005

header ads

Cerpen: POLESAN ASA Karya: Awalia Bawani

 Cerpen: POLESAN ASA

Karya: Awalia Bawani

https://i.pinimg.com/564x/3e/2e/90/3e2e90d78a3e3cdbf9fbba8e54e21d1e.jpg

Wajah itu, wajah yang untuk pertama kalinya berhasil membuat pertahanan hati ini runtuh. Sosoknya yang asing tak membuat hadirnya sulit membuka celah dihati. Aku ingat jelas bagaimana gaya nyentriknya, lelaki berambut gondrong ikal dengan kacamata hitamnya. Sejauh mata memandang, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana senyumnya terukir, bahkan saking indahnya, hingga meninggalkan goresan di sana. Hari itu, hari dimana harusnya aku berbahagia dengan acara yang diadakan bersama anak didikku, malah dibuat berantakan oleh keberadaannya. Tidak. Acaranya memang berjalan dengan lancar, bahkan diluar ekspektasiku, tapi hati ini sudah berhasil diporak-porandakan olehnya. Lelaki asing yang tak pernah kujumpai sebelumnya. Untuk pertama kalinya aku jatuh hati, dan malangnya aku harus jatuh pada orang itu. Orang yang sama sekali tak mengenalku, bahkan mengetahui adanya aku di semesta saja tidak. Dan bodohnya, hati ini kian jatuh ke lubang tak berujung. Diri ini terlanjur masuk pada ruang putih tak bersudut. Perasaan ini terlalu aneh untuk dipertanyakan, namun juga terlalu sulit untuk diabaikan. 

Bulan sudah menyelesaikan tugasnya, giliran matahari yang harus bekerja keras untuk kedepannya. Begitupun dengan diriku. Aku tidak bisa hanya berdiam di atas ranjang menatap langit-langit kamar dengan mata terpancang. Di sana ada banyak kepala yang sudah menantikan kehadiranku. Bertemu dengan anak-anak itu adalah rutinitasku menjadi guru bimbel. 

Siang ini matahari terlalu bersemangat untuk menyapa penduduk bumi. Sinarnya menyeruak masuk hingga ke dalam pori-pori. Laju kendaraanku kupercepat untuk mengejar waktu. Entah kenapa, padatnya jadwal hari ini tak seperti biasanya. Berpuluh-puluh kendaraan telah kusalip dengan kecepatan tak terhingga untuk mempersingkat waktu. 

BRUUUKKK.

Di persimpangan jalan, seorang pengendara motor tergeletak tak berdaya. Bagaikan kereta yang melintas, kecepatan mobil telah menyambar sang pengendara motor itu. Keadaan lalu lintas menjadi runyam. Aku sudah terlalu muak dengan kemacetan ini. Tapi rasa empati ini mengalahkan segalanya. Tunggu. Jaket itu? Jaket cokelat kulit yang dikenakan pengendera itu sama seperti jaket milik lelaki yang pernah kujumpai. Lelaki yang menyelinap masuk ke dalam hati ku. Tidak. Jaket itu bukan satu-satunya yang ada di semesta ini. Dari kejauhan aku tak bisa berpikir dengan jernih. Banyaknya massa yang berkerumun membuat jarak pandangku terbatas. Sampai klakson mobil mengakhiri lamunanku yang sudah berlayar jauh. Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Aku berharap seseorang tadi bukanlah lelaki itu.  

Kakiku sudah menapak di pelataran sekolah. Bersamaan dengan itu, adzan sudah menderu ke berbagai penjuru. Kuhentikan sejenak segala riuh dikepala untuk menemui Sang Pencipta. 

Kuambil air untuk bersuci. Kubentangkan sajadah untuk menghadap sang khalik, Dzat penguasa langit dan bumi. Kucurahkan segala resah yang sudah begitu lama tertimbun di hati. Kuselipkan sedikit keluh tentang rasa yang membebani hati ini. Rasa yang tak diketahui siapapun, kecuali hanya diriku dan diri-Nya. 

