesin motor dengan semangat.

Ia berencana menjemput gadis itu sepulang sekolahnya. 

Bram tahu bahwa Selomita tak bisa mengendarai sepeda motor. Setiap hari ia harus diantar jemput pergi pulang sekolah oleh papanya. Nah, pas pulang, sang papa biasanya telat. Inilah kesempatan yang akan dimanfaatkan oleh pemeran utama cerpen ini!

Matahari terik sekali memapar jalan di depan sekolahnya Selomita. Bram yang parkir di tepinya, di bawah pohon nangka, masih saja gerah. Dan ia kehausan. Ingin dibelinya es dari penjual minuman keliling. Tapi uang yang hanya tujuh ribu rupiah di kantongnya sudah habis untuk mengisi bensin.

“Sabar, Bro!” katanya pada kerongkongannya. “Dalam berjuang kita mesti tahan segala tantangan. Hauskah itu, laparkah itu, jangan dipedulikan!”

Seorang anak lelaki kecil lewat menenteng plastik minuman jeruk. 

“Dik, minta dong sesedot…,” pinta Bram memelas.

Anak itu menatap dengan raut wajah iba. Ia tahu pemuda di depannya sedang dahaga. Maka disodorkannya plastik minumannya, dengan syarat, “Hanya satu kali sedot, ya Kak!”

Bram mengangguk setuju. 

Sesaat kemudian anak itu menangis meraung-raung sambil berlari masuk ke dalam gang. Mungkin pulang untuk mengadu pada warga sekampung, saking marahnya, sebab minumannya habis akibat kuatnya sedotan bibir Bram, yang hanya satu kali!

Para siswa dan siswi sudah keluar sekolah. Selomita yang dipanggil Bram langsung mendekat.

“Ndak usah, Bang,” tolaknya menjawab tawaran si pemuda untuk diantar pulang. “Saya ndak langsung pulang, tapi akan ke banyak tempat dulu, untuk banyak urusan!”

“Tidak apa-apa,” paksa Bram. “Kebetulan tadi saya parkir dan lihat Adik. Tiba-tiba saya ingin sekali membantu.”

“Ya udah, Abang baik sekali.”

Selomita gadis jujur. Apa yang ia katakan tentang ‘banyak tempat, banyak urusan’ tidak mengada-ada.

Pertama ia meminta tolong diantar ke toko kosmetik untuk membeli bedak. Begitu Selomita masuk toko, Bram tiba-tiba kebelet kencing dan mencari-cari toilet. Ia menghindar sebab malu tak akan bisa membayar belanjaan gadis itu.

Kedua, Bram diajak mutar-mutar di dalam pasar. 

“Saya harus membeli keperluan dapur. Besok sore ada acara ngumpul bersama teman-teman. Abang datang ya? Kita makan lontong ayam.”

Kali ini bukan sekadar modus cinta lagi yang mendorong Bram untuk setia menuruti. Tapi bayangan lontong ayamlah yang telah membuatnya terbius.

Ketiga, “Ojek Cinta” itu dibawa lagi oleh penumpang cantiknya menuju rumah sepupunya di pinggir kota. Jaraknya lebih kurang sepuluh kilo meter! Bayangkan, dalam terik siang Bram mengendarai motor sejauh itu.

Tak ia bayangkan akan berkorban separah itu.

Tapi ia tak punya waktu lama untuk membayangkan tujuan berikutnya, sebab menurut Selomita, masih ada tersisa lima tempat lagi, untuk lima urusan lagi.

“Maaf sudah membuat Abang repot,” ujar gadis itu dengan mimik wajah bersalah ketika di pinggir jalan ia turun dari motor yang mogok karena kehabisan bensin.

“Tidak apa-apa!” seru Bram meyakinkan. “Aku tak sempat mengambil uang di ATM. Jadinya bensin hanya kuisi dengan uang yang tersisa di kantong.”

“Oh, jarak sekilo dari sini ada ATM bersama. Mampir saja, Bang.”

Lalu Selomita terbang bersama angkot. Masih sempat melambai cantik pada Bram yang mendorong kuda besinya dengan nafas tersengal.

