005

header ads

Cerpen Untuk Apa Lelaki Karya Yin Ude

 Untuk Apa Lelaki

Karya Yin Ude


Setengah kilometer lagi, Umar mengeraskan tarikan gas sepeda motornya. Kendaraan butut itu mengeluarkan bunyi kretek di beberapa bagian karena dipacu cepat di atas jalan desa yang berbatu.

Sang penunggang tak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanyalah segera tiba di rumah Umi.

“Umi! Umi!” serunya begitu tiba di depan rumah bercat biru di pinggir jalan. Sepeda motor diparkir dengan tergesa di bawah pohon mangga.

“Umi! Umi!” kembali Umar berseru sambil berjalan cepat melintasi pekarangan.  

“Siapa? Oh, kamu, Umar!” ucap seorang perempuan lima puluh tahunan yang tiba-tiba muncul dari samping rumah.

Umar menghentikan langkah dan membungkukkan badan sedikit, tanda hormat.

“Maaf, Bu. Umi ada?” tanyanya dengan nada suara rendah. 

Umar baru sadar bahwa kelakuannya sudah melewati batas kesopanan: berteriak-teriak di depan rumah orang, walaupun Umi itu pacarnya.

Ia lupa mengontrol diri karena terbawa kepanikan akan diputuskan cintanya oleh Umi.

Bu Asma, perempuan itu tersenyum. “Ada. Masuklah,” ucapnya singkat yang disambut anggukan Umar sambil beranjak masuk ke dalam rumah.

“Apa maksudmu minta berpisah?” Gemetar suara pemuda itu saat berhadapan dengan kekasihnya di ruang tamu. Tatapannya tajam, meminta penjelasan.

Umi yang baru keluar dari ruang tengah hanya tertunduk. Sejurus dibalasnya tatapan Umar, lalu menunduk lagi. Akhirnya ia menjatuhkan pantat di kursi dan terisak.

Umar duduk di sampingnya. 

Jari-jari lelaki dua puluh tahunan itu memencet-mencet layar ponselnya, lalu berhenti ketika di sana muncul sebuah pesan WA. 

“Rasanya aku tidak percaya ini chat dari kamu, Umi,” katanya lirih seraya mendekatkan layar ponsel ke wajah gadis yang sedang menyeka air matanya itu. “Tidak ada hujan tidak ada angin minta putus. Ditanya ada apa, kenapa, tidak juga menjawab.”

Perlahan Umi mengangkat muka, menentang muka Umar.

“Tidak usah aku jelaskan kenapa, Umar. Pokoknya aku minta kita putus. Kita berpisah saja. Itu yang terbaik, dan suatu saat kau juga akan tahu alasannya. Maafkan aku.”

Walau dilatari getaran, tegas sekali kalimat yang meluncur dari bibir Umi. Setelah itu ia bangkit dan masuk kembali ke ruang tengah.

Umar terngaga. Hendak ditangkapnya lengan gadis itu. Tapi gerak perginya lebih cepat.

Sang pemuda menggeleng-geleng. Helaan nafasnya menyatakan kepedihan dalam yang sedang mendera dadanya.

*

Umi merasa baru kali ini emaknya marah lagi padanya sejak ia menjadi seorang gadis. 

Sepulangnya Umar, perempuan itu mengajaknya bicara di dapur.

“Emak dengar kamu minta putus dari Umar. Apa masalahnya? Selama ini emak lihat kalian akur-akur saja,” kata Bu Asma. “Sudah tiga tahun kalian pacaran. Kalau begini caranya, kau akan membuat Umar sangat sakit.”

Umi kembali terisak. Matanya pun kian sembab.

“Jangan menangis saja, Nak. Beri penjelasan agar emak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Agar terang nantinya bagi Umar juga,” desak sang emak.

“Tidak ada apa-apa, Emak,” jawab Umi pelan.

Emaknya terkekeh. “Masa iya, tidak ada apa-apa langsung minta putus, minta pisah dari orang yang sudah begitu lama dipacari? Emak tidak senang dibohongi,” tekannya. Umi menggeleng-geleng. Tatap matanya seperti meminta emaknya untuk tidak mencecarnya.

Tapi perempuan di depannya itu seakan-akan tak mau memberi kesempatan pada anaknya untuk menghindar. 

“Atau kau sedang tertarik dengan pemuda lain?”

Melebar mata Umi mendengar pertanyaan emaknya. Tatapannya menghujam, membalas pandangan Bu Asma yang telah lebih dulu melembing.

“Ya, Emak. Saya sudah menemukan pemuda lain yang lebih baik…”

“Sembarangan kamu!” sentak Emak. “Kau sadar dengan apa yang baru kau ucapkan itu? Tidakkah kau berpikir bahwa kamu itu perempuan, yang tidak boleh seenaknya gonta-ganti pacar? Tidakkah pula perasaanmu membaca kekecewaan hebat orang lain yang sudah begitu mencintaimu, yang sudah begitu percaya padamu?”

Bu Asma berdiri, berkacak pinggang, menunjukkan ketidaksenangannya atas pengakuan anak gadisnya.

