005

header ads

[TERBAIK] Puisi Surat Sore Hari | A. Musabbih

 Surat Sore Hari | A. Musabbih


Aku kini pohon tepi jalan. Menjaga cericit dari 

seekor burung yang terkadang bingung membedakan 

antara ranting dan kabel listrik. Berdiri tegak sembari 

bertanya dalam diri. Apakah sanggup jika tiba-tiba 

Tuhan mengutusku menjadi manusia? Tugas sebagai 

makluk tidak bergigi dan berkaki mungkin terlalu ringan. 

Seakan tanpa ujian apalagi pujian. Datar. Meski ada juga 

yang membuat jantung di pucuk-pucuk daun bergetar. 

Tetapi toh tidak ada yang mendengar. Orang-orang hanya 

sibuk lalu lalang. Tidak ambil peduli pada rerindang pohon 

sepanjang jalan. Bahkan dimanfaatkan untuk membuka 

lapak. Seakan segala tempat layak diperdagangkan.


Menjadi pohon pun tidak semudah yang kau kira. 

Terutama karena hidup di tengah riuh kota. Padahal dulu, 

aku juga segumpal tanah. Aku menjadi pohon demi pulangmu 

yang kosong. Menjaga matamu dan matahari yang terus menari 

di kedalaman mimpi. Sebelum malam tiba dan lampu-lampu 

menciptakan bayangan di dinding, lantai, juga semua ruang hampa. 

Jangan khawatir pada ranting-ranting kering. Tidak ada 

burung hantu di rimbun daunku. Juga tidak akan pernah 

ada seekor pun ulat bulu. Aku sudah terbebas dari nafas

nafsu para investor yang berebut lahan isi ataupun kosong.


Maka aku berharap, kau pulang tanpa salah alamat. Sebab

rumah bukanlah sekedar bangunan bernama dan bernomor. 

Ia adalah tempat di mana tanah menitipkan udara dan cahaya. 

Sesampainya di pintu nanti tak usah terburu untuk kembali 

pergi. Membuat rumah melulu diam dan terkunci. Hingga 

akhirnya memaksa rayap menghisap silsilah hikayat. 


Sore hari ini

dan juga nanti

 


 2022 





Permohonan Tanah



Kembalikan aku

seperti langit memulangkan air laut


Aku ingin telanjang

tanpa gelinjang


Cukup pohon dan buah

yang mengekalkan badan


Nama, tidak ada yang butuh sungguh

kecuali bagi yang ingin terjatuh.


Kembalikan aku

seperti udara memulangkan cuaca


Jika kau ingin melihat

bagaimana aku sekarat


Tenggelam di antara bola matamu

yang mendamba kenangan


Buka lagi saja buku

tempat orang-orang menanam rindu

dan perihal masa lalu


Kembalikan, anggap saja aku kalah

dan kau yang menjadi pemenang



April, 2022










Sebelum Magrib


Sesekali ibu membawa pepes teri

bersama ayah, sepulang dari pasar

tempat mereka berburu nafkah


Di punggung, keringat berkarat bertahun-tahun


Adakah yang dapat kau dengar

dari langkah kaki di atas duri?


Jalan panjang antara pasar dan rumah

mungkin terlalu ramai dan payah


Tidak ada trotoar lagi

tempat dulu mereka menanti

bus yang pernah mengantar kau pergi


Orangtua, memang akan selalu siap

kehilangan kata-kata ketika kita

tidak berdaya menjungjung namanya


Dan mereka tidak peduli

pada suara sore hari


Tetapi tanah, yang diam-diam menanam 

akan memaksa kita kalah, menyerah 

     dan merasa bersalah



April, 2022















Semaya Mata


sebarapa pun jauh pandang yang kau tempuh

tidak akan sedalam apa yang malam peram


setinggi langit ke tujuh

tidak ada yang bisa kau sentuh

jika

     mimpi tidak dapat kau tangkap

di balik apa-apa yang gelap


sedalam ceruk laut

juga tidak ada yang bisa kau pungut

jika

     cuma prasangka

berkelindan di dada dan kepala 


seberapa pun jauh rindu yang kau hidu

tidak akan sebutir pun debu meresap kalbu 


kalau kau alpa 

pada nama dan mula 

segala cipta



April 2022













TENTANG PENULIS


A. Musabbih lahir di Tegal pada tahun 1986. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Buku puisinya Sajadah Katulistiwa (Wadahkata, 2020) masuk nominasi PRASIDTAMA Balai Bahasa Jawa Tengah 2021. Buku puisinya yang kedua Arsip Rindu (Prabu 21, 2021). Pernah mengikuti beberapa sayembara menulis puisi dan meraih beberapa penghargaan; Juara I lomba cipta puisi Hari Kartini se-Jawa di Universitas Pancasakti Tegal 2020, juara II cipta puisi Festival Sastra Jawa Tengah 2019, Puisi Terbaik lomba menulis puisi nasional Leon Agusta Institute (Padang, 2014), juara II lomba cipta puisi nasional Batu Bedil Award (Lampung, 2011), juara II lomba cipta puisi Semarak Bulan Bahasa (UNTIRTA, Banten 2009), juara III lomba cipta puisi FLP Yogyakarta (Yogya, 2007), dan beberapa nominasi.

Menulis puisi di beberapa antologi puisi bersama antara lain: Negeri Tanpa Kekasih (UNY 2006), Tak Ada Hujan Turun Hari ini (UNY, 2007), Puisi Menolak Lupa (STAIN Purwokerto, 2010), Pukau Kampung Semaka (Lampung, 2011), Ziarah Tembuni (KSI Award 2012), Gang Guru (Yogyakarta, 2014), Negeri Laut, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2015), Kopi 1.550 mdpl (Aceh, 2016), Cimanuk, Ketika Burung-burung Telah Pergi (Inderamayu, 2017), Sajak-sajak tentang Pindul (Yogyakarta, 2017), Negeri Awan, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2017), Hikayat Secangkir Robusta (Lampung, 2018) Requiem Tiada Henti (STAIN Purwokerto, 2018), Kepada Toean Dekker (Lebak Banten, 2018), Kartini Kesatria Pena (UPS Tegal, 2020), Suara Hati Guru di Masa Pandemi (Seni Buleleng Bali, 2020), Rantau, Dari Negeri Poci (Jakarta, 2020), Antologi Puisi ASEAN 3 (STAIN Purwokerto 2020). Puisi-puisi lainnya pernah terbit di Lampung Pos, Bali Pos, Minggu Pagi, Situseni.com., Majalah Kreativa, Pawara Dinamika UNY, dll.

Tinggal di Tegal dan bergabung bersama Dewan Kesenian Kabupaten Tegal, komite Sastra, juga Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia PCNU Kabupaten Tegal, komite Sastra dan Teater. 







Posting Komentar

0 Komentar