Sang pejuang memutuskan berputar balik, tak merasa harus bertemu ATM itu. Ia bingung, mampir untuk alasan apa. Seingatnya ia tak pernah punya kartu, sebab tak pernah juga punya rekening. 

***


Step kedua! Pelaksanaannya malam ini, malam ulang tahun Selomita.

Bram sudah siap berangkat ke rumah gadis itu saat emaknya muncul dari dapur dan meminta tolong dibelikan dulu bubur ayam di langganan mereka, Pak Untung, di alun-alun kota.

“Gila!” gerutu hati pemuda itu. “Jarak ke alun-alun empat kilometer, Man! Aku bisa telat ke acaranya Ayang Mita!”

Emaknya menyodorkan uang. Artinya bukan lagi minta tolong, tapi ‘harus ditolong’.

“Ya, Emak, saya telepon Pak Untung dulu. Siapa tahu ndak jualan. Nanti saya perginya sia-sia.”

Bram keluar ke teras. Di sana ia mengeluarkan ponsel dari kantong celana, menelepon Pak Untung, dengan sim card kedua yang nomornya tak disimpan si penjual bubur.

Suaranya dibuat-buat berat dan sedikit parau.

“Selamat malam, Pak Untung. Ya, ini saya teman anaknya Bapak dari kantor satpol pp. Saya mau ngasih bocoran bahwa sebentar lagi kami akan merazia pedagang di alun-alun. Jadi tolong Bapak bongkar tenda dan segera pulang. Saya tidak tega nantinya Bapak ikut kami angkut.... Oh, sudah langsung mau bongkar? Bagus, Pak. Bongkarnya yang cepat ya…,” katanya.

Lalu masuk kembali ke dalam rumah, menemui emaknya, melapor, “Pak Untung tidak jualan malam ini.”

Pandangan Emak menyatakan ketidakpercayaan.

“Kalau tidak percaya, telepon saja Pak Untung, Emak.”

Bram pergi dengan tenang, sebab merasa tidak membohongi wanita itu. Coba saja telepon, katanya dalam hati, pasti Pak Untung akan memberitahukan, “Maaf Bu. Malam ini saya tutup. Akan ada razia!”

Dengan sedikit ngebut, tibalah Bram di rumah Selomita. Suasana meriah menyambutnya. Pemuda dan pemudi begitu banyak, berseliweran di halaman belakang rumah yang disulap menjadi arena pesta kebun.

Gebetannya menyongsong. Cantiknya gadis itu dengan wajah sumringah karena sedang merayakan hari kelahiran. Bram terpesona, terpana, terpaku, tertabrak lelaki penyaji minuman, tersiram bajunya. Tapi ia terus terpaku seperti kehilangan kesadaran. Sampai seorang paranormal ditelepon untuk datang. Juga dokter penyakit jiwa disuruh agar cepat hadir. Paranormal itu teman papanya Selomita. Dokternya pamannya Selomita. Ditelepon, disuruh cepat hadir oleh mamanya Selomita, untuk ikut menambah kemeriahan acara.

“Mama, Papa, ini Bram, yang baik hati, yang sering menjemput dan mengantar Mita berurusan kesana kemari.”

Bram tersanjung, sungguh tersanjung dipuji Selomita di depan orang tuanya.

Giliran mama papa Selomita yang terpana dan terpaku sejenak. Keduanya tak percaya anaknya mengundang tukang ojek pula ke acara ulang tahunnya.

Tibalah sesi sambutan dan tiup lilin. Sesi ini ditunggu-tunggu oleh semua tamu undangan, terutama teman-temannya Selomita. Sebab biasanya di sini seseorang yang berulang tahun akan menunjukkan kekasihnya kepada semua orang, memperkenalkan dan mendampingi saat meniup lilin. Bram, termasuk yang menunggu sekali.

