AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar
Maret 1943.
Membaca puisi "Aku" seperti sedang bercermin, ingin rasanya melukis batu dan perempuan sebagaimana kenyataan hidup yang ada dalam diri saya. Saya pikir betapa melukis adalah puisi. Tapi mendapat pesanan lukisan jauh lebih bisa saya terima daripada pesanan puisi. Sesuai gambaran diri pribadi, karakter yang saya miliki menjadi bagian dari objek lukisan ini. Intuisi mengawang, mencoba keluar dari diri saya. Lukisan kali ini tentu memerlukan objek yang mewakili ungkapan sekaligus judul buku "Seribu Tahun Lagi".
Larik kelima puisi "Aku" menjadi titik acuan saya dalam menerka objek, kata "binatang jalang" menimbulkan tanya; kira-kira binatang apa yang tidak dapat diperintah ? Tak juga ada jawaban pasti yang saya dapati, fokus beralih pada latar belakang dan tahun berapa puisi diciptakan. Saya mulai memahami bagaimana jiwa atau spirit Chairil Anwar dalam buku "Aku" karya Sjuman Djaya. Menantang waktu dengan keberanian, itulah kuda yang menjadi objek dalam lukisan ini.
Setiap manusia memiliki peperangan tapi dalam puisi "Aku" Chairil tidak peduli seberapa berantakan dan terluka dirinya, pada larik terakhir puisi "Aku" ia tetap ingin hidup. Keinginan atau rencana terus hidup sampai milenium mengesankan siapa saja yang membacanya. Bukankah manusia sebenarnya mampu mencapainya, dengan teknologi buatan yang sekarang semakin canggih 1000 tahun bahkan lebih, telah menjadi impian sebagian banyak manusia yang ingin abadi.
"Angka jam menjadi kosong ketika saya ingin hidup seribu tahun," jam tak sanggup lagi menunjukkan waktu dan akan kempes seperti balon saat mendengar rencana itu.
Mungkin peluru dan bisa juga kalut mengetahui bahwa ada yang jauh lebih kuat, yaitu kesetiaan ingin hidup dan bertahan di dunia. Kehidupan fana terkadang seperti surga bahkan neraka, seiring berputarnya roda. Seberapa lama kesetiaan dengan berani memerangi kefanaan itu, nasib sudah direncanakan lebih dulu oleh Yang Maha Kuasa. "Biarkan saya tetap setia menerjang dari pintu ke pintu sebagaimana roda menggelinding hingga kehidupan berikutnya," demikianlah perumpamaan jam dan roda.
Bagi puisi dan lukisan, hidup abadi juga menjadi tujuan jika bisa tahan. Di tubuh puisi dan lukisan menyimpan luka bahkan bisa atau racun. Saya tidak berkeinginan lukisan ini hidup sampai lebih dari seribu tahun. Hanya saja saya ingin lukisan ini merayu setiap orang, merayu anda, sebagai buku antologi puisi "Seribu Tahun Lagi" yang berbicara atas nama kesetiaan dan kehidupan. Saya harap puisi dan lukisan dalam buku ini bisa tahan sekuat kuda menerjang, roda menggelinding, dan jam yang menantang waktu di masa lampau, sekarang, masa depan, dan berikutnya.
Salam ....
********
Masyarakat Literasi Jember bekerjasama dengan Komunitas Sastra Krajan, menggagas pembuatan antologi bersama dalam rangka untuk memperingati Hari Puisi Indonesia 26 Juli 2021.
0 Komentar
Andai bisa klaim Honor untuk karya puisi dan cerpen yang tayang sejak 1 April 2024