Ku lihat hadirnya di sudut rumah mu Tuhan. Dia baik-baik saja. Lelaki yang kujumpai di jalan tadi ternyata bukan dirinya. Rasa ini mungkin tak berbalas, tapi melihat dirinya baik baik saja sudah mampu menghadirkan ria tak terbatas. Kini, kulihat belakang punggungnya kian menjauh dari halaman masjid, juga dariku, dan mungkin akan selalu begitu. Dari serambi masjid, aku masih bisa melihat sosoknya yang berjalan. Untuk saat ini, tujuan kita sama, yaitu bertemu dengan anak-anak disana, awalnya aku berpikir hanya instansi yang membedakan kita, ternyata aku lupa, bahwa hati kita juga berbeda. 

Riang sekali hati ini melihat senyum merekah anak-anak. Seolah hatiku yang sedang dirundung mendung menjadi cerah kembali dengan melihat kehadiran mereka semua. Bertemu anak-anak dengan segala tingkah polosnya membuat hati ini damai. Senang sekali dapat mengajari mereka hal baru, semoga begitu juga dengan dirinya disana. 

Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Kini, waktunya berpisah dengan mereka. Belum usai perpisahan ini, tapi diriku sudah tak sabar menanti perjumpaan berikutnya. Hari ini begitu tak terduga, begitu pula dengan saat dimana aku sekarang berdiri. Dari kejauhan aku bisa melihat dirinya menatapku. Seolah dimatanya tersembunyi hal yang tak dapat terbaca olehku. Memang apa yang akan dia pikirkan tentang orang asing sepertiku. Aku yakin dia melihat ke arahku, karena hanya ada aku seorang. Aku sengaja mengulur waktu kepulanganku agar bisa menikmati waktu kesendirianku. Tapi apa yang salah dengan diriku, tatapannya tak biasa. Belum tuntas kepala ini bertanya-tanya tentang sosoknya, dirinya sudah menancap gas tanpa menghadirkan sedikit ekspresi diwajahnya yang dapat ku cerna. Padahal aku berharap dia melemparkan secercah senyum yang waktu itu dia berikan kepada orang lain. Senyum yang kubilang sangat indah, kenapa tidak diberikan juga kepadaku, meskipun kita tak saling kenal, apa aku tak pantas menerimanya.

"Ibu, Hayyana pulang", teriakku dari ambang pintu.

Begitulah rutinitasku saat pulang kerja. Ibu adalah sosok pertama yang akan kucari. 

"Bagaimana hari ini, nak" tanya ibu sembari menuruni satu demi satu anak tangga.

"Ya, begitulah Bu. Gak ada yang istimewa, tapi hari ini aku senang bertemu dengan anak anak beserta tingkah konyol yang tak ada habisnya." celotehku kegirangan.

"Senang sekali ya, sampai gak sadar kalau hampir setiap hari kamu menceritakan hal yang sama tentang mereka. Pasti bahagia sekali kalau ibu juga bisa merasakannya," pekik ibu dengan senyum menggoda.

"Apa Hayyana harus membawa anak-anak ke rumah?" tanyaku keheranan.

"Ah, kamu gak perlu repot-repot bawa mereka semua kesini, cukup hadirkan satu untuk menemani ibu," ucap ibu sambil menunjuk ke arah perutku. 

"Ibu...," rengekku tak terima. 

"Ayahnya saja belum ada," ujarku sambil menyambangi langit-langit rumah yang tak ada apa-apanya.

"Ibu kan sudah berkali-kali berniat mempertemukanmu dengan anak sahabat ibu, sebanyak itu pula kamu menolak," resah ibu.

"Kan ada orang lain di hati Hayyana," ucap ku setengah tak sadar.

Seketika kubungkam mulut ini. Ah, aku tak sadar mengatakannya begitu saja. 

"Ternyata anak ibu sudah punya calon. Minggu depan bawa dia kesini ya, ibu akan masak besar," girang ibu. 

"Minggu depan? Tapi," sangkalku sembari menggigit bibir getir. 

"Sudah, ibu mau memasak. Mau ibu masakkan ayam saus pedas?" tawar ibu mengalihkan pembicaraan.

"Jangan lupa bawang bombay yang banyak ya, Bu," jawabku setengah gembira. 

Seandainya ibu tahu, kami tak saling mengenal satu sama lain. Perasaan ini bertepuk sebelah tangan. Harapan saja tak ada, apalagi membawanya ke rumah ini, mungkin aku perlu tidur dulu untuk mengabulkan permintaan ibu. 

Hah, hari ini sangat melelahkan. Nikmat sekali rasanya bisa merebahkan diri dikasur yang empuk ini. Tunggu. Baru sekejap aku melepas penat, kenapa harus ada telepon yang mengacaukannya. 