Bukan, bukan karena ia berharap akan menjadi ‘kekasih’ itu. Sebodoh-bodohnya ia, masih tersisa seupil logika dalam tempurung kepalanya, bahwa tidak mungkin Selomita sekonyong-konyong memilihnya sebagai pacar hanya karena dibaik-baiki, termasuk beberapa kali dijemput dari sekolah dan diantar siang-siang kemana-mana. Justeru Bram sedang ingin memastikan bahwa tak ada kekasih Selomita sampai malam ini, yang berarti dirinya terus berpeluang, dirinya masih bisa terus berjuang, hingga menjadi pemenang! Hingga ada artinya kado yang dari tadi ia sembunyikan di balik punggung bajunya.

Benar! Dalam sambutannya, Selomita tak didampingi seorang pemuda pun! Tak ia sebut pula nama spesial! Sampai usai tiup lilin, jelas-jemelas bahwa gadis itu masih single!

Ingin rasanya Bram jingkrak-jingkrak karena teramat senang. Tapi lagi-lagi, sebodoh-bodohnya dia, disadarinya bahwa di acara itu hadir pula paranormal dan dokter penyakit jiwa. Sebodoh-bodohnya, ia tak mau berurusan dengan mereka.

“Mita, hanya ini yang bisa kuberikan sebagai hadiahku malam ini.”

Saat ada kesempatan berhadapan, tangan Bram gemetar menyodorkan kado yang ia bawa. Gemetar karena terbawa perasaan cintanya yang begitu dalam pada Selomita. Karena merasa puas pula, bisa memberi sesuatu yang menurutnya sedang dibutuhkan oleh gadis itu.

Selomita tersenyum, manis sekali.

“Repot sekali, Bang,” katanya. “Aku jadi penasaran dengan isinya.”
Bram balas tersenyum. “Ah, sekadar barang tak berharga, Dik. Tapi Abang berharap sesuai dengan harapanmu.”

Acara usai. Bram menjadi orang terakhir yang meninggalkan rumah itu. Bermacam-macam alasannya agar bisa sedikit berlama-lama. Dari pura-pura melihat-lihat bunga yang banyak tumbuh di halaman belakang itu, mengajak papanya Selomita bicara tentang harga tomat yang sedang naik, bersandirawa menelepon seseorang dan pembicaraannya lama, hingga memaksa ikut mencuci piring dan gelas kotor di dapur. Sungguh, ia ingin terus dekat dengan Selomita!

Tapi perintah ‘cepat pulang’ dari emaknya di ponsel tak bisa ia tolak. 

Di depan gerbang ia masih sempat bahagia ketika Selomita melambaikan tangan dari pintu rumahnya.

“Oh, syukurlah kau masih ada.”

Seseorang bicara di belakang Bram seraya menepuk punggungnya. Ternyata perempuan gemuk, petugas katering yang akan pulang.

“Tadi mamanya Mbak Mita memberitahu bahwa kamu tukang ojek. Sengaja Mas aku tunggu, agar bisa mengantarku. Ayo, Mas,” katanya lagi seraya duduk di jok.

Bram hendak menjelaskan statusnya, tapi perempuan itu memberi isyarat agar mesin motor segera dinyalakan.

“Kampung Kepok.”

Informasi perempuan itu tentang tujuannya tak begitu diperhatikan Bram yang sudah menjalankan motornya. Pikiran pemuda itu sedang tertuju lagi pada suasana acara barusan, pada kado yang ia pastikan segera dibuka oleh Selomita.

“Ayang Mita tentu senang memakai hadiah daster dariku,” kata hatinya girang. 

Beberapa hari lalu, saat dijemput untuk kesekian kalinya, Selomita mengajak Bram ke toko busana. Di sana ia mencari daster. Tapi habis. Ia nampak kecewa.

Tadi pagi Bram menjual ayam jago kesayangannya, yang selalu menang tarung. Dapat tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Habis semua untuk harga daster itu.

***


Step ketiga. Ya step ketiga sudah siap-siap dijalani Bram. Ia merasa di step ini, yang malam ini waktunya, dirinya harus sudah menyatakan isi hatinya pada Selomita.

Walaupun nantinya akan menghadapi situasi buruk, yakni Selomita ternyata kaget, belum siap, belum mau memberi jawaban, atau meminta waktu pikir-pikir, itu sudah biasa, dan sudah diperhitungkan oleh Bram.

