005

header ads

Cerpen Paranje Kosasih | Pie Mar

 Paranje Kosasih

Oleh Pie Mar


Di bawah sinar rembulan yang berpendar aku masih memicingkan mata di balik pagar bambu sedari tadi menunggui paranje yang berada di pekarangan rumah ditemani daun-daun singkong yang meliuk-liuk diterpa angin, suara jangkrik yang berderik dan suara anjing hitam yang melolong. Tak ada pergerakan yang mencurigakan. Paranje itu masih di gembok dengan gembok berlapis-lapis.

Gembok pertama sebesar telur burung unta. Gembok kedua sebesar telur bebek. Gembok ketiga sebesar telur ayam. Pertahanan terakhir, gembok keempat sebesar telur burung puyuh. Namun sayang, paranje itu terbuat dari bambu. Sang pencuri mungkin lebih memilih memotong bambu ketimbang memotong gembok yang membutuhkan waktu lebih lama. 

Mungkin ini ide paling gila. Wanita bertubuh gempal yang mengaku suka berolahraga itu, yang suka senam tapi sesudahnya makan bakso rame-rame dengan ibu-ibu PKK, berkata kalau sayang sama mertua kamu harus bisa mengambil hatinya. Aku coba menangkap perkataannya. Masak dan beres-beres rumah mertua adalah usaha standar untuk mengambil hati mertua.

Aku pikir aku sudah menjadi menantu idaman. Kendatipun sibuk mengajar, aku mengurus tetek bengek pekerjaan rumah tangga dari mulai bangun subuh mencuci piring, menanak nasi, memasak untuk sarapan, membersihkan rumah dan mencuci baju hingga menyetrikanya seperti asisten rumah tangga. Sementara itu wanita yang sok menasehatiku itu sibuk dengan dagangannya di warung. Namanya Diah, kakak ipar wanita satu-satunya.

Aku tinggal di rumah mertua bersama dua menantu lainnya; suami Diah dan Sri. Sri si bungsu, menantu paling bontot hampang birit suka membantuku tetapi semua pekerjaan akan berakhir berantakan. Maklumlah anak bau kencur yang kebelet nikah. Dahlia menantu ke tiga juga suka membantu tapi apalah daya karena sudah punya rumah sendiri datang kalau anak-anak sudah berangkat sekolah. Yang pasti pekerjaan sudah rampung jam segitu. Pahalanya ngalir, kata wanita itu.

Malam-malam Diah mengagetkanku dengan tiba-tiba muncul di depan jendela dengan rambut berantakan dan senyum monalisa menurut pengakuannya. Diah belum tahu jika menurut pakar yang menganalisa lukisan mahakarya Leonardo da Vinci itu, senyum monalisa yang memesona itu misterius. Ada yang bilang senyum sinis, senyum kesakitan, dan senyum jijik. Entah bagian yang mana Diah mirip dengannya.

“Asal kamu tahu Nis, Abah bakalan ngasih hadiah kebun karet yang di Sukanagara kalau kita berhasil menemukan pencuri itu.” Diah terus membujukku.

“Kamu ngawur! Aku nggak tertarik meski dibayar sepuluh hektar kebun karet sekalipun. Nggak ada kerjaan lain apa,” timpalku kesal.

“Yakin kamu nggak mau kalau aku kasih tau Kang Imran kamu punya banyak cicilan sandal Tasik sama daster ke bu Kades?” Ia menyeringai. Dengan senjata ancamannya aku jadi mengiyakan permintaan gilanya. Kok bisa, Kang Imran suamiku punya kakak agak gendeng. Konon kepalanya pernah ketiban buah nangka sewaktu kecil.

Sebulan berlalu bancang pakewuh menimpa Abah Kosasih, mertuaku. Ayam pelung kesayangannya dicuri tepat sehari sebelum kontes ayam pelung di Cipanas digelar. Abah Kosasih murka dan sempat stress. Ambeuk nyedek tanaga midek. Lantas ia mengurung diri di kamar hingga berhari-hari. Ini sudah ketiga kali berturut-turut ayam pelung yang digadang-gadang jadi jawara raib digondol pencuri. Apalagi kali ini, si Jalu, ayam pelung kesayangannya hilang.