"Halo, Na," sapa Maitsa dari ujung telepon.

"Ada apa, Sa?" tanyaku penasaran.

"Ah, kenapa langsung ke intinya, lo gak kangen apa sama gue?" celoteh Maitsa dengan cekikikannya yang tak ketinggalan.

"Lo bener-bener ya, gue kira ada apa. Baru aja ni mata mau merem, eh nyonya besar telepon," gurauku sedikit kesal.

"Hehe, maaf deh, gue lagi sendirian di rumah. Tadi niatnya mau ke rumah lo, tapi sayang bensin gue," cicit Maitsa. 

"Padahal ibu lagi masak banyak, sayang banget lo gak jadi kesini," godaku. 

"Besok bawain buat gue. Eh lo tau gak, denger-denger mau ada anak baru di kantor," 

"Seriusan, siapa? Lumayan nih buat temen curhat," ocehku.

"Tapi denger-denger sih dia cowok, jadi gak bisa tuh buat lo ajak curhat, nanti dia baper lagi," ujar Maitsa.

"Yaudah deh kalo gitu, buruan tidur gih, kayanya lo udah ngantuk berat, sampai ketemu besok, Na," timpal Maitsa.

"Oke, Sa," jawabku menutup telepon.

Segera kudekap guling yang terdampar ditepi kasur. Kenyamanannya mampu membawaku hingga ke alam mimpi. Aku terbawa hingga keesokan harinya.

Mendung seakan ingin segera menumpahkan segala resahnya pada bumi. Tapi semoga saja mendung masih kuat membendung beban itu. Hari ini terlalu indah untuk dikacaukan oleh tangis awan. Aku tidak membenci hujan, tapi untuk hari ini saja aku ingin ditemani oleh mentari sepanjang hari. Aku ingin mengawali hari ini dengan menyapa semesta terlebih dahulu, sebelum ia memberikan kejutan yang tak terduga kepadaku. Aku tahu, semesta masih punya banyak cerita untuk ku, untuk itu aku lebih memilih bersahabat dengannya.  

Rutinitasku terulang kembali di kantor yang sudah kutempati beberapa tahun belakangan ini. Suasananya memang sedikit monoton, tapi aku bahagia berada disini. Bertemu dengan teman-teman kantorku, terutama Maitsa, temanku sejak aku duduk dibangku SMP. Entah bagaimana takdir menuliskan kisah ku dengan dirinya sampai bisa bersama hingga detik ini. Salah satu hal yang patut kusyukuri karena mendapatkan sahabat seperti dirinya. Bertemu kembali dengan para karyawan yang setia menyapa dengan segala keramahtamahannya. Dan, siapa itu? Aku belum pernah melihat punggung orang itu di kantor ini. Tapi punggung itu tidak asing bagiku, seolah aku sering bertemu dengannya, tapi bukan disini. 

"Dateng juga kesayangan gue," sapa Maitsa memecah lamunanku. 

"Eh, itu siapa? Kayanya gue gak pernah liat dia ada di kantor," tanyaku penasaran.

"Itu yang gue bilang kemarin, masih inget kan lo? Siapa tau bangun tidur langsung hilang ingatan," oceh Maitsa.

"Oh, gue inget. Eh," ucapku terpotong. 

Belum sempat aku menuntaskan kalimatku, aku sudah dibuat terbelalak dengan pemandangan yang baru saja kulihat. Siapa yang akan percaya bahwa aku baru saja melihat dia. Dia yang selama ini selalu bertemu denganku di sekolah tempatku dan tempatnya mengajar. Dia yang hadirnya mampu mengacaukan pikiranku. Dia yang tak pernah kuizinkan masuk ke dalam duniaku, tapi bisa dengan mudah menembus pertahanannya. Dia ada disini dan akan selalu begitu. Baru saja aku memulai hari ini, tapi semesta sudah memberikan kejutan tak terduga. Entah aku harus senang atau sedih karena akan bertemu dengannya setiap hari. Dia akan menjadi rekan kerjaku untuk kedepannya. Padahal aku sudah berniat untuk melupakannya, karena dirinya begitu khayal untuk bisa kugapai. Dirinya memang nyata adanya, tapi tidak dengan hatinya.