Umi memilih diam saja, tak menjawab, kendati terus meluncur kata-kata penyesalan bercampur tekanan dari emaknya.

Sampai Bu Asma lelah sendiri dan dengan kaki menghentak-hentak meninggalkan dapur.

**

Jam dua malam pintu diketuk keras. Paman Budi pulang, dalam keadaan mabuk lagi. Umi yang masih terjaga enggan keluar kamar untuk membukanya. Ia benci lelaki itu. Ada suara langkah kaki emaknya menuju ruang tamu.

Umi menutup telinga dengan bantal. Tak ingin didengarnya keributan, tak ingin ia dengar emaknya dimaki-maki pula, seperti malam-malam sebelumnya selama dua tiga bulan terakhir, sejak suami emaknya itu kawin lagi.

Ya, sejak Paman Budi kawin lagi, ia berubah drastis, dari seorang lelaki yang baik hati pada isteri, menjadi pria yang kasar, suka membentak dan bahkan memukul.

Memang sikap kasar, membentak dan pukulan yang diterima Emak tak pernah langsung terjadi di depan Umi, sebab Paman Budi hanya melakukannya ketika malam seperti ini, saat ia pulang larut, dalam keadaan mabuk, ketika ia yakin Umi sudah tidur, atau di kesempatan-kesempatan lain bila Umi tak berada di rumah. Tapi si anak tiri telah tahu buruknya perubahan perangai Paman Budi dan penderitaan yang sedang dialami Bu Asma.

Kadang Umi ingin membicarakan hal ini dengan emaknya, mengajak wanita yang amat disayanginya itu untuk curhat, meringankan beban kepedihan yang ditanggungnya sendiri dan sampai sejauh ini disembunyikan pada anaknya.

Tapi Umi takut. Ia yakin emaknya tak ingin permasalahannya diketahui siapa pun, tak ingin mendapat simpati dari siapa pun. Emaknya pasti malu dengan prahara rumah tangganya. Dan jika didesak, besar kemungkinan perempuan itu akan tersinggung, akan marah. 

“Kenapa Kakak selalu marah-marah pada saya yang sabar seperti ini?” Ada suara yang dipelankan dari Emak, yang didengar Umi saat mengangkat bantal dari telinganya karena panas. “Sedangkan saya tidak pernah mempermasalahkan, tidak sekalipun mengeluhkan kelakuan Kakak yang menghianati saya dengan kawin lagi. Saya tetap bersikap seperti biasa, tetap taat sebagai isteri Kakak.”

Pedih hati Umi mendengar ucapan emaknya yang dalam keadaan dizalimi masih juga memelas. Semakin keras kebencian Umi pada Paman Budi.

Tiba-tiba menyeruak penyesalannya atas persetujuan yang ia berikan dulu ketika emaknya meminta ijin untuk menikah dengan lelaki itu, setahun setelah bapak kandung Umi meninggal. 

“Diam!”

Umi tersentak oleh bentakan Paman Budi.

Ia ingin mendengar emaknya membalas dengan bentakan pula. Tapi beberapa saat menunggu, hal itu tidak juga terjadi. Hanya ada suara pintu kamar yang ditutup.

Umi kesal pada emaknya.

***


Dua hari berlalu.

Pagi-pagi sekali Emak berseru dari depan rumah. Perempuan yang hendak berangkat ke pasar itu memanggil-manggil nama Umi.

Sang anak yang sedang menyeterika baju itu buru-buru keluar dari kamar. Di teras ia disambut Umar yang menatapnya dengan muka lesu.

“Kenapa tak kau balas juga pesanku, Umi? Kenapa tiba-tiba kau minta berpisah?” tanya keponakan Paman Budi itu lirih. Nampak sekali pemuda itu tak mau lagi menutup-nutupi kelemahan jiwanya yang tak sanggup menerima kenyataan akan diputuskan gadis itu. “Aku tak mau kita berpisah. Aku mau jadikan kamu isteri!” Seruannya bergetar.

Umi menghela nafas, hendak menghela kata-kata Umar agar tak merasuk ke dalam hatinya. Wajahnya tak lagi sedih seperti kemarin. Dan ia juga tersenyum.

Sejenak tatapannya merayapi sekitar pekarangan, mencari-cari emaknya. Akhirnya ia yakin perempuan itu sudah dalam perjalanan ke pasar.

“Baiklah, Umar,” cetusnya kemudian. “Aku beritahukan kamu sekarang. Aku meminta berpisah secara tiba-tiba karena aku ingin cepat-cepat memutuskan satu demi satu simpul keterkaitanku dan ibuku dengan Paman Budi, pamanmu itu, dengan seluruh keluarganya…”

“Maksudmu?” potong Umar.

“Kau tahu sendiri pamanmu itu telah menikah lagi. Ia menghianati emakku, dan membuatnya sangat menderita walaupun berusaha disembunyikan dari aku dan semua orang. Lebih-lebih pamanmu kemudian menjadi sangat kasar pada emakku. Aku tidak terima emakku diperlakukan seperti itu. Aku tidak suka, aku benci pada pamanmu.”

