“pak,
pernah bapak sadar,
jika kapal sandar,
angin tak bertaut layar,
laut tak bersentuh jangkar,
ikan tak terkurung sangkar,
maka perut berkerucuk lapar,
seisi rumah lemah terkapar,
utang merajalela membesar,
sebentar lagi datang tukang tagih bergaya sangar,
menodongkan urat kasar,
mengancam bagai serigala liar,
merentangkan cakar-cakar,
dada ini sungguh berdebar,
beribu-ribu istighfar,
meluncur dari bibir yang bergetar,
otak saya berputar,
mencari satu saja jalan keluar,
dari rentetan utang belum terbayar.”
“mak,
baru sebentar saja aku libur,
daftar kebutuhan semakin mulur,
kapan aku bisa tidur,
menjauh dari kebisingan laut,
menjauh dari amis ikan,
bukankah berita tadi pagi bercerita,
bahwa ikan, kepiting, dan udang sudah dikeruk bangsa asing,
terjerembab dalam pukat ratusan meter,
mungkin dijadikan sashimi, sushi, atau apalah
mungkin dijadikan sarden,
rinai hujan dan awan,
mengaburkan garis gelombang dari mata,
cuaca salin rupa mengancam kapal,
apa mak tahu kalau aku bertahan mati-matian,
untung aku tidak punya sakit bengek,
untung aku tidak punya niat bunuh diri,
untung aku tidak lantas jadi sinting.”
laju angin sekitar sepuluh knot,
tinggi gelombang hanya setengah meter,
langit bersih,
bimasakti begitu jauh,
hampir tak terlihat,
kapal-kapal di pelabuhan ini tertidur sebelum waktunya,
gelap belum lagi matang,
sorot televisi samar terlintas di sela bilik pinggir pantai,
kopi tidak sepahit zaman ini,
sedangkan kurikulum pelajaran tidak mengajarkan,
cara menjadi tangguh di tengah revolusi teknologi,
dengan dompet setipis silet,
apakah diri harus menyerah,
seperti pasrah pantai diretas pasang?
kidung gelabah,
dewi laut urung singgah,
menjelang mentari sepenggalah,
nelayan-nelayan menarik kapal istirah,
ke atas pantai basah,
sekelompok ikan kecil rucah,
tergelepar serupa sajadah,
menanti ajal di tangan nelayan-nelayan gagah,
ya, mereka belum kalah,
sudah terbiasa hasil sedikit asalkan berkah
kapal tua,
maafkan kami yang durhaka melupakanmu
laut kecil,
beri kami ikan dan kawanannya,
yang tak habis walau dieksploitasi setiap hari
“pak,
laut dan kapal itu,
apakah masih milik kita?”
Semarang, 13 Agustus 2023
Christya Dewi Eka, lahir di Jakarta, sekarang berdomisili di Semarang bersama 7 buah hatinya, lulusan Fakultas Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang tahun 2003. Beberapa karyanya dimuat dalam antologi puisi, media cetak, dan media online.
Email: christyadewieka@gmail.com
Facebook: Christya Dewi Eka
Instagram: @christyadewieka2020
WA: 088239408965
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024