"Hayyana. Lo mikir apa sih?" tanya Maitsa yang berhasil mengagetkanku lagi.

"Gak kok, lo hari ini ada jadwal kemana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ya kaya biasanya lah, lo habis kesambet apa sih. Cuci muka dulu sana," saran Maitsa.

"Iya deh," jawabku dengan bergegas menuju wastafel kamar mandi. 

Sembari membasuh muka, aku berharap jika ini adalah sambungan mimpi yang belum tuntas semalam. Mungkin akan terasa indah sekali jika ini hanya bunga tidur. Tapi aku tidak bisa lari dari kenyataan. Kini dirinya berada di dekatku, tak tahu sampai kapan aku menahan perasaan ini untuk terus berada di benakku. Atau mungkin suatu saat dirinya akan mengetahui keberadaan rasa ini. Semesta, kejutanmu berhasil mengejutkanku, sampai aku tak tahu bagaimana harus mulai melangkah. 

Seminggu sudah keberadaannya beriringan denganku. Seminggu itu pula aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Semakin sering aku bertemu dengannya, rasa ini bukannya kunjung mereda, tapi malah semakin meradang. Jujur saja, baru kali ini aku merasakan rasa yang begitu menggangguku. Padahal aku tidak menginginkannya, tapi rasa ini datang dengan sendirinya. Seandainya dia minta izin terlebih dahulu, akan ku usir dari awal jika kedatangannya akan membuat hidupku seperti ini. Sebelumnya aku bisa menikmati kesendirianku dengan tenang. Bukannya aku mendambakan kesendirian, tapi untuk saat ini mungkin itu yang terbaik hingga datang suatu saat dimana aku bisa bertemu dengan orang yang benar-benar ditakdirkan untuk hidup bersamaku.

Untuk pertama kalinya aku melihat sosok dirimu yang tak biasa saat acara di sekolah. Dan untuk pertama kalinya pula aku jatuh hati. Hadirmu yang berada di ambang pintu dengan gaya nyentrik andalan mu itu. Rambut gondrong mu, jaket cokelat mu, kacamata hitam mu, bahkan sepatu unik mu masih teringat jelas dibenakku. Sampai pada akhirnya aku menemukan sesuatu pada dirimu. Sesuatu yang berhasil memporak-porandakan isi kepala ku. Perasaan ini mungkin memang tak bertuan, tapi hadirmu mampu membuat diriku tetap bertahan, entah sampai kapan, tugasku hanya menunggu sampai takdir menuliskan, karena hanya itu bisaku.

-Pembawa acara yang saat itu selalu memperhatikanmu.

Kuputuskan untuk mengutarakan isi hati ini. Aku tidak terlalu memikirkan bagaimana akhirnya nanti. Aku hanya ingin menuntaskan segala apa yang telah berkecamuk di hatiku. Menaruh rasa padamu tidak lantas membuatku terbebani, tapi untuk menahannya terlalu lama mungkin akan sedikit menguras hati dan pikiranku. Aku akan mengambil langkah dan aku pun sudah siap dengan segala risiko yang akan ku terima. 

"Bro, kemarin ada yang titip pesan, katanya sih mau kenal lebih jauh sama lo," ujar Farhan.

"Maaf nih, Han. Gue udah ada rencana buat nikah tahun ini, jadi tolong ditolak aja ya" jelas Nabil.

Padahal tak sengaja aku mendengarnya, tapi kenapa sakitnya dengan sengaja menjalar di dada. Semesta sepertinya ingin mengajak bercanda. Belum sempat aku menyerahkan surat ini, tapi aku sudah diberi jawaban yang kukira telah siap kudengarkan. Tapi ternyata diri ini belum begitu siap, bahkan belum benar-benar siap. Jadi, ini yang dinamakan patah hati? Sebelumnya aku tak mengenal ini. Meskipun aku sudah terbiasa merasakan sakit hati, tapi untuk patah yang kali ini aku masih kesulitan menerimanya. Di samping itu, aku yakin dengan rencana Tuhan, Tuhan tak akan pernah salah menuliskan takdir untuk setiap hamba-Nya. Hati ini sudah yakin, tapi aku tetap manusia biasa yang lemah, sekuat apapun aku meyakinkan diri bahwa ini jalan yang terbaik, tapi hati ini tetap berantakan. Mungkin aku terlalu gegabah mengambil langkah. Dan untungnya Tuhan memberitahuku lebih awal, sebelum diri ini akan tambah tak keruan. Surat ini telah kutulis dengan sepenuh hati dan kini akan kulepaskan dengan penuh ikhlas. 

