005

header ads

[ Terbaik ] Cerpen: TAKDIR Oleh: Muhammad Fatkhul A.

 Peraih Anugerah Negeri Kertas | SUMPAH PEMUDA 2022


TAKDIR

Oleh: Muhammad Fatkhul A.


Usai menunaikan masa-masa Ramadan, kini tiba waktunya merengkuh kemenangan. Suara takbir menggelegar, menyusuri sudut-sudut perkampungan. Suasana bahagia pun terpajang terang di wajah orang-orang, seolah tiada lagi wajah murung yang tengah terpampang, seolah tiada lagi wajah gundah yang tengah tertindih masalah.


Semua orang terlihat ceria, dari anak-anak hingga dewasa. Namun, semua itu tak mampir di raut wajahku. Jiwa ini seakan menolak ajakan ceria di riuhnya suasana. Meski nurani kerap memaksa bibir untuk mengukir senyum, tetap saja rasa murung enggan hilang.


Akhirnya aku pun lebih memilih menyendiri di kamar, menghindar dari ingar bingar keramaian. Agar tiada yang tahu rasa pilu yang tengah aku rasa, yang masih teramat rajin menjatuhkan buliran bening dari sudut netra.


Aku lebih suka bermain dengan buku dan pena. Menumpahkan segala resah yang mendekam di palung dada dengan menata indahnya kata-kata, menyusun tiap-tiap diksi agar menjelma sebuah puisi.


***


MEMORI HITAM


Kenangan kelam

Deretan kisah biru lebam

Lembaran cerita yang bertabur dengan kepahitan


Pilu

Derai sendu menderu

Sudut-sudut netra mengukir sembilu


Ruang Kelam, 2022


Selepas menulis puisi tersebut, aku posting di status WA, agar seseorang yang kucinta membacanya, lalu memberi suport dan semangat agar tak lagi merasakan gulana. Namun, hasilnya nihil. Bahkan untuk melihatnya saja dia tak sudi. Mungkin, aku sudah terbuang jauh dari hatinya selepas dia memutuskan aku tiba-tiba.

'Klunting!' ponselku berbunyi karena ada chat yang masuk.

Aku pun segera membuka dan melihat nama pengirimnya, Sila. Dia adek online-ku. Ternyata isi chat darinya berparas puisi:


BERSADARLAH!


Kak, kau tak 'kan mampu meraih indahnya kebahagiaan

jika hasratmu terlalu sibuk mengejar ketidak-pastian

Cobalah kau sisakan sedikit kesempatan

pada cinta lain yang hendak memperjuangkan


Kak, sudahilah kebodohan yang membuat lukamu kian bara

izinkanlah aku mengobati retak yang merapuh di dada

Mungkin, aku tak mampu menghapus sepenuhnya

tetapi tulusnya cintaku akan setia melukiskan bahagia


Ruang Ingin, 2022


Ah, pikiran ini kian tak keruan usai membaca puisi tersebut. Apakah mungkin dia menaruh rasa padaku? Rasanya mustahil dia benar-benar menyukaiku. Ah, mungkin dia hanya sekadar ingin membalas puisi yang aku posting di status WA tadi, karena aku dan dia sudah terbiasa berbalas puisi dan bercanda. Aku dan dia sudah layaknya keluarga, layaknya adek dan kakak. Ah, entahlah.

'Klunting!' belum sempat aku menemukan jawaban dari angan-anganku, dia sudah chat lagi.

[Kak, sudah dibaca belum puisi dariku?]

[Sudah,] jawabku.

[Lalu, apa jawaban Kakak?]

[Jawaban tentang apa, Sil?] balasku dengan balik bertanya.

[Hem ..., Kakak baca lagi puisi dariku! Kakak telaah baik-baik! Tak perlu buru-buru untuk kasih jawabannya, karena aku akan setia menunggu jawaban dari Kakak. Ya udah, aku of WA duluan, ya, Kak? Assalamualaikum.]

[Waalaikum salam,] jawabku, sambil melirik mode data dia yang sudah of.

Aku pun memutuskan untuk membaca lagi puisi darinya, sembari aku telaah lagi pesan yang terkandung di rahim puisi tersebut.


***


Usai membacanya berulang-ulang dan merenung beberapa saat, aku pun memutuskan menulis sebuah puisi untuk menjawab puisi dari Sila:


JAWABKU


Dik, detak dada kian melonjak tak beraturan

usai 'ku telaah goresan indah yang kau tata

Pikirku pun menganak angan-angan

mungkinkah kau benar mencinta?


Dik, beri aku waktu untuk melangitkan

tentang jawaban yang hendak aku patenkan

'Ku harap engkau setia menunggu

sembari memantapkan perasaanmu padaku


Ruang Jawaban, 2022


Aku pun langsung mengirim puisi tersebut kepada Sila lewat chat WA, tetapi bernasib sama dengan chat sebelumnya, hanya centang dua abu-abu. Mungkin dia sudah tertidur, karena malam sudah teramat larut.


Aku pun segera membereskan buku dan pena, juga menyetel ponselku ke mode penerbangan. Lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudu, kemudian salat sunah dua rakaat. Selepas salat, aku adukan semua keresahan pada Tuhanku, berharap lekas menemukan jawaban yang tepat tentang aku dan Sila. 


Setelah puas mengadukan keresahan, aku beranjak ke tempat tidur.