Ayam pelungnya banyak tapi hanya si Jalu yang dianakemaskan. Karena si Jalu jenis ayam pelung yang istimewa. Tubuhnya kekar dan sehat dengan jengger merah delima yang memesona. Warna bulunya campuran merah-jingga dan hitam. Pialnya bulat dan besar. Kakinya jenjang dengan cakar raksasa dan mencengkeram berwarna hitam. Yang paling istimewa, suara kokok si Jalu melengking amat indah dan berirama khas. Mirip suara penyanyi dangdut kata Abah Kosasih.

Si Jalu beberapa kali menyabet kejuaraan kontes ayam pelung. Karena prestasinya yang gemilang, Abah Kosasih makin jatuh hati dengan si Jalu. Ia merawatnya dengan sangat baik dan telaten melebihi dokter hewan. Memberinya makan makanan yang bergizi dan vitamin melebihi perlakuannya pada anak dan cucunya. Kang Imran saja waktu kecil dibiarkan kudisan. Ia juga memandikannya rutin setiap pagi. Untunglah si Jalu tidak kena pilek.

Lama kelamaan Emak Ijah sang istri mulai merasa jemu. Abah Kosasih terlalu berlebihan menyayangi si Jalu. Emak Ijah ngomel-ngomel tak karuan. Aku menantunya jadi sasaran empuk. Mungkin cemburu. Ah, mana mungkin cemburu pada seekor ayam. Tapi bukankah cinta itu buta? Abah yang dibutakan si Jalu. Emak yang dibutakan Abah. Seperti syair lagu cinta kadang tak ada logika.

Kehilangan si Jalu adalah kabar gembira bagi Emak Ijah. Ia bersorak sorai dalam hati. Gurat wajahnya tak bisa berdusta. Senyum lantas menghias lagi di kedua bibirnya yang mulai memucat. Emak memakai daster merah menyala dan berlenggak lenggok di depan Abah. Abah acuh tak acuh. Sama sekali tak bergairah. Apalagi semenjak Emak Ijah menopouse. Ekspresinya datar dan alisnya menukik seperti tertekan. Dan, kepergian si Jalu membuat hari-harinya kelabu.

Diah inisiatif untuk menjebak si pencuri dengan menaruh ayam pelung lain di paranje berwarna emas itu. Intuisinya berbisik pencuri itu adalah saingan Abah Kosasih dalam kontes. Ia tak ingin Abah Kosasih menang lagi jadi mencurinya. Ya, mungkin benar kata Diah. Tapi aku tidak terlalu peduli. Aku lebih mendukung Emak Ijah, sudah tua Abah Kosasih bukannya lebih baik ikut pengajian atau sekedar bermain dengan cucu. Bukan sibuk dengan kontes. Biarkan anaknya saja Kang Ndul, suami Diah lah yang meneruskan ternak ayam pelung. Toh, ia menganggur dan kebanyakan melamun gegara gagal terus jadi lurah.

“Rengganis, kamu diam di situ, di bawah pohon kopi. Siapkan kamera! Dan kamu Sri di dekat pohon mangga arum manis! Dahlia di bawah pohon jambu! Aku di sini di bawah pohon pepaya!” kata Diah mengatur strategi.

Suara begitu hening. Hanya dersik yang terdengar berembus. Suara-suara terdengar lemah lalu lesap. Si Boy diam termangu tak bersuara, kelihatan bete. Sesekali celingukan merasa ada yang memperhatikan. Dua jam berlalu. Tidak ada tanda-tanda orang datang. Jarum panjang juga sudah merangkak ke angka dua.

“Teh Diah, udah ah aku ngantuk.” Sri beringsut.

“Aku juga, Teh. Aku mau solat malam. Minta sama Allah, mudah-mudahan pencuri itu mengembalikan si Jalu. Amin Allahuma Amin,” sambung Dahlia si menantu salehah berbeda denganku si menantu ‘solehoi’.

“Sudahlah Diah! Percuma! Pencuri itu sudah tahu. Makanya nggak jadi datang,” timpalku.