Kini sudah waktunya untuk menemui anak-anakku di sana. Mungkin bertemu dengan mereka akan menjadi obat laraku. Semua mata tertuju pada setiap langkah kakiku. Tentu saja, mata sembabku berhasil menjadi pusat perhatian. Aku tidak bisa menyembunyikan ini. Aku tidak memiliki kacamata hitam seperti dirinya. Ah, kenapa selalu tentang dia. Nanti aku akan membelinya sendiri. 

Benar saja, hanya dengan menyaksikan binar mata anak-anak ini, bisa sedikit mengurangi gemuruh di hati. Tak kusangka, mereka akan begitu peduli dengan keadaanku tanpa aku harus mengatakannya. Mereka mungkin tidak tahu apa yang sedang kualami, tapi tindakan mereka mampu membuat keteduhan di hatiku. Rangkulan anak-anak ini menciptakan semangat baru dalam diriku. 

Sepertinya aku tak ingin pulang, aku ingin tetap disini. Kalau aku pulang, pasti ibu bertanya tentang keadaanku, aku tidak pernah berhasil menyembunyikan sesuatu dari ibu. Tapi aku juga ingin segera mendapatkan pelukan ibu. Aku lelah. Meskipun begitu aku tidak boleh lemah. Aku memang makhluk lemah dihadapan Tuhan, tapi tidak dihadapan manusia. Hidupku akan tetap berjalan meskipun tidak dengan dirinya. Aku tidak bisa dibuat tak berdaya hanya karena seorang lelaki. Jika sebelumnya aku bisa menapak di atas tanah dengan tegap, kini juga akan sama seperti itu. 

Aku sudah sampai di rumah. Dan kini aku sudah berdiri di ambang pintu. Tapi aku tidak melakukan salah satu rutinitas ku seperti biasanya, yaitu mencari ibu. Karena aku sudah melihat ibu berada di ruang tamu, ayah juga ada. Kau ingin tahu apa yang membuat ku meninggalkan kebiasaan yang satu ini? Padahal aku tidak pernah sekalipun melupakannya, bahkan meski aku tahu ibu sedang keluar, aku tetap mencari keberadaannya. Tapi sekarang, aku dibuat mematung. Aku masih tetap sama seperti tadi, berdiri di ambang pintu. Aku akan memberi tahu apa yang ku lihat. Tapi sebelum itu bisakah aku pergi dari sini dulu. Entah bagaimana caranya, aku tidak peduli, yang penting aku bisa pergi lebih dulu. 

"Nak, akhirnya pulang juga," sapa ibu. 

Tidak. Aku tidak membalas sapaan ibu, aku masih mematung di tempatku semula.

"Kenapa masih di sana? Ternyata kamu mengabulkan permintaan ibu tepat pada waktunya, ibu kira kamu akan mengabaikannya," ujar ibu. 

Selanjutnya apa? Semuanya gelap. Ya. Aku pingsan.

Aku belum bisa mencerna atas apa yang terjadi hari ini. Semua terjadi secara bersamaan dan semuanya begitu mengejutkan. Bagaimana bisa orang itu ada di rumah ini. Di rumah ku, orang asing yang selama ini selalu memperhatikannya. Orang asing yang secara diam-diam mendambakan senyumnya. Dan sekarang, orang asing itu telah dipatahkan olehnya, padahal dia tak pernah melakukan apapun kepada ku. Untuk apa dia datang kesini jika memang sebentar lagi dia akan menikah. Bagaimana perasaan calon istrinya jika mengetahui keberadaannya disini. Di rumah orang asing yang menaruh rasa padanya. Aku sudah terlalu kesal dibuatnya.

"Mungkin dia kecapekan, yah," ku dengar samar percakapan ibu dengan ayah. 

Mataku sudah berhasil melihat wajah ibu kembali. Aku sudah siuman. Dan dia masih disini. Dia berdiri di luar kamar dengan raut wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran. Langsung kurengkuh pundak ibu untuk kupeluk. Aku tahu, setiap dekapnya selalu menyembuhkan. Aku memeluk ibu, tapi mata ku tak lepas dari sosoknya yang seketika memancarkan haru ketika aku sadar. Tolong, siapapun jawab pertanyaan yang sudah memenuhi isi kepalaku, sebelum semua ini meledak dengan sendirinya. 