Lontaran kata-kata dari bibir Umi terhenti. Gadis itu menatap Umar seakan hendak menunggu tanggapan. Tapi kekasihnya hanya diam.

“Aku ingin emakku segera bercerai dengan pamanmu. Aku ingin memaksa emakku kembali pulang ke rumah kakek kami, tempat dulu beliau bahagia, tidak dizalimi oleh siapa pun, tempat almarhum bapak kandungku menyayanginya sampai keduanya berpisah karena maut.

Agar keinginanku bisa tercapai, dengan lancar, tanpa ada satu pun kemungkinan halangan, aku harus berpisah denganmu dulu. Hubungan kita harus putus.”

Mata Umar melebar. Mulutnya menganga, hendak bicara, tapi tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Pemuda itu shock!

Umi tak peduli. Ia permisi masuk kembali ke dalam rumah setelah berkata, “suatu saat setelah kau bisa berpikir jernih, kau akan mengerti mengapa aku begitu kejam padamu. Karena kau juga punya seorang ibu.”

Di ruang tamu ia dapati emaknya duduk terpekur dengan air mata meleleh di pipinya. 

Umi terkejut.

“Ibu tidak jadi pergi setelah mendengar pembicaraanmu dengan Umar,” ucap Bu Asma seraya menangis.

****


Angkot yang membawa Umi dan emaknya terus melaju. Satu jam lagi mereka sampai di tujuan, yaitu kampung asal Bu Asma. 

Perempuan yang diduakan oleh Paman Budi itu telah memutuskan untuk meninggalkan suaminya.

Duduk berdampingan, keduanya sama-sama membisu, masing-masing tenggelam dalam gejolak perasaan.

Bu Asma dikuasai rasa sakit, bukan karena berpisah dengan suaminya, tapi menyadari diri telah sangat bersalah dengan terlalu tekun berdoa pada Tuhan hingga permintaannya terkabul. 

Sejak Budi kawin lagi, dirinya sudah berpikir untuk meminta cerai dari suaminya itu. Ia, seperti wanita lain di mana pun, tak pernah ingin berbagi cinta dengan perempuan lain.

Tapi hubungan asmara Umi dan Umar menjadi penghalang baginya. Asma yakin jika ia menuruti keinginan meminta cerai pada Budi, putrinya itu akan mencap dirinya hanya mementingkan kebahagiaan diri sendiri, tidak berusaha mempertahankan rumah tangga demi kebahagiaan anak. Perceraiannya akan otomatis membuat berantakan hubungan Umi dengan Umar. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada Umi. Sungguh, Bu Asma tidak sanggup menjadi pangkal kehancuran anak semata wayangnya itu!

Pikiran Asma buntu. Satu-satunya harapan adalah bantuan Tuhan, entah bagaimanapun bentuknya, yang penting dengan itu Umi dan Umar berpisah. Maka siang malam Asma berdoa, terus-terusan berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar membalikkan hati Umi, agar mengatur hati Umar, agar secara tiba-tiba cinta di antara mereka musnah. Tuhan mendengar. Umi sendiri yang secara mendadak memutuskan hubungan dengan Umar. Terbukalah jalan bagi Bu Asma.  

Sementara itu jiwa Umi sedang dibayang-bayangi wajah Umar, yang sangat ia cintai, yang sungguh-sungguh ia harapkan menjadi imamnya hingga tiba ajal. Tapi lekas-lekas ditepisnya bayangan dan harapan itu, dengan kesadaran bahwa ia telah mengambil pilihan yang benar, yaitu berkorban, menyelamatkan emaknya dari cengkeraman penderitaan yang dibuat oleh Paman Budi.

“Untuk apa takut berpisah, untuk apa lelaki, jika karenanya aku tak bisa menyelamatkan emakku. Perpisahan ini adalah keharusan!” seru batinnya, tegas. 

Sumbawa, 26 April 2022


Bionarasi penulis:

Yin Ude, penulis Sumbawa, karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel dipublikasikan di berbagai media cetak dan online di dalam dan luar Sumbawa, seperti Lombok Pos, Gaung NTB, Suara Muhammadiyah, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Uma Kalada News, Negeri Kertas, Suara Krajan, jurdik.id. dan Indonesiana. Memenangkan beberapa lomba penulisan seperti Juara 2 Lomba Cipta Puisi Bulan Bahasa Himapbi Universitas Asy’ariah Mandar, Sulbar (2021), Anugerah Puisi Terbaik Peringatan Konferensi Asia Afrika Tahun 2022 Negeri Kertas, dan Anugerah Cerpen Terbaik Hari Nelayan Nasional Tahun 2022 Negeri Kertas. Puisinya termasuk dalam 30 Karya Kandidat Pemenang Sayembara Puisi Teroka-Indonesiana Tahun 2022. Telah menerbitkan buku tunggal Kumpulan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih” (2021) dan Novel “Benteng” (2021). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama penyair Indonesia. Terbaru adalah Antologi Puisi “Minyak Goreng Memanggil” (2022).

Facebook: Yin Ude

Kontak: 087810071573 (WA)

Email: abidanayi@gmail.com



Posting Komentar

0 Komentar