“Gimana nih kalian! Tunggu sebentar lagi! Firasatku mengatakan ia pasti akan datang. Besok ‘kan acara kontes ayam pelung di Desa Mekar Sari. Aku sudah minta Abah daftarin si Boy. Pencuri itu pasti datang!” Diah percaya diri.

“Tuh … tuh …siapa yang datang?” lanjut Diah.

“Mana?” lanjutku celingukan.

“Rengganis, maneh mah beunta teu neuleu, lolong bonconong.”

Sekelebat orang berbaju putih dengan rambut panjang tergerai lewat.  Ia nampak mendekati paranje. Semua terhenyak. Diam seperti mumi.

“Astagfirullah, itu makhluk apa? Semua tenang, jangan takut dengan makhluk itu. Ayo kita berzikir! Baca ayat kursi semua!” Sambil menenteng tasbih Dahlia memimpin doa. Tangan kirinya meremas lenganku.

“Aku takut Teh Diah,” ujar Sri, sembunyi di balik bokong Diah yang besar.

“Apa itu?” nada suara Diah bergetar tidak seperti tadi penuh keberanian. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh gempalnya. Sosok putih itu nampak terang bercahaya.

Sosok putih itu menghilang di kebun jati.
Setelah kejadian itu semua mendadak diam dan langsung pergi ke kamar masing-masing. Sementara itu aku terdiam saking syok malah membuatku tak bisa bergerak sedikitpun.  Aku malah penasaran dengan makhluk yang mirip kunti itu. Terasa tak masuk akal kunti suka mencuri ayam.

Esok pagi, ketika aku baru selesai memasak, terdengar suara riuh di luar. Ramai seperti di pasar luak. Antara dengung orang ngobrol dan marah-marah. Saat aku lihat ternyata semua anak dan menantu ada di sana kecuali Kang Imran suamiku, yang masih kerja di luar kota.

Paranje Abah Kosasih ada yang merusak dan Si Boy hilang. Aneh sekali, sosok yang semalam datang keburu kabur dan tidak sempat mengambil si Boy. Lalu siapa yang mencuri si Boy? Apa mungkin ada lebih dari satu pencuri?

Abah Kosasih murka. Ia berkacak pinggang lalu berteriak.
“Ulahnya Hj Pian!” teriaknya dengan dada yang membusung menahan amarah.

“Abah, jangan nuduh sembarangan! Hj Pian mah jalma soleh. Nggak mungkin berlaku curang.” Ndul menenangkan.

“Nis, ambil air putih!” titah Diah berusaha meredam amarahnya. Aku pun mengambil air putih dan menyerahkannya pada Abah untuk meminumnya.

“Iya Abah, bener Kang Ndul. Hj Pian mah keturunan Mama Acih. Mustahil,” sambung Diah sambil menepuk-nepuk bahunya.

“Emang Mama Acih siapa Teh?” tanya Sri polos.

“Mama Acih, atau yang dikenal Hj Djarkasih itu penemu pertama ayam pelung. Dulu ia menemukan ayam jantan trundul itu di kebun. Lalu ia memeliharanya dan mengawinkannya dengan ayam betina lokal. Jadilah ayam pelung,”  jelasku.

Emak Ijah tidak kelihatan batang hidungnya. Semua orang tidak menyadarinya. Mereka sibuk dengan Abah Kosasih. Aku pun masuk rumah melihat-lihat. Ia tak ada di kamarnya. Mungkin ia ke pasar. Aku mendelik ke arah buleng di belakang rumah.

“Heg we pencit. Nuhun nya Jang, nanti ditransfer we bayaranna,” kata Mak Ijah menutup percakapannya via telepon.

Seperti disambar petir, di luar dugaan. Biang keladinya Mak Ijah. Alasannya memang masuk akal. Beberapa kali kudengar percakapan mereka di kamar. Setiap Emak Ijah ingin tidur dengan Abah Kosasih, Abah Kosasih menolak dengan alasan lelah seharian mengurus ayam pelung. Hampir setiap malam jumat mereka bertengkar.




:

Perkenalkan saya Pie Mar, seorang penikmat sastra, crafter dan author Pf. Saya berdomisili di Kota Cianjur, Jawa Barat. Silaturahim via Ig @pie_marya21 @evirashop_collectie



Posting Komentar

0 Komentar