"Ibu, sebelum aku datang, ada apa di rumah ini?" tanyaku mencoba tegar.

Kuberanikan untuk bertanya karena aku sudah tidak tahan dengan semua rasa penasaran yang menjurus bertubi-tubi. 

"Bukannya kalian saling kenal?" tanya ibu keheranan.

Belum sempat aku membuka mulut, dia langsung mengambil kesempatan itu. 

"Lo ga inget sama gue?" tanyanya.

Untuk kali pertama aku bisa mendengar suaranya yang ditujukan kepada ku. Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku ingat, aku ingat sekali saat pertama kali aku bertemu dengannya, tapi sejak kapan dia mengenalku.

"Kamu kenal aku?" tanyaku sedikit ragu. 

"Boleh kita bicara di luar?" tawarnya kepadaku.

Tanpa menjawab, aku segera bangkit keluar kamar. 

"Jadi?" tanyaku menagih kalimatnya yang sempat terputus.

"Gue tahu, lo gak pernah kenal sama gue. Mungkin lo tahu keberadaan gue waktu pertama kali kita ketemu di sekolah. Tapi sebenernya kita udah dipertemukan sebelumnya, cuma gue yang sadar tentang pertemuan itu. Gue yang waktu itu jadi kakak tingkat lo. Entah kenapa gue bisa langsung suka sama lo. Tapi gue terlalu takut buat bilang dan sekarang gue baru berani buat menyampaikan niat baik gue. Bertahun-tahun rasa ini udah gue simpen dalam-dalam. Gue juga udah sempet mikir kalau kita gak bakal ketemu lagi, tapi takdir masih memihak. Dan akhirnya gue mutusin buat pindah kantor, karena lo ada disana," jelasnya panjang lebar.

Aku seperti orang yang baru belajar berbicara. Aku tak tahu harus memulai perkataan ku darimana. Semua berjalan terlalu cepat dan tak terduga. Mulutku masih kaku untuk membalas ceritanya yang jujur saja masih ingin kudengarkan meski harus menunggu hingga esok hari. Semesta memang sedang mengajak bercanda diriku. Aku dibuatnya resah dengan perasaan yang tak pernah kuingingkan untuk datang menetap dan tanpa ku ketahui, dirinya juga sama sepertiku. Bahkan lebih lama dariku. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia, tapi keluhanku sudah sedalam ini. Aku tidak bisa mengutarakan apa yang sedang ku rasakan sekarang. Aku ingin menjelaskan pada dunia bahwa hari ini aku sangat bahagia bisa menjadi bagian dari penduduk bumi yang telah Tuhan ciptakan. Tapi aku bingung bagaimana cara menjelaskannya. Aku menangis. Begitu caraku menyatakannya. Tidak masalah mataku tambah sembab, karena kini aku tidak menangis karena patah hati, melainkan aku bahagia, sangat bahagia.

Setelah pertemuan beberapa hari yang lalu. Kami memutuskan untuk melangsungkan pernikahan. Ini adalah impian bagi setiap manusia di muka bumi, bahkan manusia sepertiku yang menyukai kesendirian pun akan mendambakan hari ini. 

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri milyunu rubiyyata haalan." tegas Nabil mengucapkan akad.

"Sah?" tanya penghulu.

"SAH!" jawab saksi serentak. 

Bahagia bukan kepalang ketika aku yang menunggu di dalam kamar mendengarkan akad sudah berjalan dengan lancar. Sekarang giliranku untuk keluar menemui dirinya. Dia yang dulu pernah kutangisi, sekarang menjadi suamiku.

*****

Selesai.

*Pict: id.pinterest.com

Madiun, 2022

Awalia Bawani, siswi kelahiran Madiun. Seorang amatiran yang mencoba menyelami dunia fiksi. Merajut kata demi kata hingga membentuk jalinan cinta bagi tiap pembaca. Hatinya terlanjur jatuh pada deretan kata yang berpadu-padan.  Kecintaannya pada lembaran-lembaran karya tulis yang membawa dirinya untuk terjun menggoreskan tinta-tinta kasih.


Posting Komentar

0 Komentar