“Toh, yang penting Ayang Mita tak punya lelaki lain. Jadi, usahaku masih bisa terus berjalan!” teriak batinnya menguatkan diri.

Sebuah mobil mewah menyambut kedatangan Bram di rumah Selomita. Mobil itu terparkir di halaman depan, tempat biasa sang pemuda memarkirkan motornya pula.

Bram memerhatikan ruang tamu. Di bawah terang lampu ia melihat sosok lelaki di sana, duduk dipisahkan oleh meja dengan gadis idamannya.

“Siapa dia? Tadi waktu Ayang Mita kutelepon, ia bilang sendiri saja, tak ada tamu. Nah, ini kok ada orang bersamanya?”

Penasaran, Bram meneruskan langkah menuju teras. Tiba, sekarang jelas lelaki itu seorang pemuda, yang kira-kira seumuran dengannya. Selomita sedang bicara dengannya sambil tertawa. Sambil saling cubit pula. Kelihatan mesra sekali!

Bram menampik rasa tidak enak yang tiba-tiba merayapi batinnya. 

“Ah, paling sepupunya!” seru hatinya tak mau menduga yang tidak-tidak.

“Eh, Bang! Kenapa berdiri di situ? Ayo, masuk!”

Bram tersentak, tak sadar ternyata Selomita melihat kedatangannya.

Ia pun segera masuk dan menyambut uluran tangan tamunya Selomita yang mengajak berjabat tangan.

“Perkenalkan, ini Bang Fredy, pacar aku.”

Seperti ledakan petir rasanya kalimat Selomita di pendengaran Bram.

“Waktu acara ulang tahun ia tidak bisa hadir. Jadi tidak bisa kuperkenalkan kepada orang-orang. Ayo, duduk. Dimakan kacang telornya.”

Kali ini petirnya tak lagi meledak, tapi sudah mengendapkan denging di telinga Bram!

Lesu ia duduk. Kacang telor, makanan favoritnya tak sanggup lagi ia ambil karena sesaat sekujur badannya lemas. Tapi beberapa detik ia usahakan juga menjangkau toplesnya, meletakkan di atas pahanya. Sayang untuk ia lewatkan gurihnya.

“Minumnya apa, Bang Bram?”

“Jus alpukat boleh….” Dikuatkan pula dirinya untuk menyebutkan minuman yang ia inginkan, sebab ia paling doyan dengan jus buah itu.

Hampa sudah hati Bram. Buyar harapannya yang ia bawa dari rumahnya. Lalu obrolan demi obrolan di ruang tamu itu antara dirinya, Selomita dan Fredy menjadi semata pembicaraan dalam ruang penyiksaan bagi Bram.

Ia ingin lekas pamit saja, lekas melepaskan diri dari sana.

Ketika bisa, ia berjalan gontai dengan pikiran tak menentu menuju motornya. 

Selomita tak pula melambaikan tangan lagi. Ia hanya berkata, “Hati-hati di jalan.” Dan tetap duduk melanjutkan obrolannya dengan kekasihnya.

Yang keluar mengikutinya sampai halaman depan adalah mama gadis itu.

“Mas, minta tolong besok pagi datang lagi, ya. Saya mau mengirimkan barang ke rumah teman,” katanya.

Ketika Bram berbalik, tatapannya menumbuk sesuatu yang ia kenal. Daster! Daster yang ia hadiahkan untuk Selomita ternyata dipakai oleh sang Mama!

***


“Step? Masa iya, orang besar bisa step?”

“Tapi ini panas sekali! Badan anakmu panas sekali!”

Tiba di rumahnya Bram langsung merebahkan badan di sofa ruang tamu. Ia merasakan badannya sangat tak enak. Di samping lemas, ada pula demam yang pelan-pelan mendera, dan kian lama kian keras. 

Suara-suara itu adalah suara bapak dan emaknya yang panik melihat keadaannya.


Sumbawa Timur, 7 Maret 2024


Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Ellipsis, Negeri Kertas, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.


Ponsel/WA: 085936555236 | Medsos : Yin Ude | Email : abidanayi@gmail.com

 

Posting Komentar

0 Komentar