***


Hari telah berganti, cuaca pun terlihat amat cerah sesudah salat id berjamaah. Senyum dan ceria berhamburan di wajah orang-orang pada hari raya idul fitri di hari pertama ini. Mereka berbondong-bondong mengajak keluarga juga tetangga, menyisiri rumah satu ke rumah-rumah lainnya. Mereka saling maaf memaafkan, juga tak lupa mencicipi hidangan. Wajah adek-adek pun terlihat amat riang, sembari sesekali melirik uang yang terkumpul di kantong.


Lagi dan lagi, suasana itu tidak mau mampir di raut wajahku. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar usai berjabat tangan dengan keluarga dan tetangga dekat. Lalu aku membuka layar ponselku dan menghidupkan mode data.

'Klunting!' ternyata ada chat masuk dari Sila, tetapi kali ini bukan berparas puisi:

[Aku benar-benar mencintaimu, Kak. Aku sudah lama menyimpan rasa ini, tetapi aku memilih untuk memendamnya, karena Kakak pernah bercerita tengah mencintai seseorang bernama Sari. Namun, selepas Kakak diputuskan oleh Sari, dan kerap bercerita tentang kehilangan ceria di status WA karenanya, aku pun harus mengumpulkan niat dan tekad untuk mengatakan ini. Kakak tahu? Aku pun merasakan sakitnya di saat Kakak tengah terluka, air mata ini kerap meluruh di saat Kakak tengah bersedih, karena aku benar-benar mencintaimu, Kak.

Oh, iya. Minal aidin wal faidin, ya, Kak. Aku mohon maaf jika ada salah kata, maaf juga karena aku hanya menyampaikan lewat chat, karena pagi ini aku memutuskan untuk pulang kampung dan tinggal di rumah nenek. Aku memilih tinggal dan menetap di rumah nenek agar dapat menjaga cintaku ke Kakak dengan tenang. Aku juga akan setia menunggu jawaban dari Kakak, aku sangat berharap Kakak lekas menjemputku di sini, di rumah nenek. Aku akan mengirimkan alamat rumah nenek ke Kakak setelah pesan ini.


Dariku, 

Seseorang yang amat mencintaimu, Sila.]


Usai membaca chat dari Sila, bulir bening pun menetes. Bibir ini kelu dan gemetaran. Pikiranku kian tak keruan. Aku pun memutuskan untuk menelepon Sila, tetapi hasilnya nihil. Nomor ponselnya tidak aktif. Lalu aku melihat pesan Sila selanjutnya, untuk mengecek kiriman alamat rumah neneknya.


Aku pun bergegas ke makam ibu yang masih basah, meminta restu untuk menjemput Sila di rumah neneknya.


***


Jarum jam menunjukkan pukul 11:00. Akhirnya aku sampai juga di perkampungan nenek Sila, setelah kurang lebih menempuh tiga jam perjalanan. Lalu aku pun menanyakan rumah Nenek Salmah—neneknya Sila—kepada seseorang yang tengah aku jumpai.

"Pak, rumah Nenek Salmah di mana, ya?" tanyaku pada seseorang yang tak lagi muda.

"Oh, Nenek Salmah. Adek lurus aja, nanti ada pertigaan Adek belok kiri. Cat rumahnya warna Hijau, kira-kira lima puluh meter dari pertigaan, dan di halaman rumahnya banyak orang-orang tengah berkumpul."

"Oh, terima kasih, ya, Pak," jawabku.


Setelah berjalan kurang lebih selama lima belas menit, aku pun menemukan rumah yang dimaksud, dan benar banyak orang-orang yang tengah berkumpul. Lalu aku bertanya lagi pada seseorang yang tengah aku jumpai.

"Bu, apa benar ini rumahnya Nenek Salmah?" tanyaku kepada seorang ibu yang juga tak lagi muda.

"Benar. Mari saya antar menemui Nenek Salmah."

Aku pun mengikuti langkahnya.

"Ada apa, Nak?" tanya seorang nenek padaku.

"Apakah Nenek, neneknya Sila?" tanyaku balik.

"Iya, benar. Kamu siapa, Nak?"

"Namaku Fata, Nek. Aku temennya Sila."

"Oh, Fata. Sila sudah banyak bercerita tentangmu, Nak."

"Benarkah, Nek?"

"Iya, Nak. Mari aku antar menemui Sila." 

Aku pun mengikuti langkah Nenek Salmah, lalu terhendi di tempat seseorang yang tengah terbaring dan tubuhnya tertutup kain. Aku pun bertanya pada Nenek Salmah.

"Dia siapa, Nek? Di tengah riuhnya suasana gini, kok dia tidur, Nek?"

"Ini Sila, Nak. Dia kecelakaan di perjalanan saat hendak ke sini, dia pun kini tengah berpulang di pelukan Tuhan," jawab Nenek Salmah sembari membuka perlahan kain penutup itu.

Tangisku pun pecah, serasa semua kebahagiaanku musnah.


TAMAT.


Jombang, 2022

: Muhammad Fatkhul A. Ialah nama pena dari M. Fatkhul Arisfudin. Ia lahir dan tinggal di Jombang, Jawa Timur. Tidak ada yang istimewa dari sosok Muhammad Fatkhul A. Racikan aksara yang ia olah baru menyajikan 20+ Antologi bersama. Ia berharap setiap tulisan yang dihidangkannya dapat memberi manfaat untuk pembaca dan juga dirinya sendiri. Jika ingin lebih dalam mengenalnya, bisa lewat jalur ke no. WA: 085851263177




Posting Komentar